KEMENTERIAN Pertanian (Kementan) mendapatkan apresiasi atas inisiatif dan keberanian mempromosikan kandungan minyak atsiri dari daun kayu putih (eucalyptus) sebagai antivirus Covid-19. Namun, sebelum produk obat itu ditawarkan kepada masyarakat, Kementan diminta mengikuti protokol pengujian obat baru.
Salah satu yang memberikan apresiasi itu adalah Ketua MPR Bambang Soesatyo. Dia mendukung penuh inisiatif Kementan yang telah membuat produk antivirus corona. Bamsoet juga mendorong agar penemuan itu dilanjutkan. Namun, soal khasiatnya, dia berharap agar jajaran Kementan bijaksana.
"Sebab, sejauh ini, baru jajaran Kementan yang membuat klaim tentang khasiat produk obat itu," ujarnya.
Seperti diberitakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Kementan telah mempublikasikan produk antivirus corona berupa kalung, roll on, in haler, salep, balsem dan defuser. Kementan mengklaim produk tersebut mampu mematikan Covid-19.
Bamsoet menilai, di tengah kegelisahan karena tidak adanya vaksin yang mampu menetralisir ekses virus Covid-19, pencapaian Kementan tentu layak untuk diapresiasi. Tapi, seperti juga upaya serupa oleh para ahli di sejumlah negara, produk dari Kementan tersebut sebaiknya tetap menjalani prosedur uji klinik.
Untuk menghindari kesan klaim sepihak, kata mantan Ketua DPR itu, produk antivirus corona tersebut sebaiknya mengikuti dulu protokol pengujian atau uji klinik untuk produk baru obat dan herbal. "Termasuk pengujian khasiatnya pada manusia," tuturnya.
Waketum Partai Golkar itu menuturkan, kehadiran dan keterlibatan pihak lain dalam uji klinik obat baru sangat diperlukan. Tidak hanya untuk kepentingan kebenaran tentang khasiat obat, melainkan juga untuk memperkuat klaim atas khasiat obat atau herbal produk baru.
Bamsoet menambahkan, untuk kepentingan uji klinik, sangat relevan jika Kementan bersinergi atau bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). "Sebagai obat atau herbal produk baru, tahap pengujiannya pun harus melibatkan pihak lain yang relevan," tegasnya.
Sementara itu, Komisi IV DPR menyoroti rencana Kementan yang akan memproduksi kalung antivirus Covid-19. "Lebih baik Kementan fokus terhadap produksi pertanian agar tetap melimpah saat pandemi," terang anggota Komisi IV Andi Akmal Pasludin.
Menurut dia, sebaiknya produk itu diperuntukan untuk internal Kementan. Sebab, jika diproduksi massal, maka akan menimbulkan berbagai pertanyaan dari masyarakat. Apalagi, kalung antivirus itu belum teruji sebagai penangkal Covid-19. Selain itu, anggaran untuk rencana produksi massal kalung juga akan dipertanyakan berbagai pihak.
Andi menambahkan, anggaran Kementan sendiri tidak fokus terhadap produk antivirus, karena itu menjadi ranah kesehatan. "Tugas kementerian itu sudah jelas, yaitu membuat produk pertanian tetap melimpah di masa wabah Covid-19," ujarnya.
Badan Pengawasa Obat dan Makana (BPOM) pun memiliki kriteria untuk meloloskan obat atau herbal bisa dikonsumsi secara bebas. Kepala BPOM Penny Lukito menyataka bahwa klaim khasiat suatu obat herbal harus dibuktikan berdasarkan data empiris atau ilmiah. Caranya dengan uji praklinik dan uji klinik.
"BPOM mengimbau kepada masyarakat agar lebih berhati-hati dan tidak percaya iklan," ujarnya. Apalagi soal obat herbal yang ampuh mengobati Covid-19. Penny juga meminta agar memastikan ada izin edar dari BPOM yang dicantumkan di label. Untuk melihat kebenaran apakah sudah terdaftar di BPOM, maka bisa dicek melalui website https://cekbpom.pom.go.id/. Ketika ditanya lebih lanjut mengenai temuan Kementan, BPOM enggan untuk berkomentar.
Sementara itu, peneliti dari Prodi Farmasi Klinik dan Komunitas Sekolah Farmasi ITB Rika Hartati mengungkapkan bahwa eucalyptus adalah tumbuhan yang masih satu famili dengan penghasil minyak kayu putih. Keduanya memiliki kandungan senyawa sineol. Sineol itu sendiri termasuk ke dalam komponen minyak atsiri yang memilliki karakteristik mudah menguap pada suhu ruang.
Dari segi bahan, produk eucalyptus secara regulasi dapat dikembangkan sebagai obat bahan alam. "Obat bahan alam Indonesia digolongkan ke dalam 3 kategori yaitu jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka," jelasnya pada JPG, kemarin (5/7).
Ketiganya kata Rika memiliki kriteria masing-masing dari aspek dasar klaim khasiat dan batasan parameter mutunya. Bentuk produk yang dapat dikembangkan sebagai obat bahan alam pun diatur secara regulasi. "Di dalam aturan tersebut tidak ada obat bahan alam dalam bentuk kalung," jelasnya.
Rika mengatakan, jika produk eucalyptus berbentuk kalung tersebut diklaim sebagai antivirus, dengan kata lain produk tersebut sudah diklaim memiliki kemampuan untuk mengobati. Ini harus didasari oleh pembuktian baik secara praklinik (in vitro, uji ke hewan/in vivo) serta uji klinik ke manusia.
Syarat uji praklinik dan klinik ini merupakan dasar pembuktian efek yang harus dipenuhi oleh kategori obat bahan alam fitofarmaka. Itupun masih dinilai berlebihan untuk diklaim sebagai antivirus, mengingat dalam minyak eucalyptus ini masih terdapat beragam komponen sehingga farmakokinetika dan farmakodinamikanya di dalam tubuh menjadi lebih sulit untuk dikaji.
Hal ini sesuai jika dikaitkan secara aturan, bahwa klaim obat bahan alam yang diinformasikan dalam label ataupun periklanan adalah klaim dalam meredakan/mengatasi gejala atau sebagai pencegahan, tidak diklaim untuk mengobati seperti klaim efek sebagai antivirus.
Dari aspek farmakologinya, Rika melanjutkan, perlu dasar pembuktian secara ilmiah pada level apa obat tersebut diuji dan bagaimana efektivitasnya.
"Kalau ada klaim bahwa produk kalung, balsem, salep ataupun roll on eucalyptus bisa menjadi antivirus perlu dikaji ulang dasar ilmiah klaim efek farmakologinya," jelas Rika.
Untuk memberikan efek antivirus, kata Rika, maka suatu senyawa perlu mencapai targetnya, yaitu sel yang terinfeksi virus. Senyawa antivirus tersebut kemudian menghambat replikasi virus melalui inhibisi proses-proses tertentu, sehingga tidak terbentuk partikel virus baru.
Aktivitas antivirus juga perlu ditentukan dosis efektifnya, sehingga dipastikan mampu menginhibisi replikasi virus.
"Sistem penghantaran senyawa antivirus tersebut juga perlu dipertimbangkan. Sehingga senyawa antivirus tersebut mampu mencapai targetnya dalam jumlah yang cukup. Baru bisa dikatakan sebagai aktivitas antivirus," ujarnya.(lyn/tau/lum/ted)
Laporan: JPG (Jakarta)