Jumat, 22 November 2024
spot_img

Pajak Membelit Pengembang Properti

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Pemerintah telah menaikkan batas harga rumah yang dikategorikan mewah dari Rp10 miliar menjadi Rp30 miliar.

Rumah yang harganya di bawah Rp30 miliar tidak dikenai pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).

Selain itu, batas harga rumah mewah yang dikenai pajak penghasilan (PPh) pasal 22 juga akan naik dari Rp5 miliar menjadi Rp30 miliar.

Dengan begitu, rumah di bawah harga Rp30 miliar tidak dikenai PPh pasal 22. Tarif pajaknya pun akan diturunkan dari lima persen menjadi satu persen.

Meski demikian, pengembang masih membutuhkan insentif pajak untuk mendorong pertumbuhan penjualan properti.

Sekretaris Jenderal DPP Realestat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida mengatakan, meski sejumlah keringanan pajak telah diberikan, pajak untuk properti masih dinilai mahal.

Baca Juga:  BRI Peduli Pasar, Serahkan Bantuan untuk Dua Pasar

Totok mencontohkan, rumah mewah dikenai pajak 38,5 persen. Pajak-pajak itu terdiri atas pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) 5 persen, PPh pengalihan 2,5 persen, PPh pasal 22 sebesar 1 persen, dan PPnBM 20 persen.

Terlalu banyak itu. Macam-macam sekali pajaknya,” ujarnya, Senin (24/6). Rumah sederhana dikenai pajak yang totalnya 17,5 persen karena tidak dikenai PPnBM dan PPh pasal 22.

Jenis pajak yang telah ada, menurut Totok, sangat beragam. Dia ingin pajak-pajak tersebut disederhanakan.

“Supaya lebih mudah menghitungnya dan mengurusnya. Itu supaya konsumen tidak diberatkan,” ucapnya.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengungkapkan, komponen perpajakan yang ada dalam transaksi properti memang sangat banyak.

Baca Juga:  Ducati Siapkan Motor Touring Gendong Radar Canggih

Tarifnya pun mahal. Dia menyarankan BPHTB diturunkan dari 5 persen menjadi 2,5 persen.

Namun, karena BPHTB merupakan ranah pemerintah daerah (pemda), mengubah aturan cukup sulit.

Karena itu, harus ada revisi terlebih dahulu terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

“Itu mutlak supaya dasar hukumnya diubah. Harus ada aturan yang lebih tinggi di tingkat pusat untuk mengubah itu,” katanya. (rin/c11/oki)

sumber: JPNN.com
Editor: Deslina

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Pemerintah telah menaikkan batas harga rumah yang dikategorikan mewah dari Rp10 miliar menjadi Rp30 miliar.

Rumah yang harganya di bawah Rp30 miliar tidak dikenai pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).

Selain itu, batas harga rumah mewah yang dikenai pajak penghasilan (PPh) pasal 22 juga akan naik dari Rp5 miliar menjadi Rp30 miliar.

- Advertisement -

Dengan begitu, rumah di bawah harga Rp30 miliar tidak dikenai PPh pasal 22. Tarif pajaknya pun akan diturunkan dari lima persen menjadi satu persen.

Meski demikian, pengembang masih membutuhkan insentif pajak untuk mendorong pertumbuhan penjualan properti.

- Advertisement -

Sekretaris Jenderal DPP Realestat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida mengatakan, meski sejumlah keringanan pajak telah diberikan, pajak untuk properti masih dinilai mahal.

Baca Juga:  XL Axiata Kembali Serahkan Donasi Sebesar Rp10,8 M

Totok mencontohkan, rumah mewah dikenai pajak 38,5 persen. Pajak-pajak itu terdiri atas pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) 5 persen, PPh pengalihan 2,5 persen, PPh pasal 22 sebesar 1 persen, dan PPnBM 20 persen.

Terlalu banyak itu. Macam-macam sekali pajaknya,” ujarnya, Senin (24/6). Rumah sederhana dikenai pajak yang totalnya 17,5 persen karena tidak dikenai PPnBM dan PPh pasal 22.

Jenis pajak yang telah ada, menurut Totok, sangat beragam. Dia ingin pajak-pajak tersebut disederhanakan.

“Supaya lebih mudah menghitungnya dan mengurusnya. Itu supaya konsumen tidak diberatkan,” ucapnya.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengungkapkan, komponen perpajakan yang ada dalam transaksi properti memang sangat banyak.

Baca Juga:  BNI Bantah Berikan Kredit tanpa Jaminan

Tarifnya pun mahal. Dia menyarankan BPHTB diturunkan dari 5 persen menjadi 2,5 persen.

Namun, karena BPHTB merupakan ranah pemerintah daerah (pemda), mengubah aturan cukup sulit.

Karena itu, harus ada revisi terlebih dahulu terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

“Itu mutlak supaya dasar hukumnya diubah. Harus ada aturan yang lebih tinggi di tingkat pusat untuk mengubah itu,” katanya. (rin/c11/oki)

sumber: JPNN.com
Editor: Deslina

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari