JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Meski sempat menuai kritik, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap melaksanakan Peraturan Komisi No 7/2020 tentang Organisasi dan Tata Kelola KPK (Ortaka). Kemarin (5/1), pimpinan mengangkat dan melantik 38 pejabat struktural sebagai tindaklanjut dari aturan yang diklaim turunan dari UU No 19/2019 tentang KPK itu.
Di level kedeputian, pimpinan KPK melantik dua pejabat. Yakni Pahala Nainggolan sebagai deputi pencegahan dan monitoring serta Irjen Karyoto yang mengisi kursi deputi penindakan dan eksekusi. Sebelum terbitnya Perkom Ortaka, dua bidang kerja strategis KPK itu bernama kedeputian pencegahan dan kedeputian penindakan.
Seperti diberitakan, KPK merombak susunan organisasi lewat Perkom No 7/2020. Di aturan itu, KPK mengganti nomenklatur jabatan dan menambah beberapa unit kerja baru. Misal, Deputi Penindakan diganti Deputi Penindakan dan Eksekusi. Sementara unit baru di antaranya Kedeputian Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat serta Kedeputian Bidang Koordinasi dan Supervisi.
KPK menyebut organisasi baru itu untuk mengakselerasi pemberantasan korupsi melalui tiga pendekatan. Yakni, pendekatan preventif melalui pendidikan antikorupsi. Kemudian perbaikan sistem atau kebijakan dengan pencegahan. Dan terakhir penindakan untuk memberi efek jera.
"Ketiga pendekatan itu dilakukan secara paralel dan terkait satu dengan lainnya," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menjelaskan Perkom Ortaka yang baru beberapa waktu lalu.
Secara umum, Perkom Ortaka itu hanya menambah 7 jabatan baru. Meliputi 6 jabatan struktural dan 1 jabatan nonstruktural. Pelantikan 38 pejabat struktural kemarin sekaligus mengukuhkan posisi 9 jenderal polisi aktif di lingkungan KPK. Di posisi pucuk ada Komjen Firli Bahuri yang menjabat ketua KPK. Kemudian Irjen Karyoto yang menduduki posisi deputi bidang penindakan dan eksekusi. Berikutnya Brigjen Setyo Budiyanto sebagai direktur penyidikan.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menyebut pimpinan KPK kembali menciptakan kontroversi karena mengangkat dan melantik 38 pejabat struktural itu. Menurut dia, landasan hukum yang digunakan sebagai dasar perombakan susunan organisasi tersebut bermasalah.
"Pelantikan itu dapat dinilai sebagai tindakan penyalahgunaan wewenang pimpinan," ujarnya.
Kurnia menyebut perubahan regulasi KPK menjadi UU 19/2019 tidak diikuti dengan pergantian substansi pasal 26 dalam UU 30/2002. Artinya, nomenklatur struktur KPK mestinya tetap merujuk pada pasal 26 UU 30/2002 sebagaimana telah diubah dengan UU 19/2019. Yaitu, bidang pencegahan, penindakan, informasi dan data, serta pengawasan internal dan pengaduan masyarakat.
Nomenklatur baru KPK, kata dia, juga bertolak belakang dengan konsep reformasi birokrasi yang menitikberatkan pada efisiensi.
"Di struktur lama KPK hanya memiliki 4 kedeputian dengan 12 direktorat, tapi setelah berlakunya Perkom yang baru, struktur KPK membengkak menjadi 5 kedeputian dengan 21 direktorat," ujarnya.
Kurnia juga menilai pelantikan pejabat struktural baru itu juga dapat dipandang sebagai upaya pimpinan KPK untuk mengikis independensi kelembagaan. Itu seiring adanya tren pejabat struktural yang diisi oleh perwira kepolisian. "Akibat lain dari penggemukkan ini adalah melambatnya kinerja KPK," imbuh dia.(tyo/jpg)