Hari kelima penyakit home sick muncul. Mulai terasa bosan, benar-benar memerlukan rasa sosial berinteraksi dengan dunia luar. Jenuh mengurung diri meski ruang dilengkapi tempat tidur nyaman dan AC lengkap. Bak burung dalam sangkar emaslah ceritanya.
Catatan: SAID MUFTI
SEDARI siang kemarin pikiran jauh menerawang, rindu anak istri. Banyak teman yang menangkap lalu mencoba menghibur dengan berbagai macam cara. Video call bareng ataupun mendatangi saya dengan gunakan drone di pinggir jendela andalan di kamar saya. Namun ini tetap saja penjara, ya penjara kesehatan.
Saya selalu dinasihati jangan dibawa mikir, bawa santai. Dengan berbagai macam cara saya mencoba untuk membuat diri senyaman mungkin, namun harus diakui isolasi itu tak enak.
Nggak nyaman, nggak bebas. Hingga malam masih kepikiran bagaimana hasil tes darah itu bisa cepat memberi hasil agar yang terisolasi tak terbunuh sepi.
Pagi itu saya kembali dijadwalkan untuk tes darah dan rotgen jantung. Mudah-mudahan Allah kasi hasil yang bisa membuat hati ini bahagia. Ingin rasanya check out lebih awal dari hotel perawatan kesehatan ini karena bagaimanapun hidup manusia adalah sosial bukan isolasi.
Pagi itu sejumlah rencana dijadwalkan di antaranya pengambilan darah lalu foto rotgen. Sarapan pagi sudah ada di meja, jujur setiap lihat kotak itu naik selera makan ke tekak. Seenak apapun makanan rumah sakit pasti susah tertelan dan asumsi makanan buat pasien Covid-19 hanya terbungkus kotak tanpa piring, mungkin untuk sekali pakai lalu buang. Cleaning service dengan atribut APD-nya sedang membersihkan ruangan. Seperti hari lalu dia selalu menyapa ramah bahkan sempat ngobrol panjang.
Maklumlah sebagai perawat dia pasti dibekali untuk ramah kepada pasien. Di hari kedua lalu, bahkan bercerita bahwasanya dia mengambil keputusan untuk menjadi petugas kebersihan meskipun sebenarnya dia seorang bidan. Saya tidak tahu namanya, tapi yang jelas dia mengambil kesempatan kerja di kondisi merebaknya virus ini. Guna menghidupi satu putri kecilnya karena dari penjelasannya dia dan suaminya berpisah setelah keluarga laki-laki ingin anaknya kembali ke tangan mereka. Semua cara mereka lakukan termasuk dengan cara guna-guna. Saya cuma dengarkan saja, namun percakapan nyambung ketika dia katakan asalnya dari Langsa, Aceh Timur. Satu jam dari kampung mertua saya.
Handphone saya berbunyi. Humas rumah sakit menelepon bahwasanya hari itu saya dipindahkan karena ruangan akan diperbaiki untuk pasien yang dengan perawatan lebih gawat. Sampai harus dibantu dengan alat pernapasan. Saya pun mulai kemas barang di kamar, untuk segera pindah ke ruang baru. Pakaian khusus dari plastik disiapkan untuk saya. Pindahnya ke lantai tiga dengan kamar yang lebih kecil namun seperti computer. Ini seperti diinstal ulang. Isi otak yang dipenuhi sudut-sudut ruangan lalu yang mulai bikin bosan, kini berganti dengan mengukur pandangan baru di setiap sudut kamar.
Kamar barunya tak besar, namun cukup nyaman dengan pemandangan di luar terlihat parkiran, paling tidak bisa melihat aktivitas kehidupan. Tak terasa sudah masuk hari ketujuh saya di isolasi di rumah sakit ini. Setelah hari ke-6 lalu harus menjalani pengambilan darah juga rotgen namun sampai siang itu saya belum mendapatkan hasilnya. Saya masih juga menunggu atas keputusan resmi dari dokter juga rumah sakit.
Hari ketujuh ini kembali saya melakukan tes swab. Hidung kembali dicongkel-congkel dengan alat. Demikian juga dengan tenggorokan saya. Dan esok di hari kedelapan kembali di-swab. Begitulah kondisi saya dalam ruangan. Berbeda dengan kondisi anak dan istri di rumah. Mereka masih tertahan dengan hanya menghabiskan masa dalam rumah saja. Kerinduan mereka akan nuansa sekolah kadang mereka tunjukkan dengan beragam pertanyaan kapan wabah ini berakhir. Itu belum lagi dengan kondisi sosial di mana lingkungan tempat kami tinggal bahkan berita dirawatnya saya berembus hingga jauh. Bahkan saya dikabarkan positif. Begitu kejamnya kabar-kabar angin yang memberi kabar bohong. Ditambah lagi orang-orang yang terlalu gampang menerima berita tanpa sumber bahkan menulis di medsos tanpa memikirkan dampak yang mereka akibatkan.
Istri jadi malas lagi keluar ketika ada beberapa tetangga bersegera menutup pintu ketika dia ingin keluar sejenak untuk membeli keperluan anak. Bagi kami jelas sudah tampak mana yang menjadi tetangga yang baik dan saling mendukung karena ini adalah wabah, tinggal menanti terkena saja bagi siapapun. Karena zona merah siapapun kini bergelar ODP di Pekanbaru. Begitu semestinya cara berpikir kita, namun sama seperti halnya hasil swab saya, pemberian stigma kepada masyarakat agar tak mengucilkan keluarga pasien. Sama telatnya bahkan tak sampai hingga ke masyarakat yang pola pikirnya agak terbelakang.
“Kepada anak dan istriku bersabarlah. Kita tak minta makan kepada mereka, nanti jika saja mereka merasakan apa yang kita rasa, baru mereka akan tahu,” pikirku.