KIEV (RIAUPOS.CO) – "Menyerah atau mati." Peringatan itu diberikan Rusia untuk tentara Ukraina yang tersisa di Mariupol. Mereka diminta meletakkan senjata pukul 06.00 waktu setempat dan meninggalkan wilayah tersebut sebelum pukul 13.00. Namun, pasukan Ukraina yang tersisa di pabrik baja Azovstal memilih untuk bertahan.
"Para pejuang kami akan terus menjaga pertahanan," tegas Petro Andriushchenko, penasihat wali kota Mariupol, sebelum batas akhir ultimatum seperti dikutip CNN.
Kementerian Pertahanan Rusia, Ahad (17/4) menyatakan bahwa semua area urban di Mariupol sudah berhasil mereka kuasai. Mereka mengklaim Pemerintah Ukraina melarang sisa prajuritnya menyerahkan diri. Berdasar informasi dari tentara Ukraina yang menyerahkan diri lebih dahulu, ada sekitar 400 tentara bayaran asing yang bergabung dengan mereka. Saat ini tentara asing dari Kanada dan beberapa negara Eropa lainnya itu terjebak di Azovstal.
"Jika terjadi perlawanan lebih lanjut, mereka semuanya akan dilenyapkan," bunyi pernyataan Kementerian Pertahanan Rusia.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky berang dengan ancaman Rusia tersebut. Dia menegaskan bahwa pembicaraan damai dua negara akan berakhir jika Kremlin sampai membantai tentaranya yang tersisa di Mariupol. Jika benar Rusia berhasil menaklukkan Mariupol, itu menjadi kota besar pertama yang jatuh ke tangan Kremlin. Ia bakal menghubungkan Krimea dengan Donbas.
"Secara tak manusiawi, Rusia dengan sengaja mencoba untuk memusnahkan semua orang yang ada di sana (Mariupol, red)," ujarnya. Zelensky kembali meminta negara-negara Barat untuk mengirimkan senjata berat sebanyak-banyaknya guna membalas Rusia.
Rusia beberapa hari lalu sudah mengirimkan surat resmi ke Amerika Serikat dan NATO. Moskow memperingatkan bahwa pengiriman senjata justru bisa memperburuk ketegangan dan mengakibatkan konsekuensi yang tidak bisa diprediksi. Amerika Serikat dituding telah melanggar aturan yang mengatur transfer senjata ke zona konflik.
Negeri Beruang Merah juga tidak mau tinggal diam ketika negaranya terus-menerus disanksi. Mereka membalas dengan memasukkan para pejabat dalam daftar hitam masuk ke negara yang dipimpin Presiden Vladimir Putin tersebut. Sabtu (16/4) nama Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Johnson, Menteri Luar Negeri Inggris Liz Truss, Menhan Inggris Ben Wallace, serta 10 pejabat Inggris lainnya masuk daftar itu. Maret lalu, Presiden AS Joe Biden sudah lebih dulu dilarang menginjakkan kaki di Moskow.
Sementara itu, Pemerintah Ukraina meminta penduduk Kiev di pengungsian tak pulang lebih dulu meski situasi di ibu kota mulai berangsur normal. Mereka khawatir Rusia bakal membalas serangan yang mengakibatkan tenggelamnya kapal jelajah penembak misil Moskva. Terpisah, Korea Utara yang mendukung Rusia kini juga memperkuat diri. Mereka menguji coba senjata jenis baru.(sha/c7/bay/jpg)