Dirut Perusahaan Ini Didakwa Rugikan Negara Rp63 Miliar di Kasus Korupsi Bakamla

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Direktur Utama PT Compact Microwave Indonesia Teknologi (PT CMI Teknologi) Rahardjo Pratjihno didakwa memperkaya diri sendiri dan orang lain terkait proyek Backbone Coastal Surveillance System di Badan Keamanan Laut (Bakamla) pada tahun anggaran 2016. Perbuatan Rahardjo dinilai merugikan keuangan negara sebesar Rp63.829.008.006,92.

Dalam korupsi proyek tersebut, Rahardjo Pratjihno didakwa memperkaya diri sendiri senilai Rp60.329.008.006,92 dan Ali Fahmi alias Fahmi Habsy sebesar Rp3.500.000.000. Fahmi Habsy merupakan Staf Khusus bidang perencanaan dan keuangan yang diangkat Arie Soedewo selaku Kepala Bakamla.

- Advertisement -

“Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, yaitu memperkaya terdakwa selaku pemilik PT CMI sebesar Rp60.329.008.006, dan memperkaya Ali Fahmi alias Fahmi Al Habsyi sebesar Rp3,5 miliar yang dapat merugikan keuangan negara sebesar Rp63.829 juta,” kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Takdir Suhan saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (8/6/2020).

Perbuatan itu, dilakukan bersama-sama dengan Bambang Udoyo selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) pada Bakamla RI, Leni Marlina selaku ketua unit pengadaan Bakamla RI dan Juli Amar Ma’ruf selaku anggota atau koordinator ULP Bakamla RI pada Maret 2016 sampai Desember.

- Advertisement -

Jaksa menjelaskan, Fahmi Habsy disebut sebagai staf khusus di Bakamla. Nama Fahmi juga pernah disebut dalam sidang terdakwa sebelumnya terkait kasus Bakamla.

Rahardjo sendiri merupakan tiga tersangka baru yang ditetapkan KPK bersama Ketua Unit Layanan dan Pengadaan Leni Marlena, anggota Unit Layanan Pengadaan BCSS Juli Amar Ma’ruf, dan Direktur Utama PT CMI Teknologi (CMIT) Rahardjo Pratjihno selaku rekanan BCSS Bakamla.

Jaksa menjelaskan, kasus ini berawal pada 2016 saat Bambang Udoyo selaku Direktur Data Informasi diangkat menjadi pejabat pembuat komitmen (PPK) kegiatan peningkatan pengelolaan informasi, hukum, dan kerja sama keamanan dan keselamatan laut, serta Leni dan Juli diangkat menjadi Ketua dan anggota ULP di Bakamla.

Pada tahun yang sama, ada usulan anggaran pengadaan BCSS yang terintegrasi dengan Bakamla Integrated Information System (BIIS) senilai Rp400 miliar yang bersumber dari APBN-P 2016. Kemudian, ULP Bakamla mengumumkan lelang BCSS dengan pagu anggaran Rp400 miliar dan nilai total HPS sebesar Rp399,8 miliar dan PT CMIT, kemudian dinyatakan sebagai pemenang lelang pada September 2016.

Jaksa menyebut, terjadi pemotongan anggaran oleh Kemenkeu pada Oktober 2016. Meski anggaran yang ditetapkan oleh Kemenkeu untuk pengadaan ini kurang dari nilai HPS pengadaan, ULP Bakamla tidak melakukan lelang ulang.

“Hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6 Perpres Nomor 54 tahun 2010 yang mengatur tentang prinsip-prinsip pengadaan dan tentang etika pengadaan,” ujar Jaksa.

Bambang Udoyo selaku PPK dan Rahardjo selaku Dirut PT CMIT meneken kontrak dengan nilai Rp170,57 miliar pada 18 Oktober 2016. Kontrak itu disebut bersumber dari APBN-P 2016 dan berbentuk lump sum.

Adapun total pembayaran yang telah dilakukan Bakamla RI kepada PT CMI Teknologi untuk pekerjaan pengadaan backbone setelah dipotong PPN adalah sebesar Rp134.416.720.073. Menurut Jaksa, dari jumlah tersebut kemudian ditransfer secara bertahap ke rekening BNI milik PT CMIT.

Jaksa membeberkan, pencairan uang yang diterima oleh PT CMI Teknologi sebesar Rp134.416.720.073. Namun yang digunakan untuk pembiayaan pelaksanaan pekerjaan hanya sebesar Rp70.587.712.066,08 sehingga terdapat selisih sebesar Rp63.829.008.006,92 yang merupakan keuntungan dari pengadaan backbone di Bakamla. Adapun nilai keuntungan tersebut dikurangi dengan pemberian kepada Ali Fahmi sebesar Rp3.500.000.000.

“Sehingga terdakwa selaku pemilik PT CMI Teknologi mendapatkan penambahan kekayaan sebesar Rp60.329.008.006,92,” beber jaksa.

Hardjono Pratjihno didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sumber: Jawapos.com

Editor: Eka G Putra

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Direktur Utama PT Compact Microwave Indonesia Teknologi (PT CMI Teknologi) Rahardjo Pratjihno didakwa memperkaya diri sendiri dan orang lain terkait proyek Backbone Coastal Surveillance System di Badan Keamanan Laut (Bakamla) pada tahun anggaran 2016. Perbuatan Rahardjo dinilai merugikan keuangan negara sebesar Rp63.829.008.006,92.

Dalam korupsi proyek tersebut, Rahardjo Pratjihno didakwa memperkaya diri sendiri senilai Rp60.329.008.006,92 dan Ali Fahmi alias Fahmi Habsy sebesar Rp3.500.000.000. Fahmi Habsy merupakan Staf Khusus bidang perencanaan dan keuangan yang diangkat Arie Soedewo selaku Kepala Bakamla.

“Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, yaitu memperkaya terdakwa selaku pemilik PT CMI sebesar Rp60.329.008.006, dan memperkaya Ali Fahmi alias Fahmi Al Habsyi sebesar Rp3,5 miliar yang dapat merugikan keuangan negara sebesar Rp63.829 juta,” kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Takdir Suhan saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (8/6/2020).

Perbuatan itu, dilakukan bersama-sama dengan Bambang Udoyo selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) pada Bakamla RI, Leni Marlina selaku ketua unit pengadaan Bakamla RI dan Juli Amar Ma’ruf selaku anggota atau koordinator ULP Bakamla RI pada Maret 2016 sampai Desember.

Jaksa menjelaskan, Fahmi Habsy disebut sebagai staf khusus di Bakamla. Nama Fahmi juga pernah disebut dalam sidang terdakwa sebelumnya terkait kasus Bakamla.

Rahardjo sendiri merupakan tiga tersangka baru yang ditetapkan KPK bersama Ketua Unit Layanan dan Pengadaan Leni Marlena, anggota Unit Layanan Pengadaan BCSS Juli Amar Ma’ruf, dan Direktur Utama PT CMI Teknologi (CMIT) Rahardjo Pratjihno selaku rekanan BCSS Bakamla.

Jaksa menjelaskan, kasus ini berawal pada 2016 saat Bambang Udoyo selaku Direktur Data Informasi diangkat menjadi pejabat pembuat komitmen (PPK) kegiatan peningkatan pengelolaan informasi, hukum, dan kerja sama keamanan dan keselamatan laut, serta Leni dan Juli diangkat menjadi Ketua dan anggota ULP di Bakamla.

Pada tahun yang sama, ada usulan anggaran pengadaan BCSS yang terintegrasi dengan Bakamla Integrated Information System (BIIS) senilai Rp400 miliar yang bersumber dari APBN-P 2016. Kemudian, ULP Bakamla mengumumkan lelang BCSS dengan pagu anggaran Rp400 miliar dan nilai total HPS sebesar Rp399,8 miliar dan PT CMIT, kemudian dinyatakan sebagai pemenang lelang pada September 2016.

Jaksa menyebut, terjadi pemotongan anggaran oleh Kemenkeu pada Oktober 2016. Meski anggaran yang ditetapkan oleh Kemenkeu untuk pengadaan ini kurang dari nilai HPS pengadaan, ULP Bakamla tidak melakukan lelang ulang.

“Hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6 Perpres Nomor 54 tahun 2010 yang mengatur tentang prinsip-prinsip pengadaan dan tentang etika pengadaan,” ujar Jaksa.

Bambang Udoyo selaku PPK dan Rahardjo selaku Dirut PT CMIT meneken kontrak dengan nilai Rp170,57 miliar pada 18 Oktober 2016. Kontrak itu disebut bersumber dari APBN-P 2016 dan berbentuk lump sum.

Adapun total pembayaran yang telah dilakukan Bakamla RI kepada PT CMI Teknologi untuk pekerjaan pengadaan backbone setelah dipotong PPN adalah sebesar Rp134.416.720.073. Menurut Jaksa, dari jumlah tersebut kemudian ditransfer secara bertahap ke rekening BNI milik PT CMIT.

Jaksa membeberkan, pencairan uang yang diterima oleh PT CMI Teknologi sebesar Rp134.416.720.073. Namun yang digunakan untuk pembiayaan pelaksanaan pekerjaan hanya sebesar Rp70.587.712.066,08 sehingga terdapat selisih sebesar Rp63.829.008.006,92 yang merupakan keuntungan dari pengadaan backbone di Bakamla. Adapun nilai keuntungan tersebut dikurangi dengan pemberian kepada Ali Fahmi sebesar Rp3.500.000.000.

“Sehingga terdakwa selaku pemilik PT CMI Teknologi mendapatkan penambahan kekayaan sebesar Rp60.329.008.006,92,” beber jaksa.

Hardjono Pratjihno didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sumber: Jawapos.com

Editor: Eka G Putra

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya