Festival Sastra Melayu Riau (FSMR) II 2024

Melihat Melayu sebagai Akar Sastra Indonesia

Sejarah tak bisa diubah bahwa bahasa dan sastra Melayu adalah akar dari bahasa dan sastra Indonesia. Untuk itu, memahami akar sangat penting untuk memahami pohon dan buahnya.

RIAUPOS.CO – BAHASA Melayu punya peran besar dalam mempengaruhi dunia sastra Indonesia. Sebagai bahasa yang menjadi dasar bahasa Indonesia, bahasa Melayu tak bisa dipisahkan dari perkembangan bahasa dan sastra Indonesia hingga hari ini karena dialah akarnya. Jika ingin memahami bahasa dan sastra Indonesia, harus terlebih dahulu memahami akarnya, yakni Melayu.

Hal itu adalah simpulan dari diskusi Bincang Sasta #4 Festival Sastra Melayu Riau (FSMR) II 2024 di Rumah Kreatif Suku Seni Riau, Gading Marpoyan, Kampar, Sabtu (7/9/2024). Dalam diskusi bertajuk “Kemelayuan dalam Sastra Indonesia: Mencari Tahu Asal Jadi, ke Mana Hendak Membawa Diri” itu menampilkan dua pembicara. Yang pertama adalah Maman S Mahayana, dosen sastra di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI) yang juga tunak sebagai pengkaji dan kritikus sastra Melayu. Dan yang kedua adalah Datuk Rida K Liamsi, budayawan yang banyak melahirkan novel dan puisi berlatar Melayu. Keduanya menyampaikan pokok pikirannya secara daring.

Dipandu Murparsaulian, hadir dalam diskusi tersebut baik luring maupun daring beberapa sastrawan dan peminat sastra di Riau maupun Indonesia. Mereka antara lain Andreas Mazland, Windi Syahrian Djambak, Anton WP, May Moon Nasution, Roziah, Muhammad Aqalani, Sausan Al Ward, M Arif Al Husein, Griven H Putra, Joni Hendri, Siti Salmah, Samson Rambah Pasir, Wily Anna, Syafruddin Arifin, dll.

- Advertisement -

Kritikus sastra Maman S Mahayana menjelaskan, sudah sejak lama bahasa Melayu menjadi bahasa pergaulan sehari-hari, alias lingua franca, baik dalam bidang perdagangan, bahasa diplomasi bersama bahasa Arab, dan lainnya. Dengan menggunakan huruf Jawi –Arab Melayu–, bahasa Melayu menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan kesusastraan.

Huruf Jawi ini berdasarkan dari persebaran agama Islam yang masuk Nusantara yang tidak mengenal perkastaan, egaliter, dan sangat populis. Dengan huruf Arab-Quran (Jawi), bahasa Melayu gampang dipelajari. Dengan pendekatan adaptif, luwes, dan inklusif, bahasa Melayu menjadi bahasa sosio-kultural.

- Advertisement -

“Misalnya, syair Melayu sudah menjadi gengsi dan reputasi masyarakat, dan bertahan selama sekitar lima abad,” ujar Maman.

Lalu, datanglah bangsa Eropa ke tanah Nusantara. Yang pertama datang adalah Portugis dan Spanyol sekitar tahun 1500-an. Kedatangan mereka mendapatkan perlawanan dari kerajaan-kerajaan di Nusantara seperti Singasari hingga Demak. Ini terjadi karena –terutama Portugis– menguasai Selat Malaka yang saat itu sudah menjadi lalu lintas perdagangan dunia.

Setelah itu datang Belanda dan Inggris tahun 1600-an dalam bentuk serikat dagang bernama VOC. Dari titik inilah sejarah mencatat seolah Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun atau 3,5 abad. Padahal di masa awal itu mereka datang sebagai pedagang dan tak sendirian. Maman mengatakan, tulisan sejarah bahwa Indonesia dijajah selama itu hanya omong kosong. Menurut Maman, Belanda berusaha menguasai Indonesia secara politik baru mulai tahun 1799.

Menurut dia, Belanda mewariskan budaya modern di Indonesia. Misalnya huruf Latin yang hingga kini masih dipakai bahasa tulis sehari-hari; memperkenalkan mesin cetak yang bertahan hingga sekarang; membawa budaya membaca berita lewat surat kabar; membangun pendidikan meski bukan untuk semua orang prbumi; menularkan bahasa Belanda meski terkesan setengah-setengah, “membantu” dalam pengaturan ejaan meski “kacau”, dll. William Marsden misalnya, pada tahun 1812, sudah menulis alphabet Melayu. Dari sinilah kemudian karya-karya Abdullah Munsyi, Raja Ali Haji, Bustanul Katibin, dll lahir. Salah satunya Gurindam 12 (Raja Ali Haji).

Pada tahun 1856, surat kabar pertama berbahasa Melayu terbit, yakni Bintang Oetara, dengan memakai ejaan Philippus Pieter Roorda van Eynsinga. Ejaan ini masih banyak yang belum konsisten. Beberapa kata ditulis dengan berbeda. Pada tahun 1858 terbit Soerat Chabar Betawie yang menggunakan dua bahasa (huruf), yakni Latin dan Jawi.

Orang Belanda terakhir yang ikut “membantu” dalam hal ejaan bahasa Melayu dengan huruf latin alah Ch A van Ophuysen, yang melahirkan Ejaan Van Ophuysen. Dari sinilah kemudian disempurnakan oleh Soewandi (Ejaan Soewandi) hingga menjadi Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) seperti sekarang.Puncak sumbangan bahasa Melayu untuk bahasa Indonesia yang terbesar adalah lahirnya Sumpah Pemuda tahun 1928. Dipilihnya bahasa Melayu (Riau) menjadi bahasa Indonesia dengan suara bulat dari peserta konggres, adalah bukti kekuatan bahasa Melayu terbut. Selain muda dipelajari, sudah lama bahasa Melayu menjadi lingua franca, bahkan sebelum bangsa Eropa datang ke Nusantara (Indonesia). Padahal, jika dikaji, pengguna bahasa Jawa lebih besar dari bahasa Melayu, Juga, ada 718 bahasa daerah dan 1.340 suku bangsa.

Yang menarik lagi, dalam Konggres Pemuda II pada 28 Oktober 1928 itu, tak ada perwakilan dari daerah berbahasa Melayu yang datang selain Jong Sumatranen Bond yang didirikan tahun 1917 –yang mewakili seluruh daerah Sumatra yang tidak semua berbahasa Melayu. Yang lainnya adalah Jong Java (1915), Jong Celebes (1918), Jong Minahasa (1918), Sekar Roekoen (1919), Jong Bataks Bond (1925), dan Perwakilan masyarakat Arab Nusantara.

“Jadi, diambilnya bahasa Melayu Riau menjadi bahasa Indonesia, adalah sebuah kebutuhan saat itu dengan dasar akan menguatkan sebagai sebuah bangsa yang berbeda suku dan bahasa,” jelas Maman.

Apa yang dikatakan Ki Hadjar Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia I di Solo, 25-28 Juni 1938, menguatkan hal itu. Kata Ki Hadjar, “Yang dinamakan ‘bahasa Indonesia yaitu bahasa Melayu yang sungguhpun pokoknya berasal dari ‘Melayu Riau’ akan tetapi sudah ditanmbah, diubah, atau dikurangi menurut keperluan zaman dan alam baharu…”

Sebelumnya, dalam sebuah tulisan pada Juni 1934, Amir Hamzah juga mengatakan bahwa “bahasa Indonesia yang dekat sekali pada hikayat-hikayat zaman dahulu ialah bahasa Indonesia di Riau, Johor, dan Melaka, dan bahasa Riau itulah yang diangkat menjadi ‘standard Maleisch’ tadi.”

Dalam Kongres Bahasa Indonesia II di Medan, tahun 1954 juga disebutkan bahwa asal dan dasar bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu yang disesuaikan menurut perkembangannya.Tak kurang dari Sanusi Pane dan Nur Sutan Iskandar juga menyuarakan yang sama, bahwa dari dasar bahasa Melayu (Riau) itulah bahasa Indonesia kemudian secara perlahan disempurnakan dan menjadi bahasa Indonesia yang akan menjadi masyhur di Asia Tenggara dan dunia.

Kata Maman, dengan dasar bahasa Melayu (Riau) sebagai bahasa Indonesia, maka konsekuensinya juga terjadi dalam bidang sastra Indonesia. Mau tak mau, kita harus mengakui bahwa sastra Melayu sebagai akar tradisi sastra Indonesia. Ada 80 dialek Melayu sebagai bahasa daerah saat ini, dan belum semuanya masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

 

“Karena bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu, maka sudah seharusnya seluruh kosa kata bahasa Melayu masuk dalam lema KBBI,” ujar Maman.

Dalam peta sastra Indonesia, sambung lelaki kelahiran Cirebon, Jawa Barat, ini, bahasa dan sastra Melayu adalah memperkaya kosa katta bahasa Indonesia; menegaskan sosio-budaya Melayu yang berkaitan dengan sejarah panjang yang cermerlang, khasanah literasi yang adiluhung, dan tradisi Melayu yang heterogen; mengikis stigma dunia Melayu yang negatif; tegak berpegang pada sikap budaya Melayu yang inklusif, toleran, dan menghargai tata nilai yang disepakati; serta menjadi pemain aktif dalam arena kehidupan kebudayaan bangsa.

“Bahasa dan sastra Melayu adalah realitas sosial yang tak bisa dielakkan. Bahasa Melayu adalah keunggulan dalam sastra Indonesia. Kemudian, aksara Arab Melayu adalah hal yang luar biasa, menyumbang besar satra Melayu untuk sastra Indonesia. Lalu muncul karya literasi Melayu luar biasa dari Aceh hingga Papua. Dan yang terakahir adalah munculnya politik kemelayuan yang mestinya memberi porsi yang besar bagi bahasa dan kebudayaan Melayu,” jelas Maman.

Pada bagian lain, Rida K Liamsi menjelaskan bahwa kemelayuan dalam kesastraan Indonesia adalah realitas sosial, punya sejarah panjang dan budaya yang esensial atau mendasar. Menurutnya, hal itu sudah menarah daging dalam dunia literasi Indonesia. Posisi penting kemelayuan itu ditandai oleh lima hal, yakni bahasa, aksara Arab Melayu, karya yang tak pernah berhenti sejak dulu, dan politik kemelayuan.

Kelima fakta dan faktor ini, kata Rida, menyebabkan kemelayuan bukan hanya eksistensi sebuah rumpun bangsa, tapi sebuah dunia. Yakni dunia Melayu. Apalagi secara etnik (ras) bangsa Melayu itu DNA-nya nomor dua tertua di dunia. Kemelayuan itu kemudian dibungkus oleh Islam ketika agama itu masuk ke wilayah Melayu yang kini menyebar. Lalu menjadilah dunia Melayu dunia Islam. Sama seperti bangsa Arab.

“Itulah yang yang mewarnai dunia literasi Indonesia selama ini. Sebuah kenyataan yang tak bisa dinafikan. Ke sanalah jati diri Melayu harus dicari. Digali dan dikembangkan. Menaikkan kembali bendera kemelayuan. Menegakkan kembali pancang-pancang budaya Melayu,” ujar Rida.

Rida menjelaskan, Kepulauan Riau (Kepri) sekarang takbisa bis lagi menjadi pancang dalam mempertahankan kemelayuan. Justru yang kuat adalah di Riau (daratan) di mana “benteng-benteng” dalam mempertahankan kemelayuan dibangun. Yang harus dilakukan saat ini oleh masyarakat Melayu adalah membuat jaringan dengan dunia Melayu secara luas hingga ke Malaysia atau Singapura, Pontianak, dll.

Rida juga mengatakan bahwa tidak saatnya lagi memaknai kemelayuan dalam arti sempit, yakni budaya yang lahir di kawasan timur Sumatra hingga Kepri dan semenanjung Malaysia, termasuk Singapura dan sekitarnya. Menurut Rida, sejak dulu sebenarnya kawasan Melayu itu sangat luas dan tak bisa dipetakan dalam wilayah administrasi seperti sekarang ini. Dia mengingatkan, seluruh wilayah Nusantara yang kini menjadi Indonesia adalah kawasan Melayu.

“Orang asing menganggap kita sebagai Melayu, dan itulah kebenaran. Jadi tidak bisa lagi kita dikotak-kotakkan. Melayu ada di mana-mana,” ujar Rida.

Direktur FSMR 2024 yang juga Kepala Suku Seni, Marhalim Zaini, menjelskan pentingnya menghidupkan diskusi sepeti ini tentang akar kemelayuan dalam sastra Indonesia ini. Kenapa muncul tema ini, katanya, adalah untuk melihat pengaruh kemelayuan dalam sastra Indonesia. Bagaimana pengarang luar Riau terpengaruh dengan bahasa Melayu, sumbangan kemelayuan dalam karya sastra Indonesia, terutama mereka yang bukan bukan beribu dari bahasa Melayu.

“Apa yang disampaikan Kang Maman dan Pak Rida sudah jelas bahwa Melayu punya peran besar dalam sastra Indonesia hingga hari ini,” ujar Marhalim.***

Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru

Sejarah tak bisa diubah bahwa bahasa dan sastra Melayu adalah akar dari bahasa dan sastra Indonesia. Untuk itu, memahami akar sangat penting untuk memahami pohon dan buahnya.

RIAUPOS.CO – BAHASA Melayu punya peran besar dalam mempengaruhi dunia sastra Indonesia. Sebagai bahasa yang menjadi dasar bahasa Indonesia, bahasa Melayu tak bisa dipisahkan dari perkembangan bahasa dan sastra Indonesia hingga hari ini karena dialah akarnya. Jika ingin memahami bahasa dan sastra Indonesia, harus terlebih dahulu memahami akarnya, yakni Melayu.

Hal itu adalah simpulan dari diskusi Bincang Sasta #4 Festival Sastra Melayu Riau (FSMR) II 2024 di Rumah Kreatif Suku Seni Riau, Gading Marpoyan, Kampar, Sabtu (7/9/2024). Dalam diskusi bertajuk “Kemelayuan dalam Sastra Indonesia: Mencari Tahu Asal Jadi, ke Mana Hendak Membawa Diri” itu menampilkan dua pembicara. Yang pertama adalah Maman S Mahayana, dosen sastra di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI) yang juga tunak sebagai pengkaji dan kritikus sastra Melayu. Dan yang kedua adalah Datuk Rida K Liamsi, budayawan yang banyak melahirkan novel dan puisi berlatar Melayu. Keduanya menyampaikan pokok pikirannya secara daring.

Dipandu Murparsaulian, hadir dalam diskusi tersebut baik luring maupun daring beberapa sastrawan dan peminat sastra di Riau maupun Indonesia. Mereka antara lain Andreas Mazland, Windi Syahrian Djambak, Anton WP, May Moon Nasution, Roziah, Muhammad Aqalani, Sausan Al Ward, M Arif Al Husein, Griven H Putra, Joni Hendri, Siti Salmah, Samson Rambah Pasir, Wily Anna, Syafruddin Arifin, dll.

Kritikus sastra Maman S Mahayana menjelaskan, sudah sejak lama bahasa Melayu menjadi bahasa pergaulan sehari-hari, alias lingua franca, baik dalam bidang perdagangan, bahasa diplomasi bersama bahasa Arab, dan lainnya. Dengan menggunakan huruf Jawi –Arab Melayu–, bahasa Melayu menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan kesusastraan.

Huruf Jawi ini berdasarkan dari persebaran agama Islam yang masuk Nusantara yang tidak mengenal perkastaan, egaliter, dan sangat populis. Dengan huruf Arab-Quran (Jawi), bahasa Melayu gampang dipelajari. Dengan pendekatan adaptif, luwes, dan inklusif, bahasa Melayu menjadi bahasa sosio-kultural.

“Misalnya, syair Melayu sudah menjadi gengsi dan reputasi masyarakat, dan bertahan selama sekitar lima abad,” ujar Maman.

Lalu, datanglah bangsa Eropa ke tanah Nusantara. Yang pertama datang adalah Portugis dan Spanyol sekitar tahun 1500-an. Kedatangan mereka mendapatkan perlawanan dari kerajaan-kerajaan di Nusantara seperti Singasari hingga Demak. Ini terjadi karena –terutama Portugis– menguasai Selat Malaka yang saat itu sudah menjadi lalu lintas perdagangan dunia.

Setelah itu datang Belanda dan Inggris tahun 1600-an dalam bentuk serikat dagang bernama VOC. Dari titik inilah sejarah mencatat seolah Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun atau 3,5 abad. Padahal di masa awal itu mereka datang sebagai pedagang dan tak sendirian. Maman mengatakan, tulisan sejarah bahwa Indonesia dijajah selama itu hanya omong kosong. Menurut Maman, Belanda berusaha menguasai Indonesia secara politik baru mulai tahun 1799.

Menurut dia, Belanda mewariskan budaya modern di Indonesia. Misalnya huruf Latin yang hingga kini masih dipakai bahasa tulis sehari-hari; memperkenalkan mesin cetak yang bertahan hingga sekarang; membawa budaya membaca berita lewat surat kabar; membangun pendidikan meski bukan untuk semua orang prbumi; menularkan bahasa Belanda meski terkesan setengah-setengah, “membantu” dalam pengaturan ejaan meski “kacau”, dll. William Marsden misalnya, pada tahun 1812, sudah menulis alphabet Melayu. Dari sinilah kemudian karya-karya Abdullah Munsyi, Raja Ali Haji, Bustanul Katibin, dll lahir. Salah satunya Gurindam 12 (Raja Ali Haji).

Pada tahun 1856, surat kabar pertama berbahasa Melayu terbit, yakni Bintang Oetara, dengan memakai ejaan Philippus Pieter Roorda van Eynsinga. Ejaan ini masih banyak yang belum konsisten. Beberapa kata ditulis dengan berbeda. Pada tahun 1858 terbit Soerat Chabar Betawie yang menggunakan dua bahasa (huruf), yakni Latin dan Jawi.

Orang Belanda terakhir yang ikut “membantu” dalam hal ejaan bahasa Melayu dengan huruf latin alah Ch A van Ophuysen, yang melahirkan Ejaan Van Ophuysen. Dari sinilah kemudian disempurnakan oleh Soewandi (Ejaan Soewandi) hingga menjadi Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) seperti sekarang.Puncak sumbangan bahasa Melayu untuk bahasa Indonesia yang terbesar adalah lahirnya Sumpah Pemuda tahun 1928. Dipilihnya bahasa Melayu (Riau) menjadi bahasa Indonesia dengan suara bulat dari peserta konggres, adalah bukti kekuatan bahasa Melayu terbut. Selain muda dipelajari, sudah lama bahasa Melayu menjadi lingua franca, bahkan sebelum bangsa Eropa datang ke Nusantara (Indonesia). Padahal, jika dikaji, pengguna bahasa Jawa lebih besar dari bahasa Melayu, Juga, ada 718 bahasa daerah dan 1.340 suku bangsa.

Yang menarik lagi, dalam Konggres Pemuda II pada 28 Oktober 1928 itu, tak ada perwakilan dari daerah berbahasa Melayu yang datang selain Jong Sumatranen Bond yang didirikan tahun 1917 –yang mewakili seluruh daerah Sumatra yang tidak semua berbahasa Melayu. Yang lainnya adalah Jong Java (1915), Jong Celebes (1918), Jong Minahasa (1918), Sekar Roekoen (1919), Jong Bataks Bond (1925), dan Perwakilan masyarakat Arab Nusantara.

“Jadi, diambilnya bahasa Melayu Riau menjadi bahasa Indonesia, adalah sebuah kebutuhan saat itu dengan dasar akan menguatkan sebagai sebuah bangsa yang berbeda suku dan bahasa,” jelas Maman.

Apa yang dikatakan Ki Hadjar Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia I di Solo, 25-28 Juni 1938, menguatkan hal itu. Kata Ki Hadjar, “Yang dinamakan ‘bahasa Indonesia yaitu bahasa Melayu yang sungguhpun pokoknya berasal dari ‘Melayu Riau’ akan tetapi sudah ditanmbah, diubah, atau dikurangi menurut keperluan zaman dan alam baharu…”

Sebelumnya, dalam sebuah tulisan pada Juni 1934, Amir Hamzah juga mengatakan bahwa “bahasa Indonesia yang dekat sekali pada hikayat-hikayat zaman dahulu ialah bahasa Indonesia di Riau, Johor, dan Melaka, dan bahasa Riau itulah yang diangkat menjadi ‘standard Maleisch’ tadi.”

Dalam Kongres Bahasa Indonesia II di Medan, tahun 1954 juga disebutkan bahwa asal dan dasar bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu yang disesuaikan menurut perkembangannya.Tak kurang dari Sanusi Pane dan Nur Sutan Iskandar juga menyuarakan yang sama, bahwa dari dasar bahasa Melayu (Riau) itulah bahasa Indonesia kemudian secara perlahan disempurnakan dan menjadi bahasa Indonesia yang akan menjadi masyhur di Asia Tenggara dan dunia.

Kata Maman, dengan dasar bahasa Melayu (Riau) sebagai bahasa Indonesia, maka konsekuensinya juga terjadi dalam bidang sastra Indonesia. Mau tak mau, kita harus mengakui bahwa sastra Melayu sebagai akar tradisi sastra Indonesia. Ada 80 dialek Melayu sebagai bahasa daerah saat ini, dan belum semuanya masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

 

“Karena bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu, maka sudah seharusnya seluruh kosa kata bahasa Melayu masuk dalam lema KBBI,” ujar Maman.

Dalam peta sastra Indonesia, sambung lelaki kelahiran Cirebon, Jawa Barat, ini, bahasa dan sastra Melayu adalah memperkaya kosa katta bahasa Indonesia; menegaskan sosio-budaya Melayu yang berkaitan dengan sejarah panjang yang cermerlang, khasanah literasi yang adiluhung, dan tradisi Melayu yang heterogen; mengikis stigma dunia Melayu yang negatif; tegak berpegang pada sikap budaya Melayu yang inklusif, toleran, dan menghargai tata nilai yang disepakati; serta menjadi pemain aktif dalam arena kehidupan kebudayaan bangsa.

“Bahasa dan sastra Melayu adalah realitas sosial yang tak bisa dielakkan. Bahasa Melayu adalah keunggulan dalam sastra Indonesia. Kemudian, aksara Arab Melayu adalah hal yang luar biasa, menyumbang besar satra Melayu untuk sastra Indonesia. Lalu muncul karya literasi Melayu luar biasa dari Aceh hingga Papua. Dan yang terakahir adalah munculnya politik kemelayuan yang mestinya memberi porsi yang besar bagi bahasa dan kebudayaan Melayu,” jelas Maman.

Pada bagian lain, Rida K Liamsi menjelaskan bahwa kemelayuan dalam kesastraan Indonesia adalah realitas sosial, punya sejarah panjang dan budaya yang esensial atau mendasar. Menurutnya, hal itu sudah menarah daging dalam dunia literasi Indonesia. Posisi penting kemelayuan itu ditandai oleh lima hal, yakni bahasa, aksara Arab Melayu, karya yang tak pernah berhenti sejak dulu, dan politik kemelayuan.

Kelima fakta dan faktor ini, kata Rida, menyebabkan kemelayuan bukan hanya eksistensi sebuah rumpun bangsa, tapi sebuah dunia. Yakni dunia Melayu. Apalagi secara etnik (ras) bangsa Melayu itu DNA-nya nomor dua tertua di dunia. Kemelayuan itu kemudian dibungkus oleh Islam ketika agama itu masuk ke wilayah Melayu yang kini menyebar. Lalu menjadilah dunia Melayu dunia Islam. Sama seperti bangsa Arab.

“Itulah yang yang mewarnai dunia literasi Indonesia selama ini. Sebuah kenyataan yang tak bisa dinafikan. Ke sanalah jati diri Melayu harus dicari. Digali dan dikembangkan. Menaikkan kembali bendera kemelayuan. Menegakkan kembali pancang-pancang budaya Melayu,” ujar Rida.

Rida menjelaskan, Kepulauan Riau (Kepri) sekarang takbisa bis lagi menjadi pancang dalam mempertahankan kemelayuan. Justru yang kuat adalah di Riau (daratan) di mana “benteng-benteng” dalam mempertahankan kemelayuan dibangun. Yang harus dilakukan saat ini oleh masyarakat Melayu adalah membuat jaringan dengan dunia Melayu secara luas hingga ke Malaysia atau Singapura, Pontianak, dll.

Rida juga mengatakan bahwa tidak saatnya lagi memaknai kemelayuan dalam arti sempit, yakni budaya yang lahir di kawasan timur Sumatra hingga Kepri dan semenanjung Malaysia, termasuk Singapura dan sekitarnya. Menurut Rida, sejak dulu sebenarnya kawasan Melayu itu sangat luas dan tak bisa dipetakan dalam wilayah administrasi seperti sekarang ini. Dia mengingatkan, seluruh wilayah Nusantara yang kini menjadi Indonesia adalah kawasan Melayu.

“Orang asing menganggap kita sebagai Melayu, dan itulah kebenaran. Jadi tidak bisa lagi kita dikotak-kotakkan. Melayu ada di mana-mana,” ujar Rida.

Direktur FSMR 2024 yang juga Kepala Suku Seni, Marhalim Zaini, menjelskan pentingnya menghidupkan diskusi sepeti ini tentang akar kemelayuan dalam sastra Indonesia ini. Kenapa muncul tema ini, katanya, adalah untuk melihat pengaruh kemelayuan dalam sastra Indonesia. Bagaimana pengarang luar Riau terpengaruh dengan bahasa Melayu, sumbangan kemelayuan dalam karya sastra Indonesia, terutama mereka yang bukan bukan beribu dari bahasa Melayu.

“Apa yang disampaikan Kang Maman dan Pak Rida sudah jelas bahwa Melayu punya peran besar dalam sastra Indonesia hingga hari ini,” ujar Marhalim.***

Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya