JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Setelah ditangkap KPK, eks Wali Kota Jogjakarta Haryadi Suyuti (HS) ditetapkan sebagai tersangka kasus penyuapan, Jumat (3/6). Penyuapan itu diduga untuk memuluskan pembangunan Apartemen Royal Kedhaton di kawasan Malioboro, Kota Jogjakarta.
Wali kota dua periode itu disangka menerima suap 27.258 dolar AS (Rp393,4 juta) dari Vice President Real Estate PT Summarecon Agung (SA) Tbk Oon Nusihono (ON).
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyampaikan, pihaknya akan mendalami apakah uang suap yang diberikan Oon Nusihono kepada Haryadi Suyuti diambil dari kas perusahaan, atau diketahui oleh pihak direksi dari PT Summarecon Agung Tbk.
“Ya tentu nanti akan didalami apakah uang yang diberikan tersebut dari kasnya Summarecon atau atas persetujuan dari dewan direksi," kata Alexander Marwata di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat (3/6).
Alex mengungkapkan, jika pihak dari PT Summarecon Agung menyetujui pemberian imbalan dalam pengurusan perizinan, maka korporasi bisa saja terlibat. Namun, hal ini masih akan didalami oleh lembaga antirasuah.
“Kalau sudah menjadi kebijakan korporasi misalnya korporasi menyetujui atau mengetahui untuk memberikan imbalan atau sesuatu dalam pengurusan perizinan ya berarti kan korporasi terlibat dalam proses penyuapan dan diketahui oleh PT SA tadi," tegas Alex.
Haryadi menjadi tersangka penerima suap bersama dua orang kepercayaannya. Yakni, Nurwidhihartana (NWH), Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP) Pemkot Jogjakarta, dan Triyanto Budi Yuwono (TBY), sekretaris pribadi/ajudan Haryadi. Sementara itu, Oon Nusihono jadi tersangka pemberi suap.
Alexander Marwata menjelaskan, kasus dugaan suap yang diawali dari kegiatan tangkap tangan di Jogjakarta dan Jakarta pada Kamis (2/6) lalu tersebut bermula dari pengajuan permohonan izin mendirikan bangunan (IMB) Apartemen Royal Kedhaton pada 2019 silam.
Anak usaha Summarecon Agung, yakni PT Java Orient Property (JOP), bertindak sebagai pemohon IMB itu ke dinas PMPTSP. Oon bersama Dirut PT JOP Dandan Jaya K diduga intens melakukan pendekatan dan berkomunikasi dengan Haryadi guna memuluskan IMB tersebut. Hingga akhirnya pada 2021, Haryadi berkomitmen "mengawal" permohonan IMB sampai terbit.
Haryadi juga diduga memerintah kepala dinas PUPR (pekerjaan umum dan perumahan rakyat) untuk segera menerbitkan IMB yang dimaksud. "Ada pemberian sejumlah uang selama proses pengurusan izin berlangsung," kata Alex dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (3/6).
KPK mengendus adanya pemberian Rp50 juta dari Oon untuk Haryadi selama proses penerbitan IMB tersebut. Pemberian uang itu sebagian melalui Triyanto, ajudan Haryadi. Dalam perjalanannya, dinas PUPR melakukan penelitian dan kajian terkait IMB tersebut.
Hasilnya, beberapa syarat pembangunan tidak terpenuhi. Di antaranya, berkaitan dengan tinggi bangunan dan posisi derajat kemiringan bangunan dari ruas jalan. "Jadi, terdapat ketidaksesuaian dasar aturan bangunan," ungkap Alex.
Mengetahui syarat tidak terpenuhi, Haryadi tidak tinggal diam. Dia menerbitkan surat rekomendasi yang mengakomodasi kepentingan Oon. Melalui surat "sakti’’ tersebut, pria yang menjabat wali kota Jogja sejak 2012 dan baru saja purnatugas itu menyetujui tinggi bangunan apartemen yang diajukan PT JOP melebihi batas aturan maksimal.
Nah, setelah semuanya bisa dikondisikan, IMB Apartemen Royal Kedhaton yang ditunggu-tunggu pihak Summarecon akhirnya terbit Kamis (2/6) lalu. Sebagai ucapan terima kasih, Oon datang ke Jogjakarta menemui Haryadi di rumah dinasnya. Oon datang dengan membawa goodie bag berisi uang 27.258 dolar AS (Rp393,4 juta). Uang itu diberikan kepada Haryadi melalui ajudannya.
Alex mengatakan, Haryadi dkk dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sementara itu, Oon disangka melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau pasal 13 UU Pemberantasan Tipikor juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Empat tersangka itu kemarin langsung ditahan untuk keperluan penyidikan. Alex menambahkan, Haryadi diduga tidak sekali menerima uang berkaitan dengan pengurusan IMB tersebut. Bukan hanya itu, menurut laporan masyarakat yang diterima KPK, eks Wali Kota Jogjakarta tersebut juga ditengarai melakukan korupsi di sejumlah sektor. "Hal ini (dugaan korupsi lain) akan dilakukan pendalaman oleh tim penyidik," terangnya saat dikonfirmasi Jawa Pos (JPG).
Terkait pemberi suap, KPK punya catatan tersendiri. Oon tercatat pernah dipanggil sebagai saksi kasus TPPU (tindak pidana pencucian uang) Wali Kota Bekasi (nonaktif) Rahmat Effendi alias Pepen. Itu disebabkan Summarecon Agung ditengarai pernah menyumbang Rp1 miliar ke panitia pembangunan Masjid Arryasakha Kota Bekasi yang dikelola Pepen dan keluarganya melalui Yayasan Pendidikan Sakha Ramdan Aditya.
Aliran dana itu disebut dalam dakwaan Pepen yang dibacakan belum lama ini. Alex menyebut, keterlibatan Summarecon Agung dalam pusaran kasus suap menjadi catatan penting. Dia pun berjanji menelusuri asal muasal uang yang digunakan Oon untuk menyuap Haryadi. Termasuk uang yang digunakan Summarecon Agung untuk menyumbang yayasan milik keluarga Pepen. "(Untuk menjawab) apakah itu berasal dari kas perusahaan atau bukan," tuturnya.
Mantan hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Jakarta itu menambahkan, pihaknya akan memaksimalkan upaya pencegahan korupsi di sektor perizinan. Selama ini, sektor tersebut menjadi salah satu modus korupsi paling tinggi yang ditangani KPK. Korupsi di sektor itu, kata Alex, berdampak pada persaingan bisnis yang tidak sehat.(tyo/c6/ttg)