Mitra Pengemudi Ojol Tegas Tolak Tapera

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Kebijakan Tapera terus menyulut reaksi penolakan dari berbagai kalangan. Diisukan juga akan menyasar pekerja informal, termasuk misalnya mitra pengemudi transportasi online, wacana Tapera semakin kencang mendapat penolakan.

Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Ojek Daring Garda Indonesia Igun Wicaksono menegaskan bahwa pihaknya menolak adanya rencana potongan wajib untuk BP Tapera yang akan dikenakan kepada para mitra pengemudi ojek online (ojol).

”Karena sudah banyak potongan penghasilan ojol selama ini, seperti pajak, potongan aplikasi dengan kisaran 15 sampai 25 persen lalu akan dibebani lagi untuk potongan wajib BP Tapera, akhirnya pekerja kecil seperti ojol harus dibebani oleh pemerintah. Jadi kami menolak keras,” ujar Igun, saat dihubungi Jawa Pos (JPG), Senin (3/6).

Selain itu, Igun menyesalkan belum pernah adanya komunikasi sedikitpun pihak pemerintah dengan  asosiasi. ”Terlepas kami tidak perlu pemahaman juga dari pemerintah. Makanya bagi kami penolakan potongan wajib BP Tapera adalah harga mati tanpa ada tawaran solusi lain,” beber Igun.

- Advertisement -

Di lain pihak, Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) Lily Pujiati juga melontarkan penolakan potongan Tapera bagi pengemudi taksi dan ojek online alias ojol. “Karena membebani pengemudi di tengah ketidakpastian pendapatan yang semakin menurun,” ujarnya.

Lily berharap pemerintah melibatkan aspirasi publik sebelum membuat keputusan. Dengan begitu, aturan mendatangkan manfaat bagi rakyat, termasuk pekerja online seperti pengemudi taksi dan ojek online alias ojol.

- Advertisement -

Dalam kajian yang dirilis Center of Economic and Law Studies (Celios), dipaparkan beberapa dampak negatif kebijakan Tapera. Direktur Ekonomi Celios Nailul Huda menyampaikan, kebijakan Tapera berdasarkan hasil simulasi ekonomi menyebabkan penurunan PDB sebesar Rp1,21 triliun, yang menunjukkan dampak negatif pada keseluruhan output ekonomi nasional.

’’Perhitungan menggunakan model Input-Output juga menunjukkan surplus keuntungan dunia usaha turut mengalami penurunan sebesar Rp1,03 triliun dan pendapatan pekerja turut terdampak, dengan kontraksi sebesar Rp200 miliar, yang berarti daya beli masyarakat juga berkurang dan menurunkan permintaan berbagai jenis sektor usaha,’’ ujar Huda di Jakarta, Senin (3/6).

Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menambahkan, efek paling signifikan terlihat pada pengurangan tenaga kerja, di mana kebijakan ini dapat menyebabkan hilangnya 466,83 ribu pekerjaan.

’’Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan iuran wajib Tapera berdampak negatif pada lapangan kerja, karena terjadi pengurangan konsumsi dan investasi oleh perusahaan. Meskipun ada sedikit peningkatan dalam penerimaan negara bersih sebesar Rp 20 miliar, jumlah ini sangat kecil dibandingkan dengan kerugian ekonomi yang terjadi di sektor-sektor lain,’’ ujar Bhima.

Huda juga mencermati dampak selama kebijakan Tapera berjalan, masalah backlog perumahan juga belum dapat diatasi. Bahkan jika ditarik lebih jauh ke model Taperum, masalah backlog perumahan ini masih belum terselesaikan.

’’Adapun alasan backlog sempat alami penurunan lebih disebabkan oleh perubahan gaya anak muda yang memilih tidak tinggal di hunian permanen atau berpindah-pindah dari satu rumah sewa ke rumah lainnya,’’ lanjut Huda.

Dalam kajian diterbitkan oleh Celios, terdapat setidaknya 7 rekomendasi untuk perbaikan Tapera. Pertama, melakukan perubahan agar tabungan Tapera hanya diperuntukkan untuk ASN, TNI/Polri, sedangkan pekerja formal dan mandiri bersifat sukarela.

Kedua, mendorong transparansi pengelolaan dana Tapera termasuk asesmen imbal hasil (yield) dari tiap instrumen penempatan dana. Ketiga, memperkuat tata kelola dana Tapera dengan pelibatan aktif KPK, dan BPK.

Keempat, meningkatkan daya beli masyarakat agar kenaikan harga rumah bisa di imbangi dengan naiknya pendapatan rata-rata kelas menengah dan bawah. Kelima, mengendalikan spekulasi tanah yang menjadi dasar kenaikan ekstrem harga hunian.

Keenam, menurunkan tingkat suku bunga KPR baik fixed (tetap) maupun floating (mengambang) dengan efisiensi NIM perbankan dan intervensi kebijakan moneter Bank Indonesia. Ketujuh, memprioritaskan dana APBN untuk perumahan rakyat dibandingkan megaproyek yang berdampak kecil terhadap ketersediaan hunian seperti proyek IKN.

Di sisi lain, pemerintah dinilai bisa memaksimalkan dana manfaat layanan tambahan (MLT) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan yang diperuntukkan bagi program kepemilikan rumah untuk pekerja yang belum memiliki tempat tinggal. Termasuk program jaminan hari tua (JHT) seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46/2015. Pemanfaatn MLT juga diatur di Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 17/2021 tentang perubahan atas Permenaker Nomor 35/2016 tentang tata cara pemberian, persyaratan, dan jenis MLT.

Tak ayal, program Tapera yang menyasar sektor swasta saat ini tentu menimbulkan polemik. Lantas, apakah Tapera akan tumpang tindih dengan MLT BPJS Ketenagakerjaan? Direktur Keuangan BPJS Ketenagakerjaan Asep Rahmat Suwandha meyakini setiap kebijakan pemerintah sudah ada kajiannya dan bertujuan untuk kesejahteraan para pekerja.

Dengan demikian, Asep menyatakan, bahwa program Tapera dan MLT jelas berbeda. Tapera merupakan tabungan untuk memiliki rumah. Sedangkan MLT merupakan program tambahan untuk memperluas manfaat yang diterima peserta.

Sejak tahun lalu, BPJS Ketenagakerjaan sudah bekerja sama dengan perbankan untuk menyalurkan perluasan manfaat MLT untuk perumahan dalam tiga bentuk manfaat. “Satu untuk perumahan maksimal Rp500 juta plafonnya. Kemudian untuk renovasi Rp200 juta, dan uang muka perumahan itu Rp150 juta. Dan ada juga yang kita kerjasama khusus dengan pengembang untuk membangun rumah pekerja. Nah itu sudah ada sekitar 8 (pengembang),” jelas Asep di Menara Bank Danamon, Senin (3/6).

Menurut dia, saat ini jumlah yang ikut program MLT belum banyak. Berkisar 4.000 peserta untuk perumahan. “Memang masih ada PR di situ (untuk meningkatkan jumlah kepesertaan),” ujarnya.

Terkait imbas program Tapera terhadap kepesertaan program MLT, Asep belum bisa berkomentar. Yang jelas, BPJS Ketenagakerjaan akan melaksanakan peraturan pemerintah. Meski memang, sudah ada diskusi dengan Badan Pengelola (BP) Tapera terkait sinkronisasi manfaat-manfaat yang ditawarkan kedua belah pihak untuk masing-masing pesertanya.

“Saat ini, kami banyak diskusi juga dengan regulator dan beberapa pihak Tapera. Di Tapera itu ada peserta, di kita juga ada peserta. Nah bagaimana menyinkronkan manfaat yang ada. Saat ini baru sejauh itu,” ujarnya.(dee/agf/han/jpg)






Reporter: Redaksi Riau Pos Riau Pos

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Kebijakan Tapera terus menyulut reaksi penolakan dari berbagai kalangan. Diisukan juga akan menyasar pekerja informal, termasuk misalnya mitra pengemudi transportasi online, wacana Tapera semakin kencang mendapat penolakan.

Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Ojek Daring Garda Indonesia Igun Wicaksono menegaskan bahwa pihaknya menolak adanya rencana potongan wajib untuk BP Tapera yang akan dikenakan kepada para mitra pengemudi ojek online (ojol).

”Karena sudah banyak potongan penghasilan ojol selama ini, seperti pajak, potongan aplikasi dengan kisaran 15 sampai 25 persen lalu akan dibebani lagi untuk potongan wajib BP Tapera, akhirnya pekerja kecil seperti ojol harus dibebani oleh pemerintah. Jadi kami menolak keras,” ujar Igun, saat dihubungi Jawa Pos (JPG), Senin (3/6).

Selain itu, Igun menyesalkan belum pernah adanya komunikasi sedikitpun pihak pemerintah dengan  asosiasi. ”Terlepas kami tidak perlu pemahaman juga dari pemerintah. Makanya bagi kami penolakan potongan wajib BP Tapera adalah harga mati tanpa ada tawaran solusi lain,” beber Igun.

Di lain pihak, Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) Lily Pujiati juga melontarkan penolakan potongan Tapera bagi pengemudi taksi dan ojek online alias ojol. “Karena membebani pengemudi di tengah ketidakpastian pendapatan yang semakin menurun,” ujarnya.

Lily berharap pemerintah melibatkan aspirasi publik sebelum membuat keputusan. Dengan begitu, aturan mendatangkan manfaat bagi rakyat, termasuk pekerja online seperti pengemudi taksi dan ojek online alias ojol.

Dalam kajian yang dirilis Center of Economic and Law Studies (Celios), dipaparkan beberapa dampak negatif kebijakan Tapera. Direktur Ekonomi Celios Nailul Huda menyampaikan, kebijakan Tapera berdasarkan hasil simulasi ekonomi menyebabkan penurunan PDB sebesar Rp1,21 triliun, yang menunjukkan dampak negatif pada keseluruhan output ekonomi nasional.

’’Perhitungan menggunakan model Input-Output juga menunjukkan surplus keuntungan dunia usaha turut mengalami penurunan sebesar Rp1,03 triliun dan pendapatan pekerja turut terdampak, dengan kontraksi sebesar Rp200 miliar, yang berarti daya beli masyarakat juga berkurang dan menurunkan permintaan berbagai jenis sektor usaha,’’ ujar Huda di Jakarta, Senin (3/6).

Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menambahkan, efek paling signifikan terlihat pada pengurangan tenaga kerja, di mana kebijakan ini dapat menyebabkan hilangnya 466,83 ribu pekerjaan.

’’Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan iuran wajib Tapera berdampak negatif pada lapangan kerja, karena terjadi pengurangan konsumsi dan investasi oleh perusahaan. Meskipun ada sedikit peningkatan dalam penerimaan negara bersih sebesar Rp 20 miliar, jumlah ini sangat kecil dibandingkan dengan kerugian ekonomi yang terjadi di sektor-sektor lain,’’ ujar Bhima.

Huda juga mencermati dampak selama kebijakan Tapera berjalan, masalah backlog perumahan juga belum dapat diatasi. Bahkan jika ditarik lebih jauh ke model Taperum, masalah backlog perumahan ini masih belum terselesaikan.

’’Adapun alasan backlog sempat alami penurunan lebih disebabkan oleh perubahan gaya anak muda yang memilih tidak tinggal di hunian permanen atau berpindah-pindah dari satu rumah sewa ke rumah lainnya,’’ lanjut Huda.

Dalam kajian diterbitkan oleh Celios, terdapat setidaknya 7 rekomendasi untuk perbaikan Tapera. Pertama, melakukan perubahan agar tabungan Tapera hanya diperuntukkan untuk ASN, TNI/Polri, sedangkan pekerja formal dan mandiri bersifat sukarela.

Kedua, mendorong transparansi pengelolaan dana Tapera termasuk asesmen imbal hasil (yield) dari tiap instrumen penempatan dana. Ketiga, memperkuat tata kelola dana Tapera dengan pelibatan aktif KPK, dan BPK.

Keempat, meningkatkan daya beli masyarakat agar kenaikan harga rumah bisa di imbangi dengan naiknya pendapatan rata-rata kelas menengah dan bawah. Kelima, mengendalikan spekulasi tanah yang menjadi dasar kenaikan ekstrem harga hunian.

Keenam, menurunkan tingkat suku bunga KPR baik fixed (tetap) maupun floating (mengambang) dengan efisiensi NIM perbankan dan intervensi kebijakan moneter Bank Indonesia. Ketujuh, memprioritaskan dana APBN untuk perumahan rakyat dibandingkan megaproyek yang berdampak kecil terhadap ketersediaan hunian seperti proyek IKN.

Di sisi lain, pemerintah dinilai bisa memaksimalkan dana manfaat layanan tambahan (MLT) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan yang diperuntukkan bagi program kepemilikan rumah untuk pekerja yang belum memiliki tempat tinggal. Termasuk program jaminan hari tua (JHT) seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46/2015. Pemanfaatn MLT juga diatur di Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 17/2021 tentang perubahan atas Permenaker Nomor 35/2016 tentang tata cara pemberian, persyaratan, dan jenis MLT.

Tak ayal, program Tapera yang menyasar sektor swasta saat ini tentu menimbulkan polemik. Lantas, apakah Tapera akan tumpang tindih dengan MLT BPJS Ketenagakerjaan? Direktur Keuangan BPJS Ketenagakerjaan Asep Rahmat Suwandha meyakini setiap kebijakan pemerintah sudah ada kajiannya dan bertujuan untuk kesejahteraan para pekerja.

Dengan demikian, Asep menyatakan, bahwa program Tapera dan MLT jelas berbeda. Tapera merupakan tabungan untuk memiliki rumah. Sedangkan MLT merupakan program tambahan untuk memperluas manfaat yang diterima peserta.

Sejak tahun lalu, BPJS Ketenagakerjaan sudah bekerja sama dengan perbankan untuk menyalurkan perluasan manfaat MLT untuk perumahan dalam tiga bentuk manfaat. “Satu untuk perumahan maksimal Rp500 juta plafonnya. Kemudian untuk renovasi Rp200 juta, dan uang muka perumahan itu Rp150 juta. Dan ada juga yang kita kerjasama khusus dengan pengembang untuk membangun rumah pekerja. Nah itu sudah ada sekitar 8 (pengembang),” jelas Asep di Menara Bank Danamon, Senin (3/6).

Menurut dia, saat ini jumlah yang ikut program MLT belum banyak. Berkisar 4.000 peserta untuk perumahan. “Memang masih ada PR di situ (untuk meningkatkan jumlah kepesertaan),” ujarnya.

Terkait imbas program Tapera terhadap kepesertaan program MLT, Asep belum bisa berkomentar. Yang jelas, BPJS Ketenagakerjaan akan melaksanakan peraturan pemerintah. Meski memang, sudah ada diskusi dengan Badan Pengelola (BP) Tapera terkait sinkronisasi manfaat-manfaat yang ditawarkan kedua belah pihak untuk masing-masing pesertanya.

“Saat ini, kami banyak diskusi juga dengan regulator dan beberapa pihak Tapera. Di Tapera itu ada peserta, di kita juga ada peserta. Nah bagaimana menyinkronkan manfaat yang ada. Saat ini baru sejauh itu,” ujarnya.(dee/agf/han/jpg)






Reporter: Redaksi Riau Pos Riau Pos
Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya