Perlu Akomodir Media Lokal dan Komunitas

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Pemerintah diharapkan bisa mengakomodir kehadiran media lokal dan komunitas dalam frekuensi multipleksing (MUX) yang akan menjadi basis dari era televisi digital nasional.

Sesuai amanat UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, pemerintah diharapkan segera melakukan transformasi penyiaran dari frekuensi analog ke digital dengan melakukan Analog Switch Off (ASO) 2 tahun setelah peraturan diundangkan yakni paling lambat November 2022.

- Advertisement -

Namun, menurut Pengamat Media dari Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung, Eni Maryani pemerintah masih punya banyak PR yang harus diselesaikan sebelum Indonesia bisa bermigrasi ke siaran digital.

Salah satu problem penyiaran saat ini adalah terpinggirkannya konten lokal dan konten-konten budaya yang tidak mampu bersaing dengan konten-konten populer yang diproduksi oleh televisi nasional yang mendominasi frekuensi penyiaran saat ini. Konten-konten lokal tersebut biasanya diproduksi oleh media-media lokal dan nasional yang skalanya lebih kecil.

- Advertisement -

Eni khawatir dengan teknologi penyiaran digital MUX, media-media tersebut tidak lagi bisa bersaing. Apalagi teknologi MUX lebih mahal sehingga biaya sewa frekuensi juga lebih mahal. ”Pembiayaan MUX harus disesuaikan dengan kemampuan mereka (media-media lokal, red) agar mereka mampu bersaing,” katanya.

Selama ini kata Eni, dunia penyiaran dikuasai oleh grup-grup besar televisi nasional. Hal ini mengesampingkan hak masyarakat untuk mendapatkan keadilan akses informasi. Di mana masyarakat hanya dicekoki berita dari Jakarta saja. Hal ini tidak baik misalnya untuk proses demokrasi di mana seharusnya masyarakat bisa memperoleh informasi yang layak soal calon kepala daerah. “Akhirnya terjadi keributan nasional seperti pilkada DKI (tahun 2017, red). Orang daerah juga ikut ribut,” jelas Eni.

Eni berharap dalam aturan turunan UU Cipta Kerja nantinya, baik dalam PP maupun Peraturan Menteri, masyarakat diajak untuk berkomunikasi. Terutama mereka yang terdampak langsung aturan ini. Seperti pemilik media lokal dan komunitas. “Saya rasa PP Nomor 46 tahun 2021 belum cukup mendetail. Apalagi kita butuh aturan proteksi bagi media-media kecil ini,” katanya.  

Problem komunikasi satu arah Kementerian Kominfo ini juga dibenarkan oleh Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Hardly Stefano. Ia menyatakan, dengan waktu hanya 19 bulan, Kominfo punya banyak sekali hal yang harus diselesaikan. Apalagi menurutnya PP 46 masih bersifat sangat umum. “Banyak hal seperti formula perhitungan sewa MUX. Itu saya pikir akan diakomodir di Peraturan Menteri,” jelasnya.

Sebelum UU Cipta Kerja, Hardly menyatakan Kominfo telah menetapkan media-media pengelola frekuensi MUX  di setiap provinsi. Ini saja kata dia belum jelas dalam aturannya apakah komposisinya masih sama, atau akan dilakukan perubahan.

Kemudian yang tidak kalah penting kata Hardly adalah standar teknis dan ukuran obyektif dari layanan penyiaran MUX itu sendiri. Harus dipastikan adanya fairness competition, seleksi kriteria pengelola MUX dan melibatkan sebanyak mungkin media-media. “Termasuk berapa persen frekuensi yang boleh diisi oleh media-media afiliasi dari pengelola frekuensi tersebut,” katanya.

Hardly mendorong Kominfo untuk segera mengakhiri tipe komunikasi satu arah ini dan membuka konsultasi publik seluas-luasnya. “Bisa dilakukan di diskusi publik, DPR, di forum-forum terbuka. Media-media lokal juga bisa mulai menggalang diskusi-diskusi sejenis,” katanya.(tau/jpg)

 

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Pemerintah diharapkan bisa mengakomodir kehadiran media lokal dan komunitas dalam frekuensi multipleksing (MUX) yang akan menjadi basis dari era televisi digital nasional.

Sesuai amanat UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, pemerintah diharapkan segera melakukan transformasi penyiaran dari frekuensi analog ke digital dengan melakukan Analog Switch Off (ASO) 2 tahun setelah peraturan diundangkan yakni paling lambat November 2022.

Namun, menurut Pengamat Media dari Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung, Eni Maryani pemerintah masih punya banyak PR yang harus diselesaikan sebelum Indonesia bisa bermigrasi ke siaran digital.

Salah satu problem penyiaran saat ini adalah terpinggirkannya konten lokal dan konten-konten budaya yang tidak mampu bersaing dengan konten-konten populer yang diproduksi oleh televisi nasional yang mendominasi frekuensi penyiaran saat ini. Konten-konten lokal tersebut biasanya diproduksi oleh media-media lokal dan nasional yang skalanya lebih kecil.

Eni khawatir dengan teknologi penyiaran digital MUX, media-media tersebut tidak lagi bisa bersaing. Apalagi teknologi MUX lebih mahal sehingga biaya sewa frekuensi juga lebih mahal. ”Pembiayaan MUX harus disesuaikan dengan kemampuan mereka (media-media lokal, red) agar mereka mampu bersaing,” katanya.

Selama ini kata Eni, dunia penyiaran dikuasai oleh grup-grup besar televisi nasional. Hal ini mengesampingkan hak masyarakat untuk mendapatkan keadilan akses informasi. Di mana masyarakat hanya dicekoki berita dari Jakarta saja. Hal ini tidak baik misalnya untuk proses demokrasi di mana seharusnya masyarakat bisa memperoleh informasi yang layak soal calon kepala daerah. “Akhirnya terjadi keributan nasional seperti pilkada DKI (tahun 2017, red). Orang daerah juga ikut ribut,” jelas Eni.

Eni berharap dalam aturan turunan UU Cipta Kerja nantinya, baik dalam PP maupun Peraturan Menteri, masyarakat diajak untuk berkomunikasi. Terutama mereka yang terdampak langsung aturan ini. Seperti pemilik media lokal dan komunitas. “Saya rasa PP Nomor 46 tahun 2021 belum cukup mendetail. Apalagi kita butuh aturan proteksi bagi media-media kecil ini,” katanya.  

Problem komunikasi satu arah Kementerian Kominfo ini juga dibenarkan oleh Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Hardly Stefano. Ia menyatakan, dengan waktu hanya 19 bulan, Kominfo punya banyak sekali hal yang harus diselesaikan. Apalagi menurutnya PP 46 masih bersifat sangat umum. “Banyak hal seperti formula perhitungan sewa MUX. Itu saya pikir akan diakomodir di Peraturan Menteri,” jelasnya.

Sebelum UU Cipta Kerja, Hardly menyatakan Kominfo telah menetapkan media-media pengelola frekuensi MUX  di setiap provinsi. Ini saja kata dia belum jelas dalam aturannya apakah komposisinya masih sama, atau akan dilakukan perubahan.

Kemudian yang tidak kalah penting kata Hardly adalah standar teknis dan ukuran obyektif dari layanan penyiaran MUX itu sendiri. Harus dipastikan adanya fairness competition, seleksi kriteria pengelola MUX dan melibatkan sebanyak mungkin media-media. “Termasuk berapa persen frekuensi yang boleh diisi oleh media-media afiliasi dari pengelola frekuensi tersebut,” katanya.

Hardly mendorong Kominfo untuk segera mengakhiri tipe komunikasi satu arah ini dan membuka konsultasi publik seluas-luasnya. “Bisa dilakukan di diskusi publik, DPR, di forum-forum terbuka. Media-media lokal juga bisa mulai menggalang diskusi-diskusi sejenis,” katanya.(tau/jpg)

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya