Sebuah pameran arsitektur dan seni digelar di Major House, Sukajadi. Bukan pameran biasa. Ini pameran di ruang sempit yang menawarkan pengalaman teknologi Augmented Reality.
Laporan HENDRAWAN KARIMAN, Pekanbaru
PAMERAN unik ini dimulai pada Kamis (16/12) sore. Unik, karena ia berbeda dari pameran-pameran arsitek pada umumnya.
Pertama, pameran menampilkan karya para arsitektur muda dalam menyulap ruang sempit yang biasanya dianggap terbuang menjadi sesuatu yang berharga dan menghasilkan uang. Para peserta pameran ditantang merancang ruang yang hanya seukuran 2,4 x 20 meter persegi menjadi tempat usaha.
Sesuai dengan yang disebutkan kurator pameran, Parlindungan Ravelino, selain sebagai ajang refreshing perduniawian bagi designer, pameran ini juga dimaksudkan untuk memperlihatkan hasil rancangan sebuah ruang tidak terpakai di konteks urban di waktunya yang padat nan merayap.
"Sesuai dengan tema pameran "yempil" para arsitek mendesain ruang sempit untuk menjadi sesuatu yang bisa menghasilkan. Ruang sempit itu diambil di sebuah ruang terjepit di Persimpangan Jalan Riau – Jalan Yos Sudarso, di belakang pos polisi, sebuah ruang berukuran 2,4×20 meter," kata Parlindungan.
Tema itu diambil karena selama ini ruang-ruang sempit di antara ruko itu dianggap terbuang. Padahal bisa dibuat menjadi sesuatu yang menghasilkan. Selain itu pameran ini juga ingin menunjukkan bahwa untuk membuat sebuah toko, bahkan hotel, juga bisa dibuat dari ruang yang tidak terlalu besar bahkan di ruang yang terjepit.
Sesuai dengan tema itu, ruangan yang digunakan untuk pameran juga sempit, sementara yang ingin dipamerkan merupakan karya bangunan seperti toko, bengkel sepeda, klinik, studio bahkan hotel. Maka untuk menyiasati hal itu, maka digunakanlah teknologi Augmented Reality.
Augmented Reality sendiri merupakan teknologi yang memperoleh penggabungan secara real-time terhadap digital konten yang dibuat oleh komputer dengan dunia nyata. Augmented Reality memperbolehkan pengguna melihat objek maya dua dimensi (2D) atau tiga dimensi (3D) yang diproyeksikan terhadap dunia nyata.
Penerapan teknologi Augmented Reality ini sangat sesuai dengan ruang pameran yang cukup sempit itu. Dengan aplikasi yang sudah terinstal di ponsel pintar, pengunjung harus melakukan scan barcode di setiap karya yang digantungkan saja dalam ruangan sempit tersebut.
Barcode itu tersedia di setiap karya yang dipamerkan. Barcode pertama untuk mengunduh lalu menginstal, lalu di sebelahnya untuk mendapatkan e-catalog pameran. Lewat aplikasi yang sudah terpasang, pengunjung hanya perlu mengarahkan kameranya ke maket ruang atau gedung yang dirancang para arsitek muda tersebut.
Teknologi ini tidak hanya menghemat tempat pameran, tapi juga menawarkan pengalaman baru bagi pengunjung. Menurut salah seorang Arsitek yang ambil bagkan di pameran ini, Rizky Arnando penerapan teknologi ini yang pertama untuk pameran arsitektur di Pekanbaru.
Bagi pengunjung harus lebih dulu install aplikasi untuk melihat gambar 3D dari semua karya pada pameran ini. Barcode untuk mengunduh tersedia hampir di semua tempat di lokasi pameran, hingga terlihat barcode di mana-mana.
Untuk menyesuaikan dengan tema dan juga ruang, kebetulan ada satu peserta pameran dari seniman, maka kegiatan ini dibuka dengan penampilan seni suara yang cocok dilaksanakan di tempat nyempil. Maka ditampilkanlah musik eksperimen, penggabunhan instrumen Gong Tanah dengan afek dari anti render. Seni suara ini ditampilkan seniman Taufiq Yandra dan Anti Render Adahari Donora.
"Ini adalah hal baru, kami juga baru mempersiapkan ini baru dua hari sampai tampil hari ini (kemarin, red). Kamipun langsung membentuk grupnya dalam momen ini, dan ini akan seterusnya berlanjutnya," sebut Taufiq.
Ketika mendapat tawaran, Taufiq dan partnernya mencoba memberi tawaran hal baru bagi penggemar seni suara, terutama mereka yang hadir pada pameran.
Penampilan musik ini sendiri adalah kolaborasi instrumen musik dan efek suaran yang tidak biasa. Grup baru dibentuk bernama ‘Iyoko Baduowang’ menggabungkan instrimumen yang diadaptasi dari gong tanah atau gong rotan, alat musik tradisional dari Kampar dan efek suara Anti Render.
"Gong Tanah sendiri awalnya dimainkan di bawah rumah panggung di Kampar. Karena konsep pertunjukannya ruang sempit, kami langsung teringat anak-anak yang dulu lebih suka bermain di bawah rumah di siang hari daripada di lapangan, termasuk main gong tanah dan calempong ogoung," sebut Taufiq.
Untuk menghasilkan efek bunyi maka digunakanlah Anti Render. Sebetulnya Anti Render merespon bunyi yang dihasilkan Gong Tanah, hingga menghasilkan efek yang sebenarnya dihasilkan secara manual.
Usai pembukaan, pengunjung menuju ruangan pameran. Semua melakukan scan barcode untuk melihat gambar desain bangunan 3D hanya dengan mengarahkan kamera pondel android ke sektsa gambar yang di bentang di ruang pameran. Pameran berlangsung hingga Ahad (19/12).***