JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron menyampaikan, kelemahan sistem verifikasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menjadi penyebab defisit BPJS. Menurutnya, masih terdapat kelemahan pada sistem verifikasi BPJS kesehatan.
Hasil kajian KPK, BPJS mengalami defisit Rp12,2 triliun pada 2018. Ghufron menegaskan, menaikan iuran BPJS bukan solusi jika inefisiensi masih tetap terjadi.
“Belum tentu dinaikkan iuran dapat menjadi solusi defisit BPJS,” kata Ghufron di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat (13/3).
Ghufron membeberkan, penyebab defisit Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan paduan antara permasalahan pada aspek penerimaan dan pengeluaran BPJS kesehatan. Dia menilai, BPJS Kesehatan tak efektif melakukan pembatasan pengguna jasa.
“Pembatasan manfaat yang ada cakupannya terlalu sempit, tidak dapat menjadi instrumen untuk pengendalian biaya dalam pengelolaan JKN dan memberikan dampak negatif,” ucap Ghufron.
Selain itu, KPK menyebut permasalahan juga ada pada peserta mandiri. Ghufron menyebut sejumlah peserta menggunakan layanan JKN tapi menunggak iuran.
“Ada permasalahan moral hazard dan adverse selection pada peserta mandiri. Sejumlah peserta menggunakan layanan JKN kemudian tidak membayar iuran,” papar Ghufron.
Pemborosan pembayaran pada standar rumah sakit juga menjadi penyebab terjadinya defisit. Ghufron lantas mencontohkan, ada rumah sakit yang mengklaim pembayaran tak sesuai dengan layanan yang diberikan.
“Pembayaran pasien yang dirawat di ruang perawatan kelas 3, namun pihak rumah sakit mengklaim sebagai pembayaran ruang kelas 2. Pembayarannya jadi lebih tinggi,” sesal Ghufron.
Sementara itu, Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan memberikan enam rekomendasi kepada Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan BPJS Kesehatan untuk menutupi defisit. KPK mengharapkan, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mempercepat Pedoman Nasional Praktik Kedokteran atau PNPK esensial.
“Prioritas penyelesaian PNPK untuk penyakit yang berisiko dan biaya tinggi serta prioritas program. Sosialisasi PNPK pada fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, serta institusi pendidikan,” ucap Pahala.
Lembaga antirasuah, lanjut Pahala, meminta pemerintah untuk mengkaji opsi pembatasan manfaat untuk pelayanan menghabiskan biaya tinggi. Selain itu, KPK juga meminta pemerintah agar membatasi anggaran penyakit katastropik, serta melakukan pembayaran sesuai dengan kinerja rumah sakit.
KPK juga meminta Kemenkes melakukan turun biaya dengan peserta. Pahala mengatakan, untuk peserta yang tergolong mampu, maka pemerintah bisa mewajibkan membayar 10 persen dari biaya. Dia menyebut cara ini bisa menghemat hingga Rp2,2 triliun.
“Dari total tagihan peserta mandiri sebesar Rp22 triliun di tahun 2018, akan terjadi penghematan sebesar Rp2,2 triliun,” beber Pahala.
Bahkan, KPK meminta Kemenkes dan pemerintah daerah untuk mengevaluasi penetapan kelas rumah sakit. Menurutnya, Kemenkes harus melakukan perbaikan regulasi terkait dengan klasifikasi dan perizinan rumah sakit.
“Sebanyak empat dari enam rumah sakit tidak sesuai kelas dan mengakibatkan pemborosan pembayaran klaim sebesar Rp33 miliar pertahun,” sesalnya.
Tak hanya itu, KPK juga mengimbau pemerintah untuk menindak kecurangan yang terjadi dalam klaim BPJS. Jika nantinya fraud sudah terjadi berulang ulang, maka pemerintah bisa melakukan pemutusan kontrak kerja sama. “Namun bila terjadi secara terus menerus, baru ditindak secara pidana,” pungkasnya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Rinaldi