Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Eks Komisioner KPU Dituntut Delapan Tahun

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Proses hukum terdakwa penerima suap permohonan penggantian antarwaktu (PAW) anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk Harun Masiku memasuki babak akhir. Eks komisioner KPU Wahyu Setiawan dan orang kepercayaannya, Agustiani Tio Fridelina menjalani sidang tuntutan, Senin (3/8).

Keduanya dituntut bersalah atas perkara yang diawali operasi tangkap tangan (OTT) pada 8 Januari lalu tersebut. Jaksa KPK menuntut hakim agar menjatuhkan hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp400 juta subsider enam bulan kurungan kepada Wahyu. Jaksa juga meminta hakim mencabut hak politik Wahyu selama empat tahun.

Sementara terhadap Tio, jaksa menuntut hakim menghukum mantan anggota Bawaslu tersebut dengan pidana penjara empat tahun enam bulan dan denda Rp200 juta subsider enam bulan kurungan. Wahyu dan Tio dinilai bersama-sama melakukan korupsi sesuai pasal 12 huruf a UU Pemberantasan Tipikor juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto pasal 64 ayat (1) KUHP.

Jaksa KPK Takdir Suhan memaparkan berdasarkan bukti-bukti dan keterangan saksi yang dihadirkan selama persidangan, Wahyu dan Tio terbukti menerima suap dari Harun Masiku bersama dengan kader PDIP Saeful Bahri secara bertahap. Totalnya setara Rp600 juta dengan perincian 19 ribu dolar Singapura dan 38,35 ribu dolar Singapura.

Baca Juga:  Wabup Serahkan Bantuan dari Baznas

"Padahal diketahui, atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya," kata jaksa dalam amar tuntutan yang dibacakan secara virtual, kemarin.

Uang tersebut diberikan agar Wahyu mengupayakan KPU menyetujui permohonan PAW, dari Riezky Aprilia ke Harun Masiku. Dalam perkara ini, Saeful Bahri telah divonis bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Saeful dijatuhi hukuman 1 tahun delapan bulan. Vonis itu dinilai sangat ringan oleh pegiat antikorupsi. Sementara itu, Harun Masiku hingga saat ini belum ditemukan. Sejak OTT pada Januari lalu, keberadaan Harun belum terdeteksi oleh KPK sampai sekarang.

Selain dituntut dalam perkara suap PAW Harun Masiku, jaksa juga membeberkan mengenai uang yang diterima Wahyu dari Rosa Muhammad Thamrin Payopo terkait proses seleksi calon anggota KPU Provinsi Papua Barat periode 2020-2025. Total uang yang diterima Wahyu melalui transfer rekening bank itu sebesar Rp500 juta.

Dalam tuntutan setebal 332 halaman itu jaksa juga meminta hakim untuk menolak permohonan justice collaborator (JC) yang diajukan penasihat hukum Wahyu. Menurut jaksa, Wahyu merupakan pelaku utama dalam perkara ini. Sehingga, permohonan JC tersebut dianggap bertentangan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 04/2011.

Baca Juga:  Buka Prodi S1 Profesi Kebidanan, UPP MoU dengan Unri

Dalam SEMA itu mengatur beberapa syarat JC. Di antaranya, pemohon JC bukanlah pelaku utama. Serta bersikap kooperatif dalam membuka tindak pidana yang melibatkan dirinya maupun pihak-pihak lain yang mempunyai peran lebih besar.

"Berdasarkan fakta-fakta hukum persidangan, terdakwa I (Wahyu) merupakan pelaku utama dalam penerimaan suap," ungkap jaksa.

Di sisi lain, tim penasihat hukum Wahyu, Tony Akbar Hasibuan menyatakan pihaknya melihat tuntutan untuk kliennya itu berbeda dengan dakwaan. Di dalam dakwaan, kata Tony, jaksa menyatakan Wahyu menerima hadiah atau janji untuk pengurusan PAW. "Namun tuntutan (jaksa) tidak jelas, apakah PAW, pergantian calon terpilih atau pengalihan suara ke Harun Masiku?," ujarnya.

Terkait penolakan JC, Tony menganggap pertimbangan jaksa tidak mendasar. Sebab, jaksa menganggap Wahyu sebagai pelaku utama hanya karena sebagai pihak yang menerima uang suap.

"Menerima kan belum tentu sebagai pelaku utama, karena terdakwa lainnya juga sama-sama menerima uang dan tidak dianggap pelaku utama," imbuh dia.(tyo/jpg)

 

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Proses hukum terdakwa penerima suap permohonan penggantian antarwaktu (PAW) anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk Harun Masiku memasuki babak akhir. Eks komisioner KPU Wahyu Setiawan dan orang kepercayaannya, Agustiani Tio Fridelina menjalani sidang tuntutan, Senin (3/8).

Keduanya dituntut bersalah atas perkara yang diawali operasi tangkap tangan (OTT) pada 8 Januari lalu tersebut. Jaksa KPK menuntut hakim agar menjatuhkan hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp400 juta subsider enam bulan kurungan kepada Wahyu. Jaksa juga meminta hakim mencabut hak politik Wahyu selama empat tahun.

- Advertisement -

Sementara terhadap Tio, jaksa menuntut hakim menghukum mantan anggota Bawaslu tersebut dengan pidana penjara empat tahun enam bulan dan denda Rp200 juta subsider enam bulan kurungan. Wahyu dan Tio dinilai bersama-sama melakukan korupsi sesuai pasal 12 huruf a UU Pemberantasan Tipikor juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto pasal 64 ayat (1) KUHP.

Jaksa KPK Takdir Suhan memaparkan berdasarkan bukti-bukti dan keterangan saksi yang dihadirkan selama persidangan, Wahyu dan Tio terbukti menerima suap dari Harun Masiku bersama dengan kader PDIP Saeful Bahri secara bertahap. Totalnya setara Rp600 juta dengan perincian 19 ribu dolar Singapura dan 38,35 ribu dolar Singapura.

- Advertisement -
Baca Juga:  Bupati Serahkan Sepeda Motor ke Penghulu

"Padahal diketahui, atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya," kata jaksa dalam amar tuntutan yang dibacakan secara virtual, kemarin.

Uang tersebut diberikan agar Wahyu mengupayakan KPU menyetujui permohonan PAW, dari Riezky Aprilia ke Harun Masiku. Dalam perkara ini, Saeful Bahri telah divonis bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Saeful dijatuhi hukuman 1 tahun delapan bulan. Vonis itu dinilai sangat ringan oleh pegiat antikorupsi. Sementara itu, Harun Masiku hingga saat ini belum ditemukan. Sejak OTT pada Januari lalu, keberadaan Harun belum terdeteksi oleh KPK sampai sekarang.

Selain dituntut dalam perkara suap PAW Harun Masiku, jaksa juga membeberkan mengenai uang yang diterima Wahyu dari Rosa Muhammad Thamrin Payopo terkait proses seleksi calon anggota KPU Provinsi Papua Barat periode 2020-2025. Total uang yang diterima Wahyu melalui transfer rekening bank itu sebesar Rp500 juta.

Dalam tuntutan setebal 332 halaman itu jaksa juga meminta hakim untuk menolak permohonan justice collaborator (JC) yang diajukan penasihat hukum Wahyu. Menurut jaksa, Wahyu merupakan pelaku utama dalam perkara ini. Sehingga, permohonan JC tersebut dianggap bertentangan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 04/2011.

Baca Juga:  Wabup Serahkan Bantuan dari Baznas

Dalam SEMA itu mengatur beberapa syarat JC. Di antaranya, pemohon JC bukanlah pelaku utama. Serta bersikap kooperatif dalam membuka tindak pidana yang melibatkan dirinya maupun pihak-pihak lain yang mempunyai peran lebih besar.

"Berdasarkan fakta-fakta hukum persidangan, terdakwa I (Wahyu) merupakan pelaku utama dalam penerimaan suap," ungkap jaksa.

Di sisi lain, tim penasihat hukum Wahyu, Tony Akbar Hasibuan menyatakan pihaknya melihat tuntutan untuk kliennya itu berbeda dengan dakwaan. Di dalam dakwaan, kata Tony, jaksa menyatakan Wahyu menerima hadiah atau janji untuk pengurusan PAW. "Namun tuntutan (jaksa) tidak jelas, apakah PAW, pergantian calon terpilih atau pengalihan suara ke Harun Masiku?," ujarnya.

Terkait penolakan JC, Tony menganggap pertimbangan jaksa tidak mendasar. Sebab, jaksa menganggap Wahyu sebagai pelaku utama hanya karena sebagai pihak yang menerima uang suap.

"Menerima kan belum tentu sebagai pelaku utama, karena terdakwa lainnya juga sama-sama menerima uang dan tidak dianggap pelaku utama," imbuh dia.(tyo/jpg)

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari