PEKANBARU (RIAUPOS.CO) — SAMPAH bisa jadi masalah, tapi juga bisa jadi solusi. Dua pekan ini, sampah jadi masalah serius. Tapi sebenarnya, sampah merupakan solusi bahkan peluang, dari uang, investasi hingga energi. Masalahnya, Pemko Pekanbaru tidak ingin bekerja dan berpikir keras. Ingin yang mudah saja. Kontraklah jalan pintas itu.
Praktisi tata kota sekaligus dosen Teknik Sipil Universitas Riau Dr Muhammad Ikhsan ST MSc menyampaikan, pengelolaan sampah harus dikelola dengan baik dari hulu hingga hilir. Dengan demikian, sampah tidak hanya menjadi masalah, tetapi juga menjadi berkah.
"Kalau dikelola dengan baik, maka masalah bisa diperkecil, bahkan bisa mendapatkan keuntungan. Jadi orang bisa hidup dari sampah, bisnis dari sampah, dan menghasilkan energi dari sampah. Tentu dengan pengelolaan yang benar," kata Ikhsan, Kamis (14/1).
Persoalan sampah dimulai dari rumah, kantor, industri, pasar, dan lain-lain. Pengelolaan sampah harus dimulai dari hulu, dikatakan Ikhsan yang harus dilakukan oleh masyarakat adalah memulai dengan melakukan pemisahan sampah. Pemisahan sampah ini akan mengurangi volume sampah di tingkat awal. Jika semua sampah disatukan, maka akan meningkatkan volume sampah.
Sampah dipisahkan menjadi organik dan anorganik. Sampah organik seperti sayur, daun, dan lainnya yang mudah membusuk. Kemudian sampah anorganik yang tidak mudah hancur, seperti kertas, plastik, besi, kaca, seng, dan lain-lain. Sampah organik itu arahnya untuk dijadikan kompos atau pupuk. Sampah anorganik dibagi menjadi dua, yang bisa didaur ulang dan yang tidak bisa. Kalau yang tidak bisa seperti plastik kresek, dan lainnya. Namun untuk dapat melakukan itu, peran pemerintah dalam menyosialisasi dan mengedukasi juga harus dilaksanakan.
Dari pemilahan tersebut, sampah organik dan sampah anorganik yang bisa didaur ulang dapat dijual di bank sampah terdekat. Beberapa kota sudah menggerakkan bank sampah, yang menerima untuk diolah menjadi pupuk atau kompos, yang kemudian dapat dijual kembali. Dengan demikian, sampah yang masuk ke pengangkutan hanya tinggal sampah yang tidak bisa didaur ulang sehingga dapat mengurangi volume sampah.
"Kalau kita pilah dan kurangi sampahnya, angkutan akan lebih ringan. Pengangkutan sampah itu memakan biaya yang paling besar," ujar Ikhsan.
Selanjutnya adalah pengumpulan sampah yang dibuang. Idealnya sampah dikemas dalam wadah plastik yang diikat. Di negara-negara maju, biasanya menggunakan tong sampah besar, kemudian menggunakan plastik hitam tebal dan tidak mudah bocor, sehingga lalat tidak datang karena tertutup rapat. Setelah itu, sampah-sampah tersebut diangkut ke tempat pembuangan sementara (TPS). TPS-nya itu dibuat berupa kontainer dan ada penutupnya. Sementara di Pekanbaru sangat minim TPS. Makanya, orang membuang sampah di mana-mana. Di mana ada lahan kosong, di situ jadi tempat buang sampah. "Memang itu nanti diangkat, tapi sebelum itu diangkat pemandangan jorok. Kalau disediakan kontainer tidak akan ada pemandangan sampah di tepi-tepi jalan," ujar Ikhsan.
Untuk pengangkutan sampah di Pekanbaru saat ini pemerintah menggunakan pihak swasta atau kontraktor. Ikhsan menilai, manajemen pengangkutan sampah saat ini harus dievaluasi, terlebih dengan menumpuknya sampah sekarang ini.
Menurut Ikhsan, tidak ada salahnya pemerintah menggunakan manajeman swakelola seperti yang pernah diterapkan Pekanbaru sebelumnya. Di mana dinas-dinas di bawah pemerintah kota turut andil dalam pengangkutan sampah dan memiliki armada pengangkut sampah masing-masing.
Swakelola pemerintah, menurutnya lebih mudah karena pengawasan langsung. Kalau dari kontraktor sistemnya beda, tergantung perjanjiannya seperti apa, bagaimana pengukuran kinerjanya. Ada yang tonase per hari. Kalau demikian, bisa jadi kontraktor hanya mengambil sampah sesuai target tonase. Nah sekarang ini apa memang seperti itu?
"Kalau iya ya sayang, sampah yang berserak siapa yang ngangkut," tukasnya.
Contoh Surabaya
Ikhsan menyarankan pemerintah Kota Pekanbaru dapat mencontoh Kota Surabaya yang sukses dalam pengelolaan sampah. Di mana pengangkutan sampah dilakukan swakelola oleh pemerintah, kemudian menggunakan jasa kontraktor untuk pemilahan di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST). "Kalau sama kontraktor sulitnya tergantung perjanjian yang tertulis, harus detil," imbuhnya.
Tak hanya itu, Ikhsan mengatakan pengelolaan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Pekanbaru juga terkesan menggunakan cara primitif yaitu open dumping (sistem terbuka). Sampah dibuang begitu saja dalam sebuah tempat pembuangan akhir tanpa ada perlakuan apapun. Tidak ada penutupan tanah.
Padahal di TPA bisa diterapkan menggunakan metode sanitary landfill. Sampah dibuang dan ditumpuk di lokasi cekung, dipadatkan dan kemudian ditimbun dengan tanah sehingga tidak menimbulkan bau busuk.
"Di sini truk datang bongkar. Itu cara primitif," ujarnya.
Dalam sistem tersebut juga harus dibuatkan pipa-pipa untuk mengalirkan air lindi (cairan hasil pembusukan sampah yang terkontaminasi oleh berbagai bahan kimia dan bakteri). Air tersebut kemudian dinetralkan dulu sebelum dibuang agar tidak mencemari lingkungan. Sampah-sampah tersebut akan mengeluarkan gas metana yang jika dikelola dengan baik dapat dimanfaatkan untuk bahan bakar alternatif yang disalurkan untuk masyarakat, dan dapat digunakan sebagai ganti gas LPG.
Lebih lanjut, Ikhsan memaparkan sampah-sampah dari pembakaran seperti ranting, kayu lapuk, dan materi lain bisa dimasukkan ke tungku kemudian menjadi pembangkit listrik tenaga sampah. Sampah dan gas metana sampah dibakar menghasilkan panas yang menghasilkan uap. Uap kompresi tinggi kemudian menggerakkan turbin uap sehingga menghasilkan listrik.
"Dari sampah bisa jadi uang, dari sampah bisa jadi pupuk, bahkan bisa menjadi pembangkit listrik. Memang perlu uang dalam pengelolaan tapi ini lebih efisien," tukasnya.
Ikhsan meyakini, Pekanbaru dapat melakukan itu semua, tergantung dari keseriusan pemerintah. Ia menambahkan pemerintah tidak perlu bergerak sendiri, tapi juga menggerakkan masyarakat dan pegiat lingkungan untuk membantu. Kalau serius, ujarnya, dua hingga tiga tahun pasti bisa dan dilakukan dengan intens. Pemerintah juga harus mengedukasi masyarakat, dan membuat pengelolaan yang sitematis dan telah teruji.