JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Kinerja Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) moncer di tengah pandemi Covid-19. Meski demikian, perubahan pola transaksi, ketatnya persaingan lembaga keuangan di sektor usaha mikro dan kecil, hingga tingginya risiko kredit menjadi tantangan jangka pendek.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Heru Kristiyana menuturkan, kinerja BPR dan BPRS secara umum masih terjaga. Aset, penghimpunan dana pihak ketiga (DPK), maupun kredit masih menunjukkan pertumbuhan yang positif.
Per September 2021, total aset BPR dan BPRS tumbuh 8,90 persen year-on-year (YoY) menjadi Rp178,393 triliun. Penyaluran kredit naik 4,33 persen YoY sebesar Rp126,141 triliun. DPK tumbuh dua digit, 11,27 persen atau tercatat Rp 123,764 triliun. Artinya, industri BPR dan BPRS tetap resilience di tengah tekanan menghadapi pandemi Covid-19, kata Heru secara virtual, Selasa (30/11).
Sayangnya, lanjut dia, risiko kredit BPR dan BPRS masih tinggi. Keduanya berada di atas ambang batas 5 persen. OJK mencatat, rasio kredit macet alias non-performing loan (NPL) BPR secara gross dan net masing-masing 7,53 persen dan 5,02 persen.
Untuk BPRS, rasio pembiayaan macet atau non-performing financing (NPF) gross di level 7,94 persen dan net 6,56 persen. "Harus semakin selektif dalam menyalurkan pembiayaan. Seiring tingginya persepsi risiko kredit", tuturnya.
Di sisi lain, industri BPR dan BPRS menghadapi tantangan dari sisi eksternal maupun struktural. Dari sisi eksternal, terdapat perubahan ekosistem global dan nasional. Mulai perubahan perilaku masyarakat atas inovasi produk dan layanan perbankan, perkembangan teknologi keuangan, digital ekonomi, dan investasi infrastruktur digital.(han/c6/dio/jpg)