DALAM agama, bahkan semua agama, berbakti kepada orang tua adalah kewajiban seorang anak. Ada kecenderungan manusia untuk melupakan orang yang sudah berbuat baik kepadanya di masa lalu, seperti dalam ungkapan kacang lupa pada kulit. Karena itu Allah memerintahkan manusia untuk berbakti kepada kedua orang tuanya, bahkan ridho Allah terletak pada ridho orang tua.
Demikianlah pentingnya kewajiban berbakti kepada kedua orang tua.
Jika mereka sudah tiada kebaikan itu harus dilakukan dalam bentuk menziarahi dan berbuat baik kepada saudara dan teman-teman almarhum semasa hidupnya. Salah satu kewajiban berbuat baik itu tercermin dalam bentuk mengunjungi orang tua dan tradisi di Indonesia, khususnya dilakukan pada hari raya yang lazim disebut pulang kampung atau mudik.
Mudik menjadi tradisi yang dianggap sangat mulia di samping tentu saja ada tujuan-tujuan sampingan yang tidak selalu baik seperti pamer kekayaan atau prestise lain di kampung halaman. Karena dianggap sebagai tradisi yang baik, budaya mudik terus menerus menjadi keriuhan yang menggembirakan setiap tahunnya dan itu sudah berlangsung ratusan tahun di Indonesia sejak zaman Belanda. Pemerintah setiap tahunnya menyediakan sarana transportasi, menyiapkan keamanan, memperlancar jalan, dan memperbaiki jalan-jalan berlubang demi kenyamanan mudik bagi masyarakat pulang kampung atau mudik bahkan hal serupa telah dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Persoalannya saat ini oleh pemerintah dan pihak-pihak yang kompeten menilai kegiatan mudik tersebut dapat menimbulkan persebaran virus Covid-19 yang hingga kini belum selesai. Sebagai pemerintah, yang berhak memerintah, berwenang mengatur pemerintah punya legalitas untuk melakukan itu. Ada atau tidak ada alasn tidak lah penting karena atas nama kekuasaan, pemerintah berhak dan berwenang mengatur warga negara.Dalam konteks hukum publik, negara dengan rakyat tidak lah setara. Pemerintah berhak memaksakan kehendaknya kepada warga negara dan berhak pula menjatuhkan sanksi bagi yang melanggar.
Masyarakat berada dalam dilema antara mengerjakan sesuatu yang selama bertahun-tahun sebagai suatu kebaikan yang selama ini justru difasilitasi oleh pemerintah dengan mengikuti perintah penguasa ditambah keinginan hatu dan kerinduan untuk berjumpa dengan orang tua, sanak saudara dan handai taulan di kampung halaman tercinta.
Filsuf Yunani, Demostenes menyatakan bahwa hukum dipatuhi karena perintah Tuhan, perintah penguasa, perintah orang bijak atau persetujuan dengan pihak lain. Dalam hal terdapat pertentangan antara apa yang diyakini sebagai perintah Tuhan dengan perintah penguasa. Seharusnya perintah penguasa linear dengan perintah Tuhan. Namun dalam keadaan tertentu untuk kepentingan bersama, negara berhak menetapkan suatu keadaan yang disebut sebagai keadaan darurat, sehingga seakan terdapat perbedaan antara perintah Tuhan dengan perintah penguasa.
Bila direnungkan, perintah untuk berbakti kepada orang tua yang diwajibkan Tuhan, tidak harus dimaknai dengan pulang kampung atau mudik. Masih banyak alternatif yang bisa dipilih dan masih banyak waktu lain yang bisa jadi pilihan untuk bersilaturahmi di luar hari raya. Tetapi karena sudah menjadi tradisi dan opini publik bahwa silaturahmi terbaik adalah pada hari raya, maka kebijakan pelarangan mudik menjadi kebijakan yang sama sekali tidak populer.
Dalam hukum, selalu ada pintu-pintu jalan keluar dalam keadaan darurat. Dalam keadaan darurat terdapat tiga kemungkinan yaitu pertentangan antara kewajiban dengan kepentingan, kepentingan dengan kepentingan yang lain, kewajiban dengan kewajiban yang lain. Dalam keadaan seperti itu, maka pilihan yang seharusnya diambil dan dapat dibenarkan adalah pilihan yang lebih kecil bahayanya. Seorang pilot yang terpaksa mendaratkan pesawat sehingga menimbulkan korban luka-luka akan dimaafkan di dalam hukum, karena jika ia tidak mengambil sikap serupa pesawa dapat meledak sehingga mematikan semua penumpang di dalam pesawat.
Bahwa dapat saja suatu kebijakan tidak murni berdasarkan kepentingan yang lebih besar atau ada maksud buruk tertentu, wallahualam bisshawab. Tiap orang boleh saja menduga-duga, dan menduga-duga saja bukanlah tindak pidana kecuali jika diwujudkan dengan perbuatan sebagaimana adagium cogitigationis poenam nemo patitur (pikiran saja tidak menyebabkan orang dapat dipidana).
Pertanyaan yang lebih serius tentu saja adalah apakah jika ada pemudik nekat dapat diberi sanksi pidana? Bukankah itu hanyalah suatu kebijakan yang dikeluarkan pemerintah secara sepihak? Tidak berbentuk Undang-undang yang dikeluarkan bersama para wakil rakyat di DPR? Polisi selama ini menggunakan Pasal 212 dan Pasal 216 sebagai senjata ampuh bagi mereka yang menolak kebijakan pemerintah selama masa pandemi ini.
Jika melihat rumusan Pasal 212 barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan kepada seseorang pegawai negeri yang melakukan pekerjaannya yang sah, atau melawan kepada orang yang waktu mebantu pegawai negeri itu karena kewajibannya menurut Undang-undang atau karena permintaan pegawai negeri itu, dihukum karena perlawanan, dihukum karena melakukan perlawanan dan Pasal 216 yaitu Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, maka penggunaan hukum pidana dapat saja dilakukan.
Namun dilihat dari perspektif tujuan pemidanaan modern yang bersifat rehabilitatif dan restoratif, sungguhlah tindakan itu tidak tepat. Kalaupun benar kebijakan pelarangan mudik dilandasi niat yang baik, pelarangan itu dilakukan dengan arif dan bijaksana tidak buru-buru mengedepankan sanksi apalagi berupa pidana. Penegakan kebijakan itu perlu dilakukan dengan kearifan atau kalaupun harus memberi sanksi, berilah dengan sanksi yang bersifat mendidik. Di balik itu semua, yang terpenting dalam penegakan hukum di Indonesia bukanlah tentang beratnya sanksi, tetapi lebih pada seberapa tegas dan adil aturan ditegakkan. Jika dilarang, laranglah untuk semua keadaan dan semua orang, bukan hanya ditujukan kepada golongan tertentu saja. Jangan bak kata pepatah Minang, tibo di mato dipiciangkan, tibo di paruik dikampihkan.***