JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Upaya peretasan nomor ponsel dan media sosial (medsos) kembali mencuat. Kali ini, menimpa sejumlah pegawai KPK yang masuk kluster tidak memenuhi syarat (TMS) sebagai aparatur sipil negara (ASN). Di antaranya Novel Baswedan dan Sujanarko. Serangan digital itu juga sempat dialami eks Juru Bicara KPK Febri Diansyah.
Novel mengungkapkan, peretasan tersebut diketahui terjadi pada Kamis (20/5) pukul 20.22. Di jam itu, Novel menyebut ada notifikasi dari Telegram yang sempat dia abaikan karena ada acara keluarga di waktu yang sama. Selang berapa jam dari notifikasi itu, Novel baru menyadari ada yang tidak beres dengan akun Telegram miliknya.
"Malam-malam (setelah acara keluarga, red) saya dikasih tahu teman-teman kalau Telegram saya diretas," ujarnya kepada Jawa Pos (JPG), kemarin (21/5).
Novel mengaku tidak bisa mengambil alih akun Telegram tersebut dengan menerapkan langkah verifikasi. "Saya masukan kode (OTP/one-time password) ke nomor ponsel, tapi SMS-nya nggak masuk," tutur penyidik senior KPK itu.
Di waktu yang hampir bersamaan, tepatnya pukul 20.30, akun Telegram Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK Sujanarko juga tidak bisa dikendalikan atau lost control. Beda dengan Novel, Sujanarko mengaku akun WhatsApp (WA) juga sempat diretas sekitar pukul 22.30.
Novel menyebut selain dirinya dan Sujanarko, sejumlah pegawai KPK yang masuk kelompok 75 pegawai TMS mengalami peretasan. Salah satunya, penyelidik KPK Rieswin Rachwel.
"Informasinya ada 10 orang yang diretas di waktu bersamaan," ungkap mantan perwira polisi.
"Dan sebelum kejadian ini, upaya masuk ke Telegram, email dan WA sudah berkali-kali terjadi," ujarnya.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyebut serangan digital yang terjadi belakangan ini jelas melanggar hak kebebasan berekspresi. Sebelumnya, serangan digital berupa peretasan akun medsos itu menimpa para peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), pengacara LBH Jakarta, asisten peneliti Lokataru Foundation hingga eks pimpinan KPK.
Amnesty mencatat, di tahun ini sudah ada 14 kasus serangan digital yang melanggar hak kebebasan berekspresi. Totalnya ada 26 korban dengan 12 orang merupakan aktivis. Sementara di tahun lalu, Amnesty mencatat ada 66 kasus serangan digital dengan total korbannya sebanyak 86. Di antaranya merupakan aktivis dan akademisi.
"Pemerintah harus menunjukkan komitmennya untuk melaksanakan reformasi dengan menginvestigasi kasus-kasus seperti ini (serangan digital, red)," paparnya.
Usman menekankan bahwa hak warga untuk mengutarakan pendapatnya secara damai merupakan hak yang harus dilindungi. "Sekali pun pendapat itu berbeda dengan pandangan pemerintah," jelasnya.
Dia menambahkan, hak atas kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi sudah dijamin dan dilindungi di berbagai instrumen hukum. Secara internasional, hak itu dijamin di pasal 19 di Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Serta Komentar Umum No. 34 terhadap pasal 19 ICCCP.
Hak itu juga dijamin di Konsitusi Indonesia. Tepatnya di pasal 28E dan 28F UUD, serta pada pasal 14 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). "Ruang kebebasan sipil di Indonesia semakin menyempit," imbuhnya.
Peristiwa-peristiwa tersebut, kata Usman, mengindikasikan mundurnya kebebasan sipil pasca reformasi. Saat ini reformasi telah berusia 23 tahun.(tyo/jpg)