PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – RUANG pameran lantai dasar Mal Pekanbaru sore itu, Selasa (17/12/2024) ramai dan sesak oleh banyak orang. Di sebuah panggung yang letaknya persis di sebelah lif, beberapa pementasan digelar. Ada musik, tari, tari anak, teater, dan yang lainnya. Penonton yang datang memang kebanyakan orang tua dari siswa yang sedang melakukan “wisuda” dalam bentuk penampilan, tapi juga banyak pengunjung mal yang menyaksikan dari hampir semua lantai. Posisi ruang eksibisi yang berada di tengah dan bisa dilihat dari semua lantai, memungkinkan untuk hal itu.
Hadir dalam kegiatan itu Pj Wali Kota Pekanbaru yang diwakili oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pariwisata Pekanbaru, Hj Masriya; Kepala Dinas Perpustakaan dan Arsip Riau, Dra Mimi Yuliani Nazir; Kepala Taman Budaya Riau mewakili Kepala Dinas Kebudayaan Riau, Mardayana Ofeta; Kepala Balai Bahasa Provinsi Riau, Toha Machsum MAg; Herman yang mewakili Dinas Pendidikan Provinsi Riau; Februartati yang mewakili Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru; dan beberapa perwakilan komunitas sastra dan budaya di Riau.
Mewakili Pj Wali Kota Pekanbaru, Roni Rakhmat, yang berhalangan hadir, Masriya yang membacakan pidato Pj Wali Kota, menjelaskan, kegiatan yang dilakukan oleh Sekolah Budaya Suku Seni Riau (SBSSR) ini perlu diapresiasi tinggi. Di tengah tidak adanya sekolah atau universitas yang khusus bidang kebudayaan, SBSSR adalah sebuah ikhtiar yang dilakukan oleh masyarakat –dalam hal ini komunitas seni, budaya, dan sastra— yang membantu peran yang seharusnya juga dilakukan oleh pemerintah. Ini sesuai dengan amanat Undang-Undang No 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, di mana pemerintah, baik pusat maupun daerah, diwajibkan melakukan tindakan pemajuan kebudayaan di semua genre.
“Namun karena keterbatasan pemerintah, belum semua kebutuhan masyarakat di bidang kebudayaan ini bisa kami laksanakan. Kami mengucapkan terima kasih dengan apa yang dilakukan oleh Suku Seni Riau ini, yang menyelenggarakan sebuah pendidikan vokasi seni dan budaya. Ini merupakan sebuah kerja berat dan besar yang membantu anak-anak muda mengembangkan dirinya dalam bidang seni dan budaya. Kami berharap kegiatan ini akan terus dilakukan di masa datang,” kata Masriya.
Kepala Taman Budaya Riau, Mardayana Ofeta, juga memberikan apresiasi tinggi dengan apa yang dilakukan SBSSR ini. Menurutnya, kebudayaan memang harus dibangun bersama-sama oleh masyrakat dan pemerintah. Selama ini Dinas Kebudayaan Riau telah berupaya melakukannya dengan menggelar banyak kegiatan, mulai dari pelatihan seni dan budaya, berbagai lomba, hingga pementasan berbagai genre seni. Baik yang tradisional maupun modern. Kerja seperti itu, kata dia, hanyalah kegiatan kecil yang dilakukan pemerintah. Justru yang melakukan kerja lebih besar adalah masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Dan apa yang dilakukan oleh SBSSR ini adalah bentuk nyata dari upaya untuk membangun upaya menjaga agar terus lahir para pelaku seni dan budaya tanpa terputus.
“Kami sangat mengapresiasi apa yang dilakukan oleh Suku Seni Riau dengan menyelenggarakan Sekolah Budaya ini. Sesuatu yang harus dipertahankan secara terus-menerus. Kami di Dinas Kebudayaan, dalam hal ini Taman Budaya, selalu menyediakan ruang bagi siapa pun untuk melakukan kegiatan. Kita bisa melakukan kolaborasi,” jelas Mardayana.
Kepala Suku Seni yang juga Direktur SBSSR, Marhalim Zaini, menjelaskan, SBSSR ini lahir dari sebuah keresahan. Dulu di Riau adalah sekolah vokasi khusus seni, yakni SMK Seni. Sayangnya, sekolah tersebut kemudian dihapuskan. Setelah itu lahir Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR). Salah satu inisiatornya adalah sastrawan Taufik Ikram Jamil, yang kini menjabat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Harian (DPH) Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau. Namun, karena sesuatu dan lain hal –meski sempat pengelolaannya diambil alih oleh Yayasan Sagang— namun AKMR kemudian tutup. Hingga kini. Setelah itu tak ada lagi kampus khusus seni di Riau.
Pada bagian lain, kebutuhan terharap pekerja seni tidak pernah berhenti. Banyak kegiatan kemasyarakatan yang merlukan seni. Memang ada beberapa kampus di Riau yang memiliki jurusan atau program studi (prodi) seni, tetapi tidak semuanya, terlebih khusus seni. Misalnya ada FKIP Unri, FKIP UIR, atau FIB Unilak. Kebanyakan hanya membuka jurusan di bidang sastra dan bahasa. Hanya FKIP UIR nampaknya yang membuka jurusan atau prodi seni murni. Misalnya ada Prodi Seni Pertunjukan, yang di dalamnya ada Prodi Seni Musik dan Seni Tari. Sebelumnya prodi ini bernama Sendratasik (Seni Drama, Tari, dan Musik). Di luar itu, ada beberapa sanggar yang mengajarkan per disiplin ilmu. Misalnya beberapa sanggar tari yang tumbuh baik, kelompok musik, maupun sanggar-sangar teater yang banyak bermunculan. Meski begitu, semua belum bisa mencakup keinginan banyak peminat seni yang disatukan dalam satu wadah dan terintegrasi dengan baik.
Menurut dia, Suku Seni sebetulnya sejak awal berdiri telah punya program edukasi seni. Banyak worshop dan pelatihan seni yang dibuat, berbagai bidang, dengan berbagai cara, dan berbagai nama. Sampai di tahun 2022 lalu, pihaknya mengajukan program edukasi seni bernama Sekolah Budaya ke Dana Indonesiana, bersama sejumlah program lain. Dan disetujui. Namun tahun itu, para siswanya masih belajar langsung ke para maestro seni di Riau, dengan mengunjungi rumah mereka. Kemudian tahun 2024 diajukan kembali karena ini program unggulan Suku Seni, bersifat berkelanjutan. Dan bentuknya kemudian diberi nama “Beasiswa Sekolah Budaya”. Program ini pun disetujui untuk didanai oleh Dana Indonesiana tahun 2022 dan 2024.
“Program edukasi di Suku Seni memang berdasarkan visi-misi kita juga. Kita mau terus membuka ruang-ruang edukasi seni alternatif, karena menurut saya itu penting. Ruang seperti ini kan minim sekali,” kata Marhalim kepada Riau Pos, Jumat (8/11/2024).
Maka, sejak 30 September 2024, realisasi Sekolah Budaya ini berhasil dilakukan dengan memilih tujuh bidang seni yang masing-masingnya diampu oleh seorang seniman yang tunak di bidangnya. Mereka adalah Furqon Elwe (rupa), Eka Saputra (musik), M Ridho (film), Hary B Koriun (sastra), Husin (teater), Wan Harun Ismail (tari), dan Laposa Laposa Mirta Dea Rodja (tari anak). Setiap bidang seni dipilih 10 siswa melalui seleksi yang ketat dengan aturan yang ketat juga. Setelah melalui 12 pertemuan dengan masing-masing mentor, mereka kemudian “diwisuda” dalam acara Sekolah Budaya Exhibition 2024 ini. Intinya, acara ini adalah menampilkan hasil yang dicapai dari penggemblengan yang dilakukan selama tiga bulan itu.
Dalam kegiatan itu, seni tari yang paling banyak menampilkan karya, yakni empat karya. Karya pertama adalah tari tunggal yang menampilkan Putri Anjani dengan judul Noice. Tari ini menceritakan tentang perubahan yang bisa terjadi di mana saja, bahkan di ruang di mana kita menyantap hidangan bersama. Yang semula hanya ada keheningan tanpa suara, kini berubah menyesuaikan suasana yang ada. Berbagi rasa, suka, dan duka bisa diutarakan di sana, semua sudah tidak sungkan berbagi cerita. Buruknya, semua orang juga tidak sungkan meluapkan emosi mereka. Terkadang marah, cacian dan umpatan kotor mengganggu kenyamanan bersama. Kemudian tari Gemerincing Of Nawa yang dibawakan M Aqsal Dwi Prakarsa. Karya ini merupakan intepretasi dari Kumantan dan Ritual Bedukun Balai Terbang Suku Talang Mamak yang ada di Indragiri Hulu.
Tari ketiga berjudul Cut Putri yang menampilkan Tengku Alya, Lhilha Asha, dan Arafah. Tari ini mengisahkan tentang Cut Putri yang menjadi saksi hidup atas terjadinya gempa bumi dan tsunami dahsyat yang melanda Aceh dan beberapa negara pada 26 Desember 2024 itu. Dan tari keempat berjudul Sialang yang menampilkan Khairiyah Sari, Dewi Nabila, Syifa Aulia, dan Nuriana Aulia. Tari ini mengisahkan tentang tradisi memanen madu atau menumbai secara tradisional di pohon sialang di tengah acaman penghancuran hutan.
Koreografer Wan Harun Ismail yang mengampu seni tari menjelaskan bahwa waktu tiga bulan dengan 12 pertemuan memang tidak maksimal. Namun dia dan para siswa tari berusaha memaksimalkan dengan terus menggali semua potensi yang ada. “Alhamdulillah, mereka serius dan berhasil menghasilkan karya-karya yang dipanggungkan tersebut,” jelas lelaki asal Kampar tersebut.
Sementara itu, karya lain yang bisa dilihat di panggung adalah teater. Bidang yang diampu Husin ini menampilkan karya berjudul Ibu Kehidupan dalam Bayang-Bayang Payung Keadilan. Teater yang minim dialog ini mengisahkan sebuah perlawanan terhadap oritarian yang disimbolkan dengan payung hitam yang dipegang oleh semua pemainnya. Bermula dari ketakutan karena tertindas, mereka akhirnya bangkit dan melakukan perlawanan. “Tidak mudah memang dalam waktu yang relatif singkat mengajarkan teori dasar, termasuk dramaturgi, dan lainnya yang diperlukan dalam teater. Namun saya senang karena para siswa mampu memahami dan mempraktikkannya,” ujar Husin.
Jika teater, musik, dan tari –termasuk tari anak— bisa dipanggungkan, seni rupa hanya memajang hasil sketsa semua siswanya di seputaran ruang. Begitu juga sastra yang hanya memajang kover karya novel beserta sinopsisnya lewat media flyer di dekat panggung. Karya novel ini ditargetkan akan selesai dalam waktu satu bulan setelah kelas berakhir. Sedangkan film yang diampu M Ridho, memutar hasil karyanya keesokan harinya di Rumah Suku Seni.***