DI Universitas Indonesia (UI) pada tahun 1975 arsiparis sastra Indonesia paling rajin menyampaikan sebuah impian lewat pidatonya yang terkenal, “Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia.” Setengah abad berlalu, bagaimanakah kabarnya?
Menghadapi pertanyaan itu, kita mesti berendah hati. Bahwasanya, meskipun memang sejak satu dekade terakhir penulis-penulis kita mulai disorot dunia—Eka Kurniawan dan Norman Erikson Pasaribu yang sama-sama masuk daftar calon penerima The International Booker Prize 2016 dan 2022, misalnya— sastra Indonesia masihlah titik kecil dalam peta sastra dunia. Masih banyak sekali penulis kita yang sebetulnya potensial bersaing, tetapi belum mendapat tempat di panggung internasional. Membicarakan usaha ke sana, penerjemahan sastra memang keniscayaan. Sebab, meskipun sudah menjadi salah satu bahasa resmi dalam sidang umum UNESCO ditambah capaian-capaian lain program BIPA, bahasa Indonesia belum menjadi bahasa utama dunia.
Oleh karena itu, buku-buku Indonesia hanya termungkinkan terbit di negara-negara lain dalam bentuk terjemahan. Meskipun demikian, terjemahan tersebut tak akan terbit di lain-lain negara tanpa ada yang menawarkan hak terjemahannya ke penerbit luar negeri. Sosok agen sastra (literary agent) inilah sebetulnya yang juga menjadi pemain kunci usaha menduniakan sastra Indonesia. Tugasnya sangatlah penting, yakni mewakili penulis atau penerbit untuk menawarkan hak terjemahan buku-buku Indonesia ke penerbit mancanegara sekaligus memantau perkembangan penerbitannya.
Persoalannya, agen sastra di Indonesia masih sangat sedikit. Sependek pengetahuan saya, hanya ada tiga agen sastra yang dapat dianggap aktif, yakni Borobudur Agency, Trisda Literatur, dan Literasia Creativa. Jumlah tersebut jelas sangat timpang dibandingkan dengan jumlah penerbit dan buku terbit per tahun. Tidak aneh jika Yani Kurniawan, Direktur Literasia Creativa, mengungkapkan, “Saya berharap ke depannya bakal ada lebih banyak agensi yang bermunculan. Soalnya, nggendong buanyak sekali penerbit itu berat, Mas.”
Selain minimnya SDM, pengetahuan tentang agen sastra yang rendah menyulitkan terbangunnya kepercayaan antara agen sastra dengan penerbit dan penulis. Alda Trisda, Direktur Trisda Literatur, mengalami sendiri hal itu. Dalam bincang santai via Zoom dengan saya tahun lalu, ia mengisahkan bahwa pernah satu penerbit Indonesia membatalkan kerja sama dengannya untuk membeli hak terjemahan buku dari Serbia. Hasilnya, hak terjemahan yang jika dinegosiasikan melalui dia sebagai perantara, dapat dibeli seharga 500 Euro, oleh penerbit itu dibayar dengan harga tiga kali lipatnya! Alda juga menerangkan bahwa penulis pun dapat terkena imbas dari rendahnya pemahaman tentang kerja agen sastra tersebut. Hal itu dialaminya sendiri ketika suatu kali seorang penulis Indonesia meminta bantuannya agar bukunya dapat terbit di Amerika. Ketika permintaan itu disetujui, Alda mulai bekerja, mulai dari mencarikan penerjemah, menghubungi penerbit-penerbit, hingga berhasil mendapatkan editor yang tertarik menerbitkan terjemahan buku tersebut.
Walakin, tatkala editor dari Amerika itu menghubungi si penulis untuk menandatangani kontrak tanpa agen, si penulis begitu saja menyepakatinya. Hal tersebut jelas menyalahi kesepakatan awal antara si penulis dengan Alda yang menjadi agennya. Meskipun begitu, Alda tetap profesional dan dengan tenang mengatakan, “Ya, sebetulnya nggak bisa gitu sih, tapi saya mendukung penulis Indonesia supaya maju. Jadi, ya, silakan saja. Tapi, secara jujur, saya tidak suka karena sudah mengerjakan banyak hal dari A sampai Z, sampai si penulis ini diterima penerbit Amerika itu. Sebetulnya di belakang itu ada banyak yang saya kerjakan, tapi karena saya ingin mendukung penulis Indonesia, jadi, ya, udah.”
Waktu berlalu dan beberapa tahun kemudian si penulis kembali meminta Alda untuk menawarkan hak terjemahan bukunya ke penerbit luar negeri. Dengan tegas Alda menolaknya. Katanya, “Lah, kan, yang pertama dulu ditarik dan tekan kontraknya tanpa saya. Gimana saya bisa percaya lagi sama Anda? Mohon maaf, saya nggak bisa.”
Cerita itu menunjukkan bahwa rendahnya pengetahuan tentang peran agen sastra telah merugikan si penulis itu sendiri. Sebab, meski dalam jangka pendek royalti dari penerbit Amerika itu tidak dibagi dengan agen sastra, tetapi si penulis tak lagi punya akses menerbitkan terjemahan bukunya. Thomas Nung Atasana, Direktur Borobudur Agency, menguatkan itu. Katanya, “Kerugian penulis yang tidak punya agen sebenarnya cuman satu, dia akan kesulitan nerbitin bukunya di luar negeri. Kan nggak semua penulis punya jejaring ke situ, kan? Lagi pula, di luar negeri rata-rata penerbit maunya berurusannya dengan agen, tidak dengan penulis langsung.”
Dalam wawancara di akhir 2023, Yani Kurniawan menjelaskan mengapa memiliki agen sastra adalah keharusan. Alasannya ialah karena pasar buku di luar negeri sudah sangat sehat, memiliki permintaan (demand) yang tinggi, sehingga memiliki mekanisme berlapis guna memudahkan editor memilih naskah untuk diterbitkan. Agen sastra itulah yang berfungsi sebagai sistem penyaring (filtering system) untuk memastikan bahwa naskah yang sampai kepada editor telah memenuhi standar untuk diterbitkan. Keadaan di Indonesia tidak seperti itu. Yani menerangkan, “Kalau di sini, kan, musuhnya kebanyakan, Mas. Pajak, harga kertas, literasi dan daya beli rendah, pembajakan yang na’udzubillahi min dzalik. Saya kasih ilustrasi saja, ya. Orang-orang mungkin nggak begitu ngeh. Bayangkan Indonesia penduduknya 200-an juta. Satu penerbit besar di Jakarta, misalnya, cetak 1 buku sebanyak 5.000. Di Jakarta aja yang delapan juta orang, satu cetakan itu belum tentu setahun habis. Penerbit besar ini, lho. Maksudnya, itu menggambarkan betapa nggak sehatnya ekosistem perbukuan di Indonesia.”
Setengah abad berlalu dan begitulah kondisi sastra kita dalam pentas sastra dunia saat ini. Banyak hal yang harus dibenahi. Penerjemahan sastra jelas mesti dimassifikasi. Akan tetapi, tidak kalah penting dari itu adalah mengusahakan munculnya lebih banyak agen sastra serta meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang agen sastra. Merekalah (agen sastra) pemain terdepan dalam memperjuangkan cita-cita Paus Sastra Indonesia, dan pada kenyataannya, banyak sekali tantangan yang mereka hadapi dalam usaha menduniakan sastra Indonesia. Pada 11 Maret 2000 lalu H.B. Jassin kembali kepada-Nya. Seperempat abad telah lewat dari hari kepulangannya. Namun, namanya abadi, warisannya abadi, cita-citanya pun abadi, masih tetap diusahakan hingga kini, meski tentu harus kita akui bahwa jalan menuju ke sana masihlah sangat panjang sekali.***
Syafiq Addarisyi, (Bidang Kurikulum, PP Assalafiyyah, Mlangi)