BANGLADESH (RIAUPOS.CO) – Api melahap empat kamp pengungsian di Cox’s Bazar, Bangladesh, Senin (22/3). Awalnya api muncul di salah satu dari 34 kamp yang dihuni para pengungsi Rohingya tersebut. Sayangnya, pemadaman yang lambat membuat si jago merah sulit terkendali sehingga merambat ke tiga kamp lain. Api cepat membesar karena hampir seluruh hunian terbuat dari bambu dan terpal.
Pemadam kebakaran kesulitan untuk mengendalikan api. Kebakaran berlangsung hingga 10 jam. Menjelang tengah malam, api baru padam. Kamp di Coz’s Bazar sudah beberapa kali terbakar, tapi ini adalah yang terbesar.
”Kami tidak pernah melihat kebakaran seperti ini sebelumnya di kamp. Ini sangat besar dan merusak,” ujar perwakilan Badan Pengungsi PBB di Bangladesh Johannes Van der Klaauw, Selasa (23/3) seperti dikutip Agence France-Presse.
Dia mengungkapkan, ada 15 orang tewas dan 560 lainnya luka-luka. Sekitar 400 orang hilang. Belum diketahui apakah mereka tewas atau mengungsi ke kamp lain. Luas kamp di Cox’s Bazar mencapai 3.200 hektare. Sulit mengidentifikasi pergerakan orang satu per satu. Ada sekitar satu juta warga muslim Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar dan tinggal di sana sejak 2017.
Kebakaran itu juga membuat 10 ribu selter rata dengan tanah. Setidaknya 50 ribu pengungsi tak lagi punya tempat tinggal. Refugees International mengungkapkan bahwa banyak anak yang hilang.
”Warga lari menyelamatkan diri begitu api menyebar dengan cepat. Banyak yang terluka dan saya melihat setidaknya empat jenazah,” ujar Aminul Haq, salah seorang pengungsi yang berhasil selamat. Inspektur Polisi Gazi Salahuddin menyatakan bahwa api muncul setelah tabung gas untuk memasak meledak.
Pengungsi Rohingya berada dalam posisi yang rentan. Mereka tinggal dengan kondisi yang memprihatinkan. Ada dugaan kesengajaan dalam kebakaran di kamp. Sebab, kebakaran terjadi beberapa kali. Kebakaran Senin itu adalah yang ketiga dalam empat hari. Dua lainnya berskala kecil.
”Frekuensi kebakaran di kamp-kamp itu terlalu kebetulan, terutama ketika hasil penyelidikan sebelumnya atas insiden serupa tidak diketahui dan ia terus berulang,” cuit Juru Kampanye Amnesty International di Asia Selatan Saad Hammadi.
Di Amerika Serikat, pemerintahan Presiden Joe Biden menjadi sorotan. Itu terjadi setelah muncul foto-foto kondisi pusat penampungan anak di Donna, Texas. Mereka berkumpul di satu tenda besar dan tidur di bawah.
Padahal, pada musim pandemi seperti ini, mereka seharusnya menjaga jarak. BBC melaporkan tempat itu menampung sekitar seribu anak imigran. Itu adalah foto-foto pertama kondisi tempat tersebut sejak Biden menjadi orang nomor satu di AS.
Beberapa kritikus menyalahkan Biden atas lonjakan imigran ilegal ke AS. Biden telah mencabut kebijakan pendahulunya, Donald Trump. Di era Trump, anak-anak yang menyeberang ke AS tanpa orang tuanya akan diusir sejak di perbatasan. Biden memilih memproses mereka dan menempatkannya di keluarga yang memberikan sponsor di AS. Biasanya ada paman atau bibi mereka yang tiba lebih dulu.
Juru Bicara Gedung Putih Jen Psaki menyatakan, pemerintah saat ini berusaha menyediakan akomodasi bagi anak-anak itu. Yaitu, tempat mereka bisa mengakses fasilitas kesehatan, pendidikan, dan hukum.
”Mengirim mereka kembali, dalam pandangan kami, bukanlah pilihan yang tepat,” tegasnya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Eka G Putra