Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Kesadaran Tinggi, Pengawasan Harus Diperkuat

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Temuan Lembaga Survei Indonesia (LSI) terhadap persepsi aparatur sipil negara (ASN) dalam hal korupsi menunjukkan tren yang menggembirakan. Namun jumlah laporan ke bagian pengawas ternyata masih rendah. Ini dianggap sebagai bagian yang harus dievaluasi oleh pemerintah, khususnya Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB).

Direkrut LSI Djayadi Hanan menjelaskan, mayoritas PNS yang terlibat dalam survei ini memang mengatakan tidak pernah melihat langsung praktik korupsi seperti suap dan gratifikasi di lingkungan kerja mereka. Namun ada 20 persen yang mengatakan pernah melihat atau setidaknya tahu ada kejadian itu.

"Ada 20 persen yang mengatakan itu terjadi dan angka itu cukup banyak," jelas Djayadi dalam konferensi pers, Ahad (18/4).

Selain itu, berdasarkan temuan LSI juga, sebanyak 26 persen PNS mengakui baha instansi tempat mereka bekerja berpotensi terjadi korupsi. Dilihat dari segi pendapatan, kesadaran ini banyak dimiliki oleh PNS yang berpendapatan menengah ke atas. Semakin tinggi golongan PNS, semakin mereka memiliki pengetahuan dan kesadaran adanya potensi korupsi tersebut.

Kendati demikian, masih cukup banyak juga PNS yang memilih untuk tidak melapor ke bagian pengawasan jika mengetahui adanya praktik korupsi seperti suap dan gratifikasi. 70 persen menyatakan mungkin akan melapor, sedang sekitar 23,8 persen memilih untuk tidak melapor.

Djayadi menjelaskan, alasan terbesar untuk tidak melapor adalah karena takut terkena masalah. Kemudian belum pernah melihat ada sesama rekannya yang melapor, khawatir proses berbelit-belit, hingga khawatir laporan tidak akan ditindaklanjuti. Sementara dari sisi publik sendiri, masih banyak yang belum mengetahui kanal untuk melapor jika menemukan praktik korupsi di kalangan ASN, khususnya bagian pelayanan publik.

Baca Juga:  7 Jenazah Teridentifikasi Diserahkan ke Keluarga

Padahal pemerintah telah menyiapkan kanal seperti Layanan Aspirasi Pengaduan Online Rakyat (LAPOR).

"Ini bisa menjadi evaluasi bagi pemerintah apakah ada persoalan sosialisasi atau lainnya. Makin banyak rakyat tahu, makin banyak rakyat berperan dalam proses reformasi birokrasi," jelas Djayadi.

Menteri PAN-RB Tjahjo Kumolo mengakui bahwa tindak korupsi masih berkeliaran di lingkungan PNS. Setiap bulannya, selalu ada saja PNS yang di non-aktifkan jabatannya sembari menunggu proses hukum karena terbukti bersalah. Sebagian lainnya, langsung dipecat.

"Jujur kami tiap bulan 20-30 persen PNS harus kami berhentikan dengan tidak hormat," ungkapnya.

Dia menyadari, permasalahan itu harus segera ditangan dengan cepat. Supaya, tidak ada lagi oknum-oknum di lingkungan pemerintahan yang merugikan negara. Ke depannya, Tjahjo berjanji akan melakukan perbaikan. Di antaranya, dengan meningkatkan profesionalitas PNS dan mewajibkan mereka untuk melaporkan kekayaannya setiap tahun. Serta, fokus pada pembangunan zona integritas pada unit kerja layanan.

"Sistem ini harus makin kuat supaya ke depannya melahirkan orang yang konsisten di bidangnya masing-masing. Dan semoga hasil survei ini bisa jadi referensi ke depannya," tutur Tjahjo.

Tim Strategis Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK), juga rutin melakukan evaluasi dan merumuskan kebijakan di setiap instansi pemerintah. Tujuannya demi menurunkan potensi terjadinya tindak korupsi. Apalagi mengingat penghasilan PNS terbilang sangat mencukupi memenuhi kebutuhan hidup.

"Saya kira seperti itu ya, dibandingkan dengan teman-teman yang bekerja di sektor swasta," cetus Tjahjo.

Kendati demikian, dia mengungkapkan, produktivitas PNS semakin membaik dalam tiga tahun terakhir dalam memahami soal area rawan korupsi. Termasuk juga perihal demokrasi, atau intoleransi.

Kemudian, Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Omar Sjarif Hiariej berpendapat bahwa sebenarnya pelaporan terkait gratifikasi dari kalangan ASN sendiri meningkat signifikan. Ini menunjukkan bahwa selain ada kesadaran, mereka juga sudah memiliki kemauan untuk mengambil tindakan ketika menerima sesuatu dari pihak lain yang tidak seharusnya diterima.

Baca Juga:  Luncurkan Minyakita, Pedagang Pasar Minta Zulhas Tak Hanya Lip Service

"Dalam kurun waktu lima tahun terakhir ,sebenarnya pelaporan gratifikasi itu amat signifikan, selalu meningkat," jelas Eddy.

Jumlahnya sendiri, lanjut Eddy, cukup fantastis. Yang dilaporkan ke Ditjen Gratifikasi KPK bisa mencapai ratusan miliar per tahun. Namun sebagian besar masih berupa petty corruption atau korupsi skala kecil saja. Sementara pemerintah masih punya pekerjaan rumah di korupsi skala besar.

Eddy menjelaskan, korupsi skala besar lebih sulit karena biasanya melibatkan tiga pihak. Selain ASN dan pebisnis, juga ada kekuatan politik di sana. Karena itui, pengawasan oleh internal pemerintahan seperti Inspektorat tidak bisa berjalan sendiri. Harus bekerja sama dengan aparat penegak hukum.

Hal serupa juga disampaikan oleh Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng. Inspektorat masih berada di bawah kepala daerah secara struktural. Padahal praktik korupsi melibatkan kekuasaan politik, dalam hal ini bisa saja dilakukan kepala daerah itu sendiri. Sehingga untuk bisa mengawasi secara optimal, seharusnya Inspektorat bersifat independen dan tidak berada di bawah kepala daerah secara struktural.

"Sayangnya memang keberadaan Inspektorat ini masih butuh banyak penguatan dan pembenahan dari sisi kedudukan dan kewenangan serta anggarannya," terang Robert. Inspektorat harus menerima pembiayaan yang cukup. Namun, Robert menilai jika dilihat dari profil anggaran, jumlah untuk Inspektorat masih sangat kecil. Padahal pihak yang harus diawasi sangat banyak.(deb/shf/jpg)

 

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Temuan Lembaga Survei Indonesia (LSI) terhadap persepsi aparatur sipil negara (ASN) dalam hal korupsi menunjukkan tren yang menggembirakan. Namun jumlah laporan ke bagian pengawas ternyata masih rendah. Ini dianggap sebagai bagian yang harus dievaluasi oleh pemerintah, khususnya Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB).

Direkrut LSI Djayadi Hanan menjelaskan, mayoritas PNS yang terlibat dalam survei ini memang mengatakan tidak pernah melihat langsung praktik korupsi seperti suap dan gratifikasi di lingkungan kerja mereka. Namun ada 20 persen yang mengatakan pernah melihat atau setidaknya tahu ada kejadian itu.

- Advertisement -

"Ada 20 persen yang mengatakan itu terjadi dan angka itu cukup banyak," jelas Djayadi dalam konferensi pers, Ahad (18/4).

Selain itu, berdasarkan temuan LSI juga, sebanyak 26 persen PNS mengakui baha instansi tempat mereka bekerja berpotensi terjadi korupsi. Dilihat dari segi pendapatan, kesadaran ini banyak dimiliki oleh PNS yang berpendapatan menengah ke atas. Semakin tinggi golongan PNS, semakin mereka memiliki pengetahuan dan kesadaran adanya potensi korupsi tersebut.

- Advertisement -

Kendati demikian, masih cukup banyak juga PNS yang memilih untuk tidak melapor ke bagian pengawasan jika mengetahui adanya praktik korupsi seperti suap dan gratifikasi. 70 persen menyatakan mungkin akan melapor, sedang sekitar 23,8 persen memilih untuk tidak melapor.

Djayadi menjelaskan, alasan terbesar untuk tidak melapor adalah karena takut terkena masalah. Kemudian belum pernah melihat ada sesama rekannya yang melapor, khawatir proses berbelit-belit, hingga khawatir laporan tidak akan ditindaklanjuti. Sementara dari sisi publik sendiri, masih banyak yang belum mengetahui kanal untuk melapor jika menemukan praktik korupsi di kalangan ASN, khususnya bagian pelayanan publik.

Baca Juga:  Rusia Kepung Ukraina dari Berbagai Sisi

Padahal pemerintah telah menyiapkan kanal seperti Layanan Aspirasi Pengaduan Online Rakyat (LAPOR).

"Ini bisa menjadi evaluasi bagi pemerintah apakah ada persoalan sosialisasi atau lainnya. Makin banyak rakyat tahu, makin banyak rakyat berperan dalam proses reformasi birokrasi," jelas Djayadi.

Menteri PAN-RB Tjahjo Kumolo mengakui bahwa tindak korupsi masih berkeliaran di lingkungan PNS. Setiap bulannya, selalu ada saja PNS yang di non-aktifkan jabatannya sembari menunggu proses hukum karena terbukti bersalah. Sebagian lainnya, langsung dipecat.

"Jujur kami tiap bulan 20-30 persen PNS harus kami berhentikan dengan tidak hormat," ungkapnya.

Dia menyadari, permasalahan itu harus segera ditangan dengan cepat. Supaya, tidak ada lagi oknum-oknum di lingkungan pemerintahan yang merugikan negara. Ke depannya, Tjahjo berjanji akan melakukan perbaikan. Di antaranya, dengan meningkatkan profesionalitas PNS dan mewajibkan mereka untuk melaporkan kekayaannya setiap tahun. Serta, fokus pada pembangunan zona integritas pada unit kerja layanan.

"Sistem ini harus makin kuat supaya ke depannya melahirkan orang yang konsisten di bidangnya masing-masing. Dan semoga hasil survei ini bisa jadi referensi ke depannya," tutur Tjahjo.

Tim Strategis Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK), juga rutin melakukan evaluasi dan merumuskan kebijakan di setiap instansi pemerintah. Tujuannya demi menurunkan potensi terjadinya tindak korupsi. Apalagi mengingat penghasilan PNS terbilang sangat mencukupi memenuhi kebutuhan hidup.

"Saya kira seperti itu ya, dibandingkan dengan teman-teman yang bekerja di sektor swasta," cetus Tjahjo.

Kendati demikian, dia mengungkapkan, produktivitas PNS semakin membaik dalam tiga tahun terakhir dalam memahami soal area rawan korupsi. Termasuk juga perihal demokrasi, atau intoleransi.

Kemudian, Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Omar Sjarif Hiariej berpendapat bahwa sebenarnya pelaporan terkait gratifikasi dari kalangan ASN sendiri meningkat signifikan. Ini menunjukkan bahwa selain ada kesadaran, mereka juga sudah memiliki kemauan untuk mengambil tindakan ketika menerima sesuatu dari pihak lain yang tidak seharusnya diterima.

Baca Juga:  Sayyed Abubakar dan Reni Teken Piagam Komitmen Selamatkan Lingkungan

"Dalam kurun waktu lima tahun terakhir ,sebenarnya pelaporan gratifikasi itu amat signifikan, selalu meningkat," jelas Eddy.

Jumlahnya sendiri, lanjut Eddy, cukup fantastis. Yang dilaporkan ke Ditjen Gratifikasi KPK bisa mencapai ratusan miliar per tahun. Namun sebagian besar masih berupa petty corruption atau korupsi skala kecil saja. Sementara pemerintah masih punya pekerjaan rumah di korupsi skala besar.

Eddy menjelaskan, korupsi skala besar lebih sulit karena biasanya melibatkan tiga pihak. Selain ASN dan pebisnis, juga ada kekuatan politik di sana. Karena itui, pengawasan oleh internal pemerintahan seperti Inspektorat tidak bisa berjalan sendiri. Harus bekerja sama dengan aparat penegak hukum.

Hal serupa juga disampaikan oleh Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng. Inspektorat masih berada di bawah kepala daerah secara struktural. Padahal praktik korupsi melibatkan kekuasaan politik, dalam hal ini bisa saja dilakukan kepala daerah itu sendiri. Sehingga untuk bisa mengawasi secara optimal, seharusnya Inspektorat bersifat independen dan tidak berada di bawah kepala daerah secara struktural.

"Sayangnya memang keberadaan Inspektorat ini masih butuh banyak penguatan dan pembenahan dari sisi kedudukan dan kewenangan serta anggarannya," terang Robert. Inspektorat harus menerima pembiayaan yang cukup. Namun, Robert menilai jika dilihat dari profil anggaran, jumlah untuk Inspektorat masih sangat kecil. Padahal pihak yang harus diawasi sangat banyak.(deb/shf/jpg)

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari