Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Hary B Koriun

(Kurikulum) Sastra

RAMAI tentang kurikulum sastra untuk sekolah yang saat ini terjadi, mengingatkan saya ketika menjadi pembicara untuk tema penulisan kreatif dalam acara Pelatihan Jurnalistik untuk Guru Bahasa Indonesia/Kepala Sekolah SMP se Riau di Pekanbaru, beberapa waktu silam. Ada hal yang menarik yang sebenarnya bukan tema baru yang menjadi tema diskusi guru-guru/kepala sekolah. Yang pertama adalah minimnya pelajaran sastra untuk siswa, dan yang kedua adalah kurangnya bahan bacaan (sastra) bagi siswa di sekolah-sekolah.

Sastra kita memang menjadi asing bagi masyarakatnya sendiri, terutama di sekolah-sekolah yang semestinya menjadi tempat awal (dasar) bagi tumbuhnya kecintaan terhadap karya sastra, atau keinginan untuk menulis karya itu sendiri. Namun, memang, sejarah sastra kita tak mengakar dan tak berasal dari sekolah-sekolah. Sekolah tak mengajarkan secara spesifik bagaimana mengapresiasi karya sastra, dan juga bagaimana menciptakan karya sastra itu sendiri. Pelajaran sastra hanya menempel pada pelajaran Bahasa Indonesia, dan porsinya juga amat kecil.

Saya ingat ketika masih duduk di bangku SMP dan SMA (tahun 1990-an), pelajaran mengarang nyaris tak diajarkan, dan pelajaran untuk mengapresiasi karya juga tak pernah ada. Apalagi bagaimana berseni peran (drama/teater) dan yang lainnya. Di tengah minimnya pelajaran sastra itu, karya sastra yang dibahas juga bukan karya yang dianggap penting oleh masyarakat, tetapi berdasarkan selera penulis buku pelajaran atau buku pegangan. Misalnya, ada pembahasan karya sajak AD Donggo, tetapi sampai saya tamat SMA, tak pernah menemukan buku-buku AD Donggo baik di toko buku maupun di perpustakaan. Ini bukan membicarakan apakah seorang AD Donggo dan karyanya penting atau tidak, tetapi lebih pada persoalan standarisasi kurikulum yang akan diajarkan ke siswa.

Padahal, untuk pelajaran apresiasi, kuat atau tidaknya (mutu) sebuah karya menjadi penting karena ini akan menjadi dasar bagi siswa di kemudian hari untuk serius atau tidak memahami sebuah karya. Karya-karya klasik Indonesia angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, atau generasi terkini, tetap harus menjadi prioritas dalam pemahaman sejarah sastra dan apresiasinya. Siswa harus diperkenalkan dengan karya-karya klasik dan pengarangnya seperti Siti Nurbaya (Marah Rusli), Sengsara Membawa Nikmat (Tulis Sutan Sati), Salah Asuhan (Abdul Muis), Azab dan Sengsara (Merari Siregar), Mencari Pencuri Anak Perawan (Soeman Hs), Belenggu (Armyn Pane), hingga Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Di Bawah Lindungan Kabah (HAMKA), juga karya-karya Pramudya Ananta Toer dan yang lainnya. Ini akan menjadi dasar dari pemahaman para siswa tentang karya sastra sekaligus sejarah sastra Indonesia.

Baca Juga:  Festival Film Pendek Siak 2024, Munculkan Sineas-Sineas Muda Berbakat

Pujangga-pujangga seperti Amir Hamzah, Chairil Anwar, Gunawan Mohammad, hingga para sastrawan terkini sekadar menyebut nama: Joko Pinurbo, Linda Christanty, Seno Gumira Ajidarma, Taufik Ikram Jamil, Marhalim Zaini, dan sebagainya juga harus diperkenalkan kepada mereka. Bukan hanya namanya, tetapi juga karyanya. Sayangnya, jumlah jam yang terbatas dan amat minim membuat banyak siswa sekarang yang tak memahami karya sastra.

Lalu, nama-nama dan karya-karya pengarang dunia juga mesti diperkenalkan agar pemahaman para siswa tentang sastra dunia juga tertanam sejak dini. Karya-karya babon seperti Les Miserables (Victor Hugo), Wuthering Heihts (Emily Bronte), Anna Karenina (Leo Tolstoy), One Hundred Years of Solitude (Gabriel Garcia Marquez), atau 1984 (George Orwell) –sekadar menyebut judul dan nama—mestinya sudah dibaca mereka. Ini bukan soal gaya-gayaan atau sok-sokan membaca karya asing, tetapi salah satu cara menanamkan pemahaman tentang bagaimana mereka diajari mengalami langsung proses membaca. Dari sana, suatu saat nanti para siswa pasti akan mencari sendiri literatur yang lainnya, atau karya lainnya.

Beberapa tahun lalu, dalam kesempatan dan acara yang hampir sama, saya pernah bertanya kepada guru, apakah karya-karya Sutardji Calzoum Bachri juga diajarkan di sekolah, banyak guru yang bingung. Mereka bahkan ada yang tak mengenal nama Sutardji, termasuk tak tahu kalau Sutardji adalah salah satu penyair besar Indonesia kelahiran Riau, yakni di Rengat. Ini menjadi ironi, karena banyak guru yang mestinya mengajarkan bahasa dan sastra, ternyata banyak yang tak memahami apa yang diajarkan.

Kondisi ini berkait dengan susahnya siswa mendapatkan bacaan sastra yang baik. Zulmida, seorang guru asal Bengkalis mengeluhkan betapa anak didiknya tak mendapatkan bacaan sastra yang bisa menggugah apresiasi siswa. “Kami kekurangan bacaan sastra. Saya bahkan sering membeli buku murah ketika jalan ke Yogyakarta atau Jakarta untuk perpustakaan,” katanya.

Baca Juga:  The Boxer

Apa yang dialami Zulmida, juga dialami sekolah-sekolah lain. Tidak hanya di Riau, tetapi hampir di semua daerah di seluruh Indonesia, terutama yang jauh dari kota. Produksi buku sastra yang pantas diajarkan di sekolah memang berbanding terbalik dengan produksi buku fiksi populer yang ringan dan menjadi sekadar bacaan hiburan. Jebloknya penjualan buku sastra memang membuat banyak penerbit yang tak tertarik, karena berpikir untung-rugi. Di sinilah peran pemerintah seharusnya muncul, yakni mencetak buku-buku sastra tersebut dan dijadikan bahan ajar kepada siswa. Namun, proyek pengadaan buku sastra juga banyak masalah dan korupsi. Buku-buku yang dalam proyek dilaporkan dicetak ribuan atau puluhan ribu, ternyata hanya dicetak ratusan eksemplar, hanya menjadi bahan laporan saja, sementara uang miliaran rupiah dinikmati para pemenang proyek pengadaan itu. Ini yang menjadi ironi.

Padahal, produksi buku sebenarnya tak semahal yang dibayangkan. Pengadaan buku dengan harga murah sebenarnya bisa dilakukan, karena produksi buku tak semahal dengan label harganya di toko buku. Buku-buku setebal 200 halaman yang dibandrol Rp50-100 ribu di toko buku, biaya produksinya secara massal (dicetak 2000-3000 eksemplar) hanya Rp14-26 ribu rupiah/buku. Ongkos distribusi dan untung besar yang diambil oleh toko buku yang membuat harga buku mahal. Sekali lagi, pemerintah mesti berperan dalam membantu bacaan sastra ini kepada siswa dengan proyek pengadaan buku yang benar dan tak mengutamakan keuntungan besar bagi pemenang proyek itu. Ini termasuk pengadaan buku lokal yang ditulis oleh penulis lokal, termasuk di Riau.
Inilah problemnya. Pengajaran sastra tak maksimal, perpustakaan sekolah tak memiliki buku, sedang proyek pengadaan buku sastra, juga buku lain, yang dilakukan pemerintah, secara umum tak tepat sasaran.***

 

RAMAI tentang kurikulum sastra untuk sekolah yang saat ini terjadi, mengingatkan saya ketika menjadi pembicara untuk tema penulisan kreatif dalam acara Pelatihan Jurnalistik untuk Guru Bahasa Indonesia/Kepala Sekolah SMP se Riau di Pekanbaru, beberapa waktu silam. Ada hal yang menarik yang sebenarnya bukan tema baru yang menjadi tema diskusi guru-guru/kepala sekolah. Yang pertama adalah minimnya pelajaran sastra untuk siswa, dan yang kedua adalah kurangnya bahan bacaan (sastra) bagi siswa di sekolah-sekolah.

Sastra kita memang menjadi asing bagi masyarakatnya sendiri, terutama di sekolah-sekolah yang semestinya menjadi tempat awal (dasar) bagi tumbuhnya kecintaan terhadap karya sastra, atau keinginan untuk menulis karya itu sendiri. Namun, memang, sejarah sastra kita tak mengakar dan tak berasal dari sekolah-sekolah. Sekolah tak mengajarkan secara spesifik bagaimana mengapresiasi karya sastra, dan juga bagaimana menciptakan karya sastra itu sendiri. Pelajaran sastra hanya menempel pada pelajaran Bahasa Indonesia, dan porsinya juga amat kecil.

- Advertisement -

Saya ingat ketika masih duduk di bangku SMP dan SMA (tahun 1990-an), pelajaran mengarang nyaris tak diajarkan, dan pelajaran untuk mengapresiasi karya juga tak pernah ada. Apalagi bagaimana berseni peran (drama/teater) dan yang lainnya. Di tengah minimnya pelajaran sastra itu, karya sastra yang dibahas juga bukan karya yang dianggap penting oleh masyarakat, tetapi berdasarkan selera penulis buku pelajaran atau buku pegangan. Misalnya, ada pembahasan karya sajak AD Donggo, tetapi sampai saya tamat SMA, tak pernah menemukan buku-buku AD Donggo baik di toko buku maupun di perpustakaan. Ini bukan membicarakan apakah seorang AD Donggo dan karyanya penting atau tidak, tetapi lebih pada persoalan standarisasi kurikulum yang akan diajarkan ke siswa.

Padahal, untuk pelajaran apresiasi, kuat atau tidaknya (mutu) sebuah karya menjadi penting karena ini akan menjadi dasar bagi siswa di kemudian hari untuk serius atau tidak memahami sebuah karya. Karya-karya klasik Indonesia angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, atau generasi terkini, tetap harus menjadi prioritas dalam pemahaman sejarah sastra dan apresiasinya. Siswa harus diperkenalkan dengan karya-karya klasik dan pengarangnya seperti Siti Nurbaya (Marah Rusli), Sengsara Membawa Nikmat (Tulis Sutan Sati), Salah Asuhan (Abdul Muis), Azab dan Sengsara (Merari Siregar), Mencari Pencuri Anak Perawan (Soeman Hs), Belenggu (Armyn Pane), hingga Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Di Bawah Lindungan Kabah (HAMKA), juga karya-karya Pramudya Ananta Toer dan yang lainnya. Ini akan menjadi dasar dari pemahaman para siswa tentang karya sastra sekaligus sejarah sastra Indonesia.

- Advertisement -
Baca Juga:  Diskusi Publik Kolokium 2024 FISIP Unri, Pentingkah Muara Takus bagi Riau?

Pujangga-pujangga seperti Amir Hamzah, Chairil Anwar, Gunawan Mohammad, hingga para sastrawan terkini sekadar menyebut nama: Joko Pinurbo, Linda Christanty, Seno Gumira Ajidarma, Taufik Ikram Jamil, Marhalim Zaini, dan sebagainya juga harus diperkenalkan kepada mereka. Bukan hanya namanya, tetapi juga karyanya. Sayangnya, jumlah jam yang terbatas dan amat minim membuat banyak siswa sekarang yang tak memahami karya sastra.

Lalu, nama-nama dan karya-karya pengarang dunia juga mesti diperkenalkan agar pemahaman para siswa tentang sastra dunia juga tertanam sejak dini. Karya-karya babon seperti Les Miserables (Victor Hugo), Wuthering Heihts (Emily Bronte), Anna Karenina (Leo Tolstoy), One Hundred Years of Solitude (Gabriel Garcia Marquez), atau 1984 (George Orwell) –sekadar menyebut judul dan nama—mestinya sudah dibaca mereka. Ini bukan soal gaya-gayaan atau sok-sokan membaca karya asing, tetapi salah satu cara menanamkan pemahaman tentang bagaimana mereka diajari mengalami langsung proses membaca. Dari sana, suatu saat nanti para siswa pasti akan mencari sendiri literatur yang lainnya, atau karya lainnya.

Beberapa tahun lalu, dalam kesempatan dan acara yang hampir sama, saya pernah bertanya kepada guru, apakah karya-karya Sutardji Calzoum Bachri juga diajarkan di sekolah, banyak guru yang bingung. Mereka bahkan ada yang tak mengenal nama Sutardji, termasuk tak tahu kalau Sutardji adalah salah satu penyair besar Indonesia kelahiran Riau, yakni di Rengat. Ini menjadi ironi, karena banyak guru yang mestinya mengajarkan bahasa dan sastra, ternyata banyak yang tak memahami apa yang diajarkan.

Kondisi ini berkait dengan susahnya siswa mendapatkan bacaan sastra yang baik. Zulmida, seorang guru asal Bengkalis mengeluhkan betapa anak didiknya tak mendapatkan bacaan sastra yang bisa menggugah apresiasi siswa. “Kami kekurangan bacaan sastra. Saya bahkan sering membeli buku murah ketika jalan ke Yogyakarta atau Jakarta untuk perpustakaan,” katanya.

Baca Juga:  Perlu Peran Pemangku Kepentingan untuk Membangkitkan

Apa yang dialami Zulmida, juga dialami sekolah-sekolah lain. Tidak hanya di Riau, tetapi hampir di semua daerah di seluruh Indonesia, terutama yang jauh dari kota. Produksi buku sastra yang pantas diajarkan di sekolah memang berbanding terbalik dengan produksi buku fiksi populer yang ringan dan menjadi sekadar bacaan hiburan. Jebloknya penjualan buku sastra memang membuat banyak penerbit yang tak tertarik, karena berpikir untung-rugi. Di sinilah peran pemerintah seharusnya muncul, yakni mencetak buku-buku sastra tersebut dan dijadikan bahan ajar kepada siswa. Namun, proyek pengadaan buku sastra juga banyak masalah dan korupsi. Buku-buku yang dalam proyek dilaporkan dicetak ribuan atau puluhan ribu, ternyata hanya dicetak ratusan eksemplar, hanya menjadi bahan laporan saja, sementara uang miliaran rupiah dinikmati para pemenang proyek pengadaan itu. Ini yang menjadi ironi.

Padahal, produksi buku sebenarnya tak semahal yang dibayangkan. Pengadaan buku dengan harga murah sebenarnya bisa dilakukan, karena produksi buku tak semahal dengan label harganya di toko buku. Buku-buku setebal 200 halaman yang dibandrol Rp50-100 ribu di toko buku, biaya produksinya secara massal (dicetak 2000-3000 eksemplar) hanya Rp14-26 ribu rupiah/buku. Ongkos distribusi dan untung besar yang diambil oleh toko buku yang membuat harga buku mahal. Sekali lagi, pemerintah mesti berperan dalam membantu bacaan sastra ini kepada siswa dengan proyek pengadaan buku yang benar dan tak mengutamakan keuntungan besar bagi pemenang proyek itu. Ini termasuk pengadaan buku lokal yang ditulis oleh penulis lokal, termasuk di Riau.
Inilah problemnya. Pengajaran sastra tak maksimal, perpustakaan sekolah tak memiliki buku, sedang proyek pengadaan buku sastra, juga buku lain, yang dilakukan pemerintah, secara umum tak tepat sasaran.***

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Tragedi Amir

Masagung

The Boxer

(Kurikulum) Sastra 3

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari