JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Jumlah kapal selam Indonesia bertambah dari dua menjadi lima sejak 2017. KRI Nagapasa-403, KRI Ardadedali-404, dan KRI Alugoro-405 berurutan masuk Satuan Kapal Selam TNI-AL. Menilik minimum essential force (MEF) institusi militer tanah air, jumlah kapal selam akan terus ditambah. Targetnya sampai 12 unit.
Sayang, Indonesia belum punya perangkat untuk situasi darurat seperti kapal penyelamat kapal selam atau submarine rescue ship. Berkaca pada pencarian KRI Nanggala-402, keberadaan kapal penyelamat sangat diperlukan.
"Kita punya armada kapal selam, tapi nggak punya perangkat penanganan kedaruratan dan penyelamatan yang memadai," kata Khairul Fahmi dari Institute for Security and Strategic Studies (ISSES).
Kondisi itu, kata Fahmi, memang bisa disiasati. Yakni, membangun kerja sama dengan negara-negara lain yang sudah memiliki perangkat tersebut. Itulah yang dilakukan TNI-AL.
Begitu distres ISMERLO keluar, respons berdatangan. Namun, itu tidak cukup. Fakta saat ini menunjukkan bahwa bantuan tidak bisa cepat datang.
Padahal, operasi penyelamatan kapal selam berkejaran dengan waktu. "Benar-benar harus tabah sampai akhir," kata Fahmi sambil menyitir semboyan satuan kapal selam. Ya, tabah sampai akhir adalah semboyan yang lekat dengan personel di Korps Hiu Kencana.
Dorongan pengadaan kapal penyelamat kapal selam juga datang dari eks petinggi TNI-AL Laksamana Muda TNI Purnawirawan Soleman Ponto. Dengan tegas dia menyatakan bahwa submarine rescue ship dibutuhkan TNI-AL. "Memang itu penting adanya submarine rescue," imbuhnya.
Dia tahu betul bahwa TNI-AL tangguh. Sebagai purnawirawan AL dengan dua bintang di pundak, Soleman menyaksikan dan merasakan langsung keandalan personel TNI-AL. Mereka bisa bertahan menggunakan kapal-kapal yang secara umur sudah masuk kategori tua.
Soleman juga paham dan percaya, pengawak kapal selam TNI-AL selalu patuh dan taat prosedur. Namun, tetap saja dibutuhkan kapal khusus saat kondisi darurat. "Minimal untuk meninggikan moril (awak kapal selam)," imbuhnya.
Tentu tidak ada yang mengharapkan harus berhadapan dengan petaka seperti dialami KRI Nanggala-402. Hanya, dia menekankan bahwa setiap armada kapal selam mesti diperkuat dengan kapal penyelamat. "Patut dipertimbangkan dengan adanya kasus ini. Satu unit cukup," imbuhnya.
Sementara itu, pakar kapal selam Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Wisnu Wardhana mengatakan, kapal selam Cakra dan Nanggala diciptakan dengan kemampuan selam hanya 300 meter pada 1980-an. Sekarang kemampuan kapal selam tersebut berkurang menjadi 200 meter. Padahal, ada dugaan KRI-Nanggala-402 sempat terdeteksi di kedalaman 500–600 meter. "Itu artinya, tekanan hidrostatisnya sudah meningkat. Kapal gagal mengapung hanya di kedalaman 200 meter," katanya kepada Jawa Pos kemarin.
Menurut dia, ada beberapa kemungkinan penyebab kegagalan KRI Nanggala-402. Yakni, terjadi kecelakaan, kesalahan sistem, dan lain-lain. Kemungkinan yang terjadi adalah kecelakaan. Hal itu mengakibatkan sonar rusak, pressure hull-nya pecah karena ada tumpahan, dan mati mesin. "Air dengan tekanan 60 bar yang sudah masuk ke arah pressure hull dapat menyerang manusia, peralatan elektronik, dan lain-lain. Sementara manusia hanya tahan pada tekanan 5 bar saja," ujarnya.
Wisnu menyatakan, yang perlu dilakukan saat ini adalah mendatangkan kapal selam kecil untuk bisa mendeteksi keberadaan kapal selam KRI Nanggala-402. Kapal selam kecil bisa dimaksimalkan untuk segera mengevakuasi personel yang tertahan di kapal. "Sekarang harus mulai evakuasi seperti itu. Sayang, Indonesia tidak memiliki kapal selam kecil. Jadi, bagaimanapun caranya harus meminjam kapal selam kecil dari negara tetangga seperti Singapura," kata dia.
Kejadian kegagalan KRI Nanggala-402, kata Wisnu, refleksi yang bagus bagi negara. Khususnya dalam mengelola alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang sudah berumur. "Kalau kita mengelola alutsista yang baru gampang. Yang harus dipikirkan adalah mengelola alutsista yang lama agar tetap memiliki kemampuan yang bagus," ujarnya.
Sementara itu, dua belas tahun bertugas di dalamnya, Laksamana TNI (pur) Soeparno mengenang KRI Nanggala sebagai kapal yang tangguh. Bahkan di usianya yang sekarang, kapal buatan Jerman pada 1977 itu dinilainya masih baik. "Istilahnya, dengan kapal yang sejenis itu, kita masih ditakutilah. Disegani," kata mantan kepala staf Angkatan Laut itu.
Dia berlayar bersama kapal tersebut selama 12 tahun. Sejak Nanggala kali pertama didatangkan TNI-AL pada 1981. Dia menduga, insiden yang dialami kapal tersebut disebabkan air laut yang masuk. Akibatnya, sistem kelistrikan di kapal itu rusak.
Dia menambahkan, dalam keadaan normal, sistem pernapasan di dalam kapal bisa bertahan sampai sepekan. Kapal tersebut mempunyai teknologi yang memungkinkan untuk mengikat karbon O2 dan CO2 hingga keluar lagi menjadi O2. "Tapi, itu pun dengan waktu yang sangat terbatas. Hanya untuk darurat kalau sedang dikejar musuh dan sebagainya," imbuhnya.
Di dalam kapal selam itu ada peralatan untuk menyelamatkan diri. Namun, peralatan untuk fungsi eskapis tersebut harus dibuka satu per satu.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Rinaldi