PEKANBARU (RIAUPOS.CO) — Selama 16 hari, mulai 25 November sampai 10 Desember 2019 diperingati sebagai hari antikekerasan terhadap perempuan. Ragam kegiatan dan aksi dilakukan komunitas perempuan di Kota Pekanbaru.
Kawasan car free day (CFD) di Jalan Jenderal Sudirman, Ahad (8/12) tampak ramai dan dipadati aktivitas masyarakat. Ada yang berlari, bersepeda, skateboard dan berbagai aktivitas lainnya.
Termasuk yang dilakukan Koalisi Anti Diskriminasi (Kasai) Pekanbaru bersama dengan PPSW Sumatera dan Forum Perempuan Akar Rumput (FKPAR) peringati 16 Hari Antikekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) Provinsi Riau.
16 HAKTP merupakan hari yang menghubungkan secara simbolik antara kekerasan terhadap perempuan dan HAM serta menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu pelanggaran HAM. Dirayakan dalam rentang waktu 25 November –10 Desember. Tema yang diangkat adalah “Bersinergi Membangun Kekuatan Kolektif untuk Mengakhiri Segala Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan”. Dalam kegiatan itu berbagai kelompok masyarakat dilibatkan di setiap kegiatan. Termasuk para difabel yang juga ikut dalam koalisi ini.
Acara di CFD diawali dengan long march dengan menyerukan angka kekerasan terhadap perempuan masih tinggi. Menurut keterangan Koordinator 16 HAKTP Try Ferayanti kepada Riau Pos, sebelumnya sudah dilakukan nonton bareng film In the Time of Butterfly. "Film tersebut menceritakan tentang perjuangan perempuan melawan kekerasan struktural dalam hal pendidikan, agama dan lainnya," sebutnya.
Rangkaian acara berikutnya menyuarakan hak perempuan dengan cara long march. Meningkatnya angka kekerasan dan penindasan kaum marginal serta nikah usia dini menjadi pokok utama yang disampaikan dalam acara itu.
Di hari ini, Senin, (9/12) akan ada kegiatan lain yaitu dialog publik di Pustaka Wilayah Soeman HS. Pemateri Ade Hartati dari DPRD Provinsi Riau, Risdayati yang pernah menjabat Ketua P2TP2A serta dari Kemenag.
Lalu, pada Selasa (10/12) dilakukan audiensi ke Gubernur Riau dan DPRD Provinsi Riau. Fera menyebutkan akan dibagi dua tim. "Nantinya dari isu setiap lembaga yang tergabung dalam Kasai itu akan dibawa ke audiensi. Karena ini kegiatan sosial segala biaya dari kawan-kawan," ujarnya.
Masih kata Fera, berpesan agar menghentikan kekerasan dan stop diskriminasi tegakkan keadilan dan lindungi korban. "Seperti kata pepatah bahwa perempuan adalah tiang negara maka jika ingin melihat sebuah maka lihatlah perempuannya. Jika perempuannya baik maka negaranya juga akan baik. Namun, jika perempuannya amoral maka negaranya akan buruk," tuturnya.
Perihal pengunjung CFD yang melakukan pembubuhan tanda tangan nantinya akan ditunjukkan di dialog publik dan secara dokumentasi akan dibawa saat audiensi.
Hal itu pun dipertegas oleh konselor P2TP2A yang juga aktivis kasai Herlia Santi. Menurutnya, pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2018 meningkat 14 persen dari tahun sebelumnya. Peningkatan pengaduan tersebut mengindikasikan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mengungkapkan kasus kekerasan terhadap perempuan dan semakin membaiknya mekanisme pencatatan dan pendokumentasian kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan di lembaga-lembaga layanan.
"Kasus KDRT terkait kekerasan terhadap istri mencapai 195 kasus pada tahun 2018. Mayoritas kasus perkosaan dalam perkawinan dilaporkan ke Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta P2TP2A (sebanyak 138 kasus). Selebihnya dilaporkan ke organisasi masyarakat dan lembaga lainnya," jelasnya.
Meningkatnya pelaporan kasus perkosaan dalam perkawinan immengindikasikan implementasi UU Penghapusan KDRT (UU P-KDRT) masih memiliki sejumlah persoalan. Incest (perkosaan oleh orang yang memiliki hubungan darah) pun masih cukup tinggi dilaporkan pada tahun 2018, mencapai 1.071 kasus dalam satu tahun.
"Pelaku tertinggi incest adalah ayah kandung dan paman. Hal tersebut merupakan fakta yang mengkhawatirkan di tengah kuatnya konstruksi sosial yang menempatkan laki-laki sebagai wali dan pemimpin keluarga yang diharapkan dapat melindungi perempuan dan anak perempuan di dalam keluarga," terangnya.
Pada catatan tahunan Komnas Perempuan 2019 diungkap juga kasus kekerasan dalam pacaran. Jumlahnya mencapai 1.750 kasus. Bentuk kekerasan tertinggi dalam relasi pacaran ini adalah kekerasan seksual. Relasi pacaran adalah relasi yang tidak terlindungi oleh hukum, sehingga jika terjadi kekerasan dalam relasi ini, korban akan menghadapi sejumlah hambatan dalam mengakses keadilan.
Kendati mandat perlindungan terhadap kekerasan seksual terhadap perempuan memiliki legalitas hukum yang kuat, seperti UUD 1945, UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, namun kebijakan dan program pembangunan yang dilakukan pemerintah belum melaksanakan mandat tersebut secara serius.
Untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan diperlukan kerja sama dan sinergi semua pihak termasuk perempuan, tokoh masyarakat, tokoh adat, institusi pemerintah, institusi agama, organisasi masyarakat, dan lainnya. Berangkat dari kondisi di atas, PPSW Sumatra Riau bersama FKPAR (Forum Komunitas Perempuan Akar Rumput), FPM (Forum Perempuan Muda), FMS (Forum Multistakeholder), NGO, media dan Koalisis Anti Diskriminas (Kasai) Riau menyelenggarakan rangkaian perayaan 16 HAKTP tahun 2019 untuk membangun kerja sama dan sinergi perempuan dan semua pihak terkait agar dapat terlibat aktif dalam penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
"Harapan kami dengan kegiatan ini bisa menumbuhkan rasa solidaritas dan kesadaran bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran HAM. Kita juga ingin mengajak semua pihak sesuai kapasitasnya untuk terlibat aktif dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan serta membangun kerja sama dengan multystakeholder agar perempuan mendapatkan penghidupan yang layak tanpa kekerasan seksual dan kekerasan," imbau Direktur PPSW Endang.(*3)
Laporan MUSLIM NURDIN, Kota