JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Keberhasilan Polri menangkap Djoko Tjandra menuai pujian dan apresiasi dari banyak pihak. Pasalnya, buron kasus pengalihan hak tagih Bank Bali itu sudah sekitar 11 tahun melarikan diri. Sementara kelakuannya beberapa waktu lalu sempat membuat heboh Tanah Air.
Karena sosok yang dijuliki Joker itu dengan mudahnya "mengendalikan" sejumlah aparat hukum untuk kepentingannya. Yakni memuluskan pelariannya sekaligus upaya agar bisa lolos dari jeratan hukum.
Psikolog forensik Reza Indragiri Amriel menilai, penangkapan Djoko Tjandra oleh Tim Bareskrim dan Propam Polri itu adalah hal biasa. Bahkan, Reza meminta agar penangkapan itu tidak dibesar-besarkan.
Sebab, adalah sebuah hal yang wajar aparat kepolisian menangkap seorang penjahat. "Djoko Tjandra tertangkap, okelah ini bagus. Namun, bagi saya penangkapan itu wajar-wajar saja. Enggak ada yang luar biasa tuh," kata Reza seperti dikutip PojokSatu.id (Jawa Pos Group), Sabtu (1/8).
Menurutnya, keberhasilan penangkapan Djoko Tjandra itu hanya membuktikan kerja yang dinilai serius. Sebab selama ini, kata dia, disinyalir masyarakat menilai kepolisian tidak serius menuntaskan kasus Djoko Tjandra. Pun demikian saat nantinya diproses hukum sekalipun, lanjutnya, adalah hal yang biasa pula.
"Ini proses yang normatif. Yang namanya penjahat ya kudu diburu lembaga penegakan hukum," ucapnya.
Dengan dasar sikap seperti itu, walau tidak dinihilkan, menurut Reza, tidak ada nilai tambah dari penangkapan tersebut. Apalagi jika dikaitkan-kaitkan dengan isu jelang pergantian Kapolri.
"Saya lebih respek kalau penangkapan ini menjadi jalan pembuka bagi pembersihan di seluruh lembaga penegakan hukum. Pembersihan lewat penindakan organisasi dan pidana, lalu hasilnya diumumkan ke publik," jelas Reza.
Reza berpendapat, di institusi penegakan hukum, marak subkultur bernama Blue Curtain Code atau Code of Silence. Yaitu kebiasaan menyimpang untuk menutup-nutupi kesalahan sesama kolega. Code of silence terdapat pada seluruh lapisan organisasi penegakan hukum. Namun efeknya lebih destruktif ketika berlangsung di jajaran petinggi.
"Alhasil, siapapun yang mampu menolak Code of Silence itu, artinya sanggup melakukan pembersihan internal, dialah yang cocok menjadi orang nomor satu di organisasinya," kata Reza.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Rinaldi