WASHINGTON (RIAUPOS.CO) – Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden, mengancam akan memberlakukan kembali sanksi terhadap Myanmar. Ancaman itu menyusul kudeta yang dilakukan para pemimpin militer negara Asia Tenggara itu, Senin (1/1/2021).
Biden juga menyerukan respons internasional bersama untuk menekan militer Myanmar agar melepaskan kekuasaan.
Biden mengutuk pengambilalihan kekuasaan secara paksa oleh militer dari pemerintahan sipil Myanmar pada Senin (1/2/2021). Dia juga mengecam penahanan pemimpin terpilih Myanmar sekaligus peraih Nobel, Aung San Suu Kyi.
“Ini adalah serangan langsung terhadap transisi negara (Myanmar, red) itu menuju demokrasi dan supremasi hukum,” ungkap Biden dalam sebuah pernyataan dikutip Reuters, Selasa (2/2/2021).
“Komunitas internasional harus bersatu dalam satu suara untuk menekan militer Burma (Myanmar, red) agar segera melepaskan kekuasaan yang mereka rebut, membebaskan para aktivis dan pejabat yang mereka tangkap,” kata politikus Partai Demokrat itu.
Menurut Biden, AS sebelumnya bersedia mencabut sanksi terhadap Myanmar selama satu dekade terakhir karena berdasarkan kemajuan negara itu menuju demokrasi. Namun, kudeta militer kali ini membuat AS meninjau kembali pencabutan sanksi itu. Washington DC tengah mempertimbangkan untuk menjatuhkan hukuman baru kepada Myanmar.
“Kami akan bekerja dengan mitra kami di seluruh kawasan dan dunia untuk mendukung pemulihan demokrasi dan supremasi hukum, serta meminta pertanggungjawaban mereka yang bertanggung jawab untuk membatalkan transisi demokrasi Burma,” ucap Biden.
Biden meminta militer di Myanmar untuk mencabut semua pembatasan telekomunikasi dan menahan diri dari kekerasan terhadap warga sipil.
Seorang pejabat Amerika mengatakan kepada Reuters, Pemerintah AS telah menggelar rapat internal tingkat tinggi yang bertujuan untuk menyusun tanggapan “seluruh pemerintah” dan berencana untuk berkonsultasi erat dengan Kongres AS terkait kudeta di Myanmar.
Seperti diketahui, militer Myanmar melakukan kudeta atas kepemimpinan Aung San Suu Kyi, Senin (1/2/2021). Kekuasaan pemerintah kini diserahkan kepada Panglima Angkatan Bersenjata, Jenderal Min Aung Hlaing.
Perempuan 75 tahun itu ditahan bersama para pejabat pemerintah, termasuk Presiden Win Myint, serta para pimpinan partai berkuasa, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), terkait tuduhan kecurangan pemilu November 2020.
Suu Kyi sendiri memiliki jabatan sebagai "penasehat" dalam pemerintahan Myanmar pascapemilu 2015. Namun secara de facto, dialah sebenarnya Presiden Myanmar. Presiden Myanmar de jure, Win Myint, selalu melapor kepadanya setiap akan melakukan keputusan besar.
Kondisi ini terjadi karena konstitusi negara melarang seseorang yang punya istri, suami, atau anak yang bukan dari warga Myanmar, dilarang menjadabat sebagai presiden. Seperti diketahui, suami Suu Kyi, Michael Aris, adalah lelaki Inggris berkewarganegaraan Kuba yang meninggal pada 1999. Padahal, Partai NLD yang dipimpinnya menginginkan Suu Kyi sebagai presiden, tapi terhalang konstitusi.
Dalam keterangan yang disiarkan stasiun televisi milik militer, sebagaimana dilaporkan kembali Reuters, keadaan darurat diberlakukan selama setahun. Sementara itu sambungan telepon ke Ibu Kota Naypyitaw serta kota pusat ekonomi Yangon terputus.
Stasiun televisi pemerintah tidak bisa melakukan siaran dengan alasan ada kendala teknis. Kantor stasiun televisi itu juga dijaga ketat tentara. Militer juga mengerahkan personel untuk menjaga Balai Kota Yangon.
Sementara itu masyarakat melaporkan akses internet serta layanan telepon ke kantor pusat NLD diputus sehingga mereka tak bisa mengakses informasi. Bukan hanya itu, koneksi internet juga turun drastis berdasarkan laporan kelompok pemantau NetBlocks.
Sumber: Reuters/News/Berbagai Sumber
Editor: Hary B Koriun