Minggu, 10 November 2024

Pemindahan Ibukota Harus Dipagari PPHN

- Advertisement -

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah merespon positif rencana Presiden Joko Widodo menyerahkan surat presiden (surpres) terkait RUU Ibu Kota Negara (ibu kota baru) kepada DPR RI.

Dia berharap, gagasan besar ini mendapat dukungan partai-partai politik dan semua elemen masyarakat. Gagasan besar Presiden Jokowi ini harus dijadikan contoh praktis. Untuk memastikan kesinambungan rencana pembangunan Ibukota Negara baru itu, bangsa ini sangat memerlukan payung hukum yang lebih kokoh untuk hadirnya ketentuan Pokok-Pokok Haluan Negara atau PPHN.

- Advertisement -

"Tanpa PPHN, siapa yang akan menjamin presiden terpilih tahun 2024 nanti benar-benar akan melaksanakan dan melanjutkan rencana pemindahan ibu kota negara ini?’’ jelas Ahmad Basarah, Ahad (29/8/2021).

Basarah mengatakan, hal ini mengingat UUD NRI 1945 dan UU 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) tidak memberi sanksi apapun kepada presiden berikutnya atas tidak dilanjutkannya sebuah program pembangunan yang telah dilaksanakan oleh presiden sebelumnya.

Menurutnya, dukungan partai-partai dan seluruh masyarakat atas rencana pemindahan ibu kota negara idealnya diwujudkan dalam bentuk dukungan terhadap rencana MPR RI melakukan amandemen terbatas UUD 1945 untuk mengakomodasi PPHN.

- Advertisement -

Amandemen terbatas ini, kata Basarah, hanya ingin memasukkan satu ayat pada pasal 3 yang intinya memberi kewenangan kepada MPR RI untuk mengubah dan menetapkan PPHN atau GBHN, serta menambah ayat pada pasal 23 yang mengatur kewenangan DPR RI untuk menolak RUU APBN yang diajukan oleh presiden bila tidak bertentangan dengan PPHN.

Baca Juga:  Perlu Upaya Keras untuk Jadi Negara Maju

"Karena itu, saya sangat berharap niat MPR RI melakukan amandemen terbatas ini tidak dicurigai punya motif apa pun, apalagi dicurigai ingin mengubah konstitusi agar presiden bisa menjabat tiga periode. Tidak sama sekali. Presiden boleh berganti, tapi rencana pembangunan jangka panjang nasional harus terus berkesinambungan dan dipagari oleh konstitusi,’’ tegas Basarah.

Basarah menegaskan, jangkar pembangunan Indonesia modern sudah seharusnya dikembalikan kepada cita-cita luhur pendiri bangsa yang menghendaki pembangunan nasional didasarkan atas pola Pembangunan Nasional Semesta dan Berencana (PNSB) atau Garis-garis besar daripada haluan negara.

"Bung Karno (Soekarno) di era Orde Dasar dulu pernah melaksanakan PNSB dan GBHN. Kemudian pada era Orde Baru, Pak Harto (Soeharto) melanjutkannya dengan terminologi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Tapi pasca reformasi, MPR melucuti sendiri kewenangannya untuk membuat dan menetapkan konsep pembangunan jangka panjang nasional ini. Maka sekarang saatnya kita kembali pada PPHN,’’ tegas Basarah.

Jika negeri ini memiliki PPHN, lanjut Basarah, seluruh rakyat Indonesia lewat wakil-wakil mereka akan leluasa memastikan presiden terpilih untuk melaksanakan road map dan blue print pembagunan nasional melalui PPHN. Melalui PPHN itulah presiden terpilih menjabarkan program pembangunan lima tahunnya dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 5 Tahun yang telah disusun dan dijabarkan langsung sejak pembentukan visi, misi dan program calon presiden yang akan ikut kontestasi pemilu presiden.

Baca Juga:  Parto Patrio Ogah Anaknya Dekat dengan Billy Syahputra

Dengan demikian, pembangunan nasional tak akan jalan di tempat akibat ganti presiden ganti program dan kebijakan.

Sebagai contoh, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah membuat Badan Pengembangan Kawasan Strategis dan Infrastruktur Selat Sunda. Namun proyek tersebut dibatalkan dan badan ini dibubarkan oleh Presiden Jokowi. Ada 17 lembaga lain yang dibubarkan berdasarkan perpres 82/2020 tentang komite penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.

“Mengapa Presiden Jokowi bisa menghentikan apa yang sudah direncanakan dan dilaksanakan presiden sebelumnya? Karena UU SPPN tidak mengatur hal itu, apalagi memberi sanksi. Kita tak ingin presiden terpilih di 2024 melakukan tindakan yang sama jika tak ada PPHN. Rakyat akan rugi karena triliunan anggaran untuk program pembangunan Ibu Kota Baru di Kalimantan Timur itu bisa saja mangkrak seperti seperti rencana pembangunan infrastruktur Selat Sunda maupun pembangunan Wisma Atlet di Bogor. Arah pembangunan nasional kita akan seperti tari Poco-poco, maju selangkah mundur dua langkah, dan seterusnya,” tutupnya.

 

Sumber: Jawapos.com

Editor: Erwan Sani

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah merespon positif rencana Presiden Joko Widodo menyerahkan surat presiden (surpres) terkait RUU Ibu Kota Negara (ibu kota baru) kepada DPR RI.

Dia berharap, gagasan besar ini mendapat dukungan partai-partai politik dan semua elemen masyarakat. Gagasan besar Presiden Jokowi ini harus dijadikan contoh praktis. Untuk memastikan kesinambungan rencana pembangunan Ibukota Negara baru itu, bangsa ini sangat memerlukan payung hukum yang lebih kokoh untuk hadirnya ketentuan Pokok-Pokok Haluan Negara atau PPHN.

- Advertisement -

"Tanpa PPHN, siapa yang akan menjamin presiden terpilih tahun 2024 nanti benar-benar akan melaksanakan dan melanjutkan rencana pemindahan ibu kota negara ini?’’ jelas Ahmad Basarah, Ahad (29/8/2021).

Basarah mengatakan, hal ini mengingat UUD NRI 1945 dan UU 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) tidak memberi sanksi apapun kepada presiden berikutnya atas tidak dilanjutkannya sebuah program pembangunan yang telah dilaksanakan oleh presiden sebelumnya.

- Advertisement -

Menurutnya, dukungan partai-partai dan seluruh masyarakat atas rencana pemindahan ibu kota negara idealnya diwujudkan dalam bentuk dukungan terhadap rencana MPR RI melakukan amandemen terbatas UUD 1945 untuk mengakomodasi PPHN.

Amandemen terbatas ini, kata Basarah, hanya ingin memasukkan satu ayat pada pasal 3 yang intinya memberi kewenangan kepada MPR RI untuk mengubah dan menetapkan PPHN atau GBHN, serta menambah ayat pada pasal 23 yang mengatur kewenangan DPR RI untuk menolak RUU APBN yang diajukan oleh presiden bila tidak bertentangan dengan PPHN.

Baca Juga:  Parto Patrio Ogah Anaknya Dekat dengan Billy Syahputra

"Karena itu, saya sangat berharap niat MPR RI melakukan amandemen terbatas ini tidak dicurigai punya motif apa pun, apalagi dicurigai ingin mengubah konstitusi agar presiden bisa menjabat tiga periode. Tidak sama sekali. Presiden boleh berganti, tapi rencana pembangunan jangka panjang nasional harus terus berkesinambungan dan dipagari oleh konstitusi,’’ tegas Basarah.

Basarah menegaskan, jangkar pembangunan Indonesia modern sudah seharusnya dikembalikan kepada cita-cita luhur pendiri bangsa yang menghendaki pembangunan nasional didasarkan atas pola Pembangunan Nasional Semesta dan Berencana (PNSB) atau Garis-garis besar daripada haluan negara.

"Bung Karno (Soekarno) di era Orde Dasar dulu pernah melaksanakan PNSB dan GBHN. Kemudian pada era Orde Baru, Pak Harto (Soeharto) melanjutkannya dengan terminologi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Tapi pasca reformasi, MPR melucuti sendiri kewenangannya untuk membuat dan menetapkan konsep pembangunan jangka panjang nasional ini. Maka sekarang saatnya kita kembali pada PPHN,’’ tegas Basarah.

Jika negeri ini memiliki PPHN, lanjut Basarah, seluruh rakyat Indonesia lewat wakil-wakil mereka akan leluasa memastikan presiden terpilih untuk melaksanakan road map dan blue print pembagunan nasional melalui PPHN. Melalui PPHN itulah presiden terpilih menjabarkan program pembangunan lima tahunnya dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 5 Tahun yang telah disusun dan dijabarkan langsung sejak pembentukan visi, misi dan program calon presiden yang akan ikut kontestasi pemilu presiden.

Baca Juga:  Dikejar Kambing

Dengan demikian, pembangunan nasional tak akan jalan di tempat akibat ganti presiden ganti program dan kebijakan.

Sebagai contoh, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah membuat Badan Pengembangan Kawasan Strategis dan Infrastruktur Selat Sunda. Namun proyek tersebut dibatalkan dan badan ini dibubarkan oleh Presiden Jokowi. Ada 17 lembaga lain yang dibubarkan berdasarkan perpres 82/2020 tentang komite penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.

“Mengapa Presiden Jokowi bisa menghentikan apa yang sudah direncanakan dan dilaksanakan presiden sebelumnya? Karena UU SPPN tidak mengatur hal itu, apalagi memberi sanksi. Kita tak ingin presiden terpilih di 2024 melakukan tindakan yang sama jika tak ada PPHN. Rakyat akan rugi karena triliunan anggaran untuk program pembangunan Ibu Kota Baru di Kalimantan Timur itu bisa saja mangkrak seperti seperti rencana pembangunan infrastruktur Selat Sunda maupun pembangunan Wisma Atlet di Bogor. Arah pembangunan nasional kita akan seperti tari Poco-poco, maju selangkah mundur dua langkah, dan seterusnya,” tutupnya.

 

Sumber: Jawapos.com

Editor: Erwan Sani

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari