Jumat, 20 September 2024

Operasi Senyap KPK Semakin Sepi

JAKARTA, (RIAUPOS.CO -Birokrasi yang panjang membuat gerak penindakan KPK tak lincah. Semakin jarang "Jumat keramat" yang menampakkan wajah-wajah penggarong uang negara. KPK bisa melakukan operasi tangkap tangan (OTT) sampai dua kali dalam seminggu.

Tangkapannya, mulai ketua umum partai politik, kepala daerah, direktur BUMN, hingga seorang menteri. Tapi,

itu dulu. Momen heroik petugas KPK menggiring tersangka koruptor ke Gedung Merah Putih kini nyaris tak ada lagi. Tepatnya setelah ada revisi terhadap UU KPK. Lebih tepatnya lagi sejak era kepemimpinan Firli Bahuri pada Desember 2019.

Padahal, tahun lalu, sebelum Firli dkk menjabat, OTT nyaris dilakukan setiap bulan. Bahkan, sekali waktu, OTT pernah dilakukan di jam yang berdekatan. Misalnya, pada 2 September 2019, Bupati Muara Enim Ahmad Yani ditangkap tim KPK karena diduga menerima suap terkait dengan 16 proyek jalan.

- Advertisement -

Pada waktu yang sama, KPK mengadakan operasi senyap terkait dengan dugaan suap distribusi gula di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III. Kini Jumat keramat –istilah untuk pengumuman penetapan tersangka yang kerap dilakukan pada Jumat– seolah tak ada lagi.

Sejak UU 19/2019 tentang KPK disahkan 17 September tahun lalu, perubahan mendasar begitu terasa di internal komisi antirasuah tersebut. Khususnya kerja bidang penindakan. Penyelidik dan penyidik yang paling kena dampak.

- Advertisement -

"Senjata" mereka untuk menangkap koruptor tak setajam dulu lagi. Tumpul. "Kalau ada laporan (dugaan korupsi, red), sekarang susah untuk langsung ditangani," ungkap seorang penyelidik KPK kepada Jawa Pos (JPG).

Dia mengungkapkan bahwa semua itu terjadi lantaran aturan izin penyadapan kini harus melalui Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Proses tersebut, kata dia, memakan waktu yang tak sebentar. Kadang bisa sampai seminggu.

Namun, menurut dia, proses yang lama itu terjadi di level birokrasi KPK. Bukan di dewas. Karena birokrasi yang lama, beberapa dugaan transaksi suap yang menjadi cikal bakal OTT gagal terkejar.

Dampak dari proses administrasi yang panjang itu juga dialami penyelidik lain. Seorang penyelidik yang tak ingin namanya disebutkan menceritakan bahwa beberapa kali nomor yang diajukan ke dewas untuk disadap tiba-tiba tak aktif.

Baca Juga:  Lemkapi: Pemikiran Polri di Bawah Kementerian Tak Masuk Akal

Penyidik senior KPK Novel Baswedan dalam paparannya ketika menjadi saksi di sidang gugatan UU KPK di Mahkamah Konstitusi (MK) menjelaskan, alur penyadapan melewati beberapa tahapan. Yakni, penyelidik mengajukan izin penyadapan kepada direktur penyelidikan (Dirlidik). Kemudian, dari Dirlidik ke deputi penindakan (Depdak). "Dari deputi penindakan kepada pimpinan," jelasnya.

Setelah itu, pimpinan mengajukan izin ke dewas melalui sekretariat dewas. Pengajuan izin penyadapan itu lantas disampaikan ke dewas. Di meja dewas, surat tersebut akan dipertimbangkan untuk diberi persetujuan atau ditolak. "Dewas kemudian memberikan kepada sekretariat dewas untuk diberikan ke penyelidik," bebernya.

Belum berhenti sampai di situ, penyelidik lalu berkoordinasi dengan Direktorat Monitor KPK untuk mengambil surat keputusan penyadapan. Selanjutnya, penyelidik menyampaikan hasil koordinasi tersebut kepada direktur penyelidikan untuk mendapatkan surat perintah dari Depdak. "Baru kemudian penyadapan dilaksanakan dengan bantuan direktorat monitor," paparnya.

Mantan Ketua KPK Abraham Samad mengakui, pelaksanaan OTT sebelum berlakunya UU KPK yang baru tak seribet sekarang. Pada era KPK sebelumnya, Depdak tak memiliki kapasitas setuju atau tak menyetujui pengajuan izin penyadapan. "Dia (Depdak) hanya mengetahui, tidak dalam posisi menolak atau tidak menolak," terangnya saat dihubungi Jawa Pos (JPG).

Abraham menceritakan, alur birokrasi dalam penanganan perkara pada era KPK dulu sangat cepat. Bahkan sesekali tak sampai satu jam. Sebab, persetujuan lanjut tidaknya penyidikan seperti penyadapan dan penggeledahan hanya ada di level pimpinan.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyebut sepinya penindakan di KPK saat ini lebih disebabkan komposisi SDM yang berkurang akibat pandemi. Apalagi, KPK menerapkan kebijakan 25 persen pegawai bekerja di kantor. Selebihnya bekerja dari rumah. "Ibaratnya membuat bangunan, 10 tukang lebih cepat membangun jika dibandingkan dengan tiga tukang," ujarnya.

Itu juga berlaku di direktorat monitor, penyelidikan, maupun penyidikan. "Biasanya, kami mampu menyadap 400 nomor (situasi normal, red). Karena yang bekerja (di kantor) sekarang 25 persen, nggak mungkin kami melakukan yang sama," ujarnya.

Baca Juga:  Mercedes Pensiunkan Mesin V8

Berharap Independensi Kembali

UU 19/2019 tentang KPK bukan satu-satunya instrumen untuk melumpuhkan lembaga yang disebut-sebut sebagai "anak kandung" reformasi tersebut. Pelemahan turut didukung lewat Peraturan Pemerintah (PP) 41/2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK Menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN). Akibatnya, independensi KPK terpengaruh.

Selain itu, KPK saat ini makin kental dengan pejabat berlatar belakang polisi. Yakni, lima perwira berpangkat komisaris besar (kombes) sebagai koordinator wilayah (korwil) dan satu brigjen sebagai direktur penyidikan. Mereka dilantik Ketua KPK Firli Bahuri bulan lalu.

Mantan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas mengungkapkan, lima kombes itu tidak lama lagi naik pangkat menjadi jenderal bintang satu. Dengan begitu, KPK sebentar lagi diisi sembilan jenderal polisi aktif. Meliputi ketua KPK, deputi penindakan, direktur penyidikan, direktur penyelidikan, dan lima korwil.

"Persoalannya di mana? Dengan kurikulum berbasis filosofi ideologi di Polri, tidak ada yang cocok memimpin lembaga independen. Untuk memimpin kepolisian, sistemnya itu komando, sama dengan kejaksaan," katanya.

Komisi antirasuah yang berdiri sejak 17 tahun itu, kata Busyro, kini jauh dari khitah aslinya. Sebab, ideologi independen yang semestinya melekat di KPK telah "dihapus" dengan penuh kesadaran oleh rezim. "Kalau berharap KPK bisa kembali pada khitah awalnya, ya MK harus mengabulkan judicial review," tuturnya. Juga, menunggu kepekaan sosial Presiden Joko Widodo dalam melihat KPK sekarang ini.

Sementara itu, Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri menegaskan bahwa KPK sebagai salah satu lembaga penegak hukum dipastikan bekerja sesuai dengan koridor hukum yang berlaku. Terlebih dalam menangani kasus. Jabatan yang diisi perwira polisi pun dipastikan tidak memengaruhi kerja KPK. "Dipastikan akan bekerja sesuai dengan koridor hukum yang berlaku," tegasnya.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata juga memastikan tidak ada perubahan pola kerja di KPK sekalipun status pegawai menjadi ASN.(tyo/c14/fal/jpg)

 

JAKARTA, (RIAUPOS.CO -Birokrasi yang panjang membuat gerak penindakan KPK tak lincah. Semakin jarang "Jumat keramat" yang menampakkan wajah-wajah penggarong uang negara. KPK bisa melakukan operasi tangkap tangan (OTT) sampai dua kali dalam seminggu.

Tangkapannya, mulai ketua umum partai politik, kepala daerah, direktur BUMN, hingga seorang menteri. Tapi,

itu dulu. Momen heroik petugas KPK menggiring tersangka koruptor ke Gedung Merah Putih kini nyaris tak ada lagi. Tepatnya setelah ada revisi terhadap UU KPK. Lebih tepatnya lagi sejak era kepemimpinan Firli Bahuri pada Desember 2019.

Padahal, tahun lalu, sebelum Firli dkk menjabat, OTT nyaris dilakukan setiap bulan. Bahkan, sekali waktu, OTT pernah dilakukan di jam yang berdekatan. Misalnya, pada 2 September 2019, Bupati Muara Enim Ahmad Yani ditangkap tim KPK karena diduga menerima suap terkait dengan 16 proyek jalan.

Pada waktu yang sama, KPK mengadakan operasi senyap terkait dengan dugaan suap distribusi gula di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III. Kini Jumat keramat –istilah untuk pengumuman penetapan tersangka yang kerap dilakukan pada Jumat– seolah tak ada lagi.

Sejak UU 19/2019 tentang KPK disahkan 17 September tahun lalu, perubahan mendasar begitu terasa di internal komisi antirasuah tersebut. Khususnya kerja bidang penindakan. Penyelidik dan penyidik yang paling kena dampak.

"Senjata" mereka untuk menangkap koruptor tak setajam dulu lagi. Tumpul. "Kalau ada laporan (dugaan korupsi, red), sekarang susah untuk langsung ditangani," ungkap seorang penyelidik KPK kepada Jawa Pos (JPG).

Dia mengungkapkan bahwa semua itu terjadi lantaran aturan izin penyadapan kini harus melalui Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Proses tersebut, kata dia, memakan waktu yang tak sebentar. Kadang bisa sampai seminggu.

Namun, menurut dia, proses yang lama itu terjadi di level birokrasi KPK. Bukan di dewas. Karena birokrasi yang lama, beberapa dugaan transaksi suap yang menjadi cikal bakal OTT gagal terkejar.

Dampak dari proses administrasi yang panjang itu juga dialami penyelidik lain. Seorang penyelidik yang tak ingin namanya disebutkan menceritakan bahwa beberapa kali nomor yang diajukan ke dewas untuk disadap tiba-tiba tak aktif.

Baca Juga:  Detik-detik Pemimpin Tertinggi ISIS al-Baghdadi Tewas

Penyidik senior KPK Novel Baswedan dalam paparannya ketika menjadi saksi di sidang gugatan UU KPK di Mahkamah Konstitusi (MK) menjelaskan, alur penyadapan melewati beberapa tahapan. Yakni, penyelidik mengajukan izin penyadapan kepada direktur penyelidikan (Dirlidik). Kemudian, dari Dirlidik ke deputi penindakan (Depdak). "Dari deputi penindakan kepada pimpinan," jelasnya.

Setelah itu, pimpinan mengajukan izin ke dewas melalui sekretariat dewas. Pengajuan izin penyadapan itu lantas disampaikan ke dewas. Di meja dewas, surat tersebut akan dipertimbangkan untuk diberi persetujuan atau ditolak. "Dewas kemudian memberikan kepada sekretariat dewas untuk diberikan ke penyelidik," bebernya.

Belum berhenti sampai di situ, penyelidik lalu berkoordinasi dengan Direktorat Monitor KPK untuk mengambil surat keputusan penyadapan. Selanjutnya, penyelidik menyampaikan hasil koordinasi tersebut kepada direktur penyelidikan untuk mendapatkan surat perintah dari Depdak. "Baru kemudian penyadapan dilaksanakan dengan bantuan direktorat monitor," paparnya.

Mantan Ketua KPK Abraham Samad mengakui, pelaksanaan OTT sebelum berlakunya UU KPK yang baru tak seribet sekarang. Pada era KPK sebelumnya, Depdak tak memiliki kapasitas setuju atau tak menyetujui pengajuan izin penyadapan. "Dia (Depdak) hanya mengetahui, tidak dalam posisi menolak atau tidak menolak," terangnya saat dihubungi Jawa Pos (JPG).

Abraham menceritakan, alur birokrasi dalam penanganan perkara pada era KPK dulu sangat cepat. Bahkan sesekali tak sampai satu jam. Sebab, persetujuan lanjut tidaknya penyidikan seperti penyadapan dan penggeledahan hanya ada di level pimpinan.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyebut sepinya penindakan di KPK saat ini lebih disebabkan komposisi SDM yang berkurang akibat pandemi. Apalagi, KPK menerapkan kebijakan 25 persen pegawai bekerja di kantor. Selebihnya bekerja dari rumah. "Ibaratnya membuat bangunan, 10 tukang lebih cepat membangun jika dibandingkan dengan tiga tukang," ujarnya.

Itu juga berlaku di direktorat monitor, penyelidikan, maupun penyidikan. "Biasanya, kami mampu menyadap 400 nomor (situasi normal, red). Karena yang bekerja (di kantor) sekarang 25 persen, nggak mungkin kami melakukan yang sama," ujarnya.

Baca Juga:  Sekda: Kami Terus Upayakan Pencegahan

Berharap Independensi Kembali

UU 19/2019 tentang KPK bukan satu-satunya instrumen untuk melumpuhkan lembaga yang disebut-sebut sebagai "anak kandung" reformasi tersebut. Pelemahan turut didukung lewat Peraturan Pemerintah (PP) 41/2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK Menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN). Akibatnya, independensi KPK terpengaruh.

Selain itu, KPK saat ini makin kental dengan pejabat berlatar belakang polisi. Yakni, lima perwira berpangkat komisaris besar (kombes) sebagai koordinator wilayah (korwil) dan satu brigjen sebagai direktur penyidikan. Mereka dilantik Ketua KPK Firli Bahuri bulan lalu.

Mantan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas mengungkapkan, lima kombes itu tidak lama lagi naik pangkat menjadi jenderal bintang satu. Dengan begitu, KPK sebentar lagi diisi sembilan jenderal polisi aktif. Meliputi ketua KPK, deputi penindakan, direktur penyidikan, direktur penyelidikan, dan lima korwil.

"Persoalannya di mana? Dengan kurikulum berbasis filosofi ideologi di Polri, tidak ada yang cocok memimpin lembaga independen. Untuk memimpin kepolisian, sistemnya itu komando, sama dengan kejaksaan," katanya.

Komisi antirasuah yang berdiri sejak 17 tahun itu, kata Busyro, kini jauh dari khitah aslinya. Sebab, ideologi independen yang semestinya melekat di KPK telah "dihapus" dengan penuh kesadaran oleh rezim. "Kalau berharap KPK bisa kembali pada khitah awalnya, ya MK harus mengabulkan judicial review," tuturnya. Juga, menunggu kepekaan sosial Presiden Joko Widodo dalam melihat KPK sekarang ini.

Sementara itu, Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri menegaskan bahwa KPK sebagai salah satu lembaga penegak hukum dipastikan bekerja sesuai dengan koridor hukum yang berlaku. Terlebih dalam menangani kasus. Jabatan yang diisi perwira polisi pun dipastikan tidak memengaruhi kerja KPK. "Dipastikan akan bekerja sesuai dengan koridor hukum yang berlaku," tegasnya.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata juga memastikan tidak ada perubahan pola kerja di KPK sekalipun status pegawai menjadi ASN.(tyo/c14/fal/jpg)

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

spot_img

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari