JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Rencana pemerintah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 menjadi perhatian banyak pihak. Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Taufiek Bawazier menilai bahwa kebijakan itu bisa dilakukan, tetapi tidak ke semua sektor.
‘’Kalau menurut saya, pajak antara hulu, tengah, hilir itu harus di-refresh. Artinya, jangan semua diberi pajak. Kalau misal 12 persen pajaknya di hulu, masuk ke intermediate jangan dipajak, lalu masuk ke hilir jangan dipajak. Tinggal geser saja, itu masih oke, tidak banyak berubah,” paparnya, Jumat (29/3).
Menurut Taufiek, hal-hal yang berkaitan dengan pajak memiliki sensitivitas tinggi sehingga harus dipikirkan lebih matang. ‘’Kalau demand naik, multiplier-nya sangat besar. Industri akan menambah investasi karena pasarnya luas, orang bekerja di situ, pekerjanya nanti dapat PPh, dia akan belanja, pemerintah dapat PPN,” jelas Taufiek.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani berharap pemerintah mengevaluasi kenaikan tarif PPN sebesar 12 persen yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025. ”Semoga bisa jadi pertimbangan apakah tepat waktunya,” tuturnya.
Shinta menyatakan, aturan terkait dengan tarif PPN memang disiapkan jauh-jauh hari oleh pemerintah. Namun, kondisi ekonomi global tidak menentu. Karena itu, kenaikan tarif PPN akan berpengaruh terhadap daya beli masyarakat. ”PPN 12 persen itu kan sebenarnya ke konsumen. Jadi, naik di konsumen. Daya beli masyarakat yang perlu diperhatikan,” tegasnya.(agf/dio/jpg)