Masyarakat Sabu Raijua harus kuat dan mandiri agar bisa berdaya. Orang-orang yang datang ke sana harus membantu menuju hal tersebut. Salah satu "orang luar" yang ikut bekerja keras ikut membantu memberdayakan mereka adalah Andi Rahmad Verdiyantoro.
Oleh Hary B Koriun
SUATU malam, setelah melaksanakan salat Tarawih di Masjid Annur, Seba, Sabu Barat, Senin, 6 Mei 2019, saya makan di warung makan ikan bakar Lamongan. Jaraknya tidak jauh dari masjid. Pas di seberangnya. Sedang asyik nonton televisi sambil menunggu pesanan, tiba-tiba duduk di sebelah saya seorang lelaki berkaca mata yang sedang menunggu pesanan. Dia asyik melihat layar smartphone yang dipegangnya. Ketika pesanan sudah datang, dia tetap asyik membalas pesan atau melihat-lihat media sosial.
Beberapa saat kemudian, saya menyapanya, mengajaknya makan. Dia tersentak dan tersenyum sambil mengatakan “monggo”. Itu bukan kosa kata bahasa Sabu. Itu bahasa Jawa yang berarti “mari” atau “silahkan”. Beberapa saat setelah itu, kami terlibat obrolan. Kami saling menanyakan kampung asal dan apa kegiatan di sini. Dan benar, dia memang bukan penduduk asli Sabu. Itu terlihat dari wajahnya dan logatnya yang “sangat Jawa”.
Setelah saling bertukar kontak, akhirnya kami sering berkomunikasi lewat pesan Whattsapp, dan kemudian beberapa kali bertemu. Saya juga sempat beberapa kali datang ke kantornya untuk mengirim e-mail, mengirim berita ke kantor di Riau Pos atau update berita sendiri di portal berita saya. Dan pada Rabu, 15 Mei 2019, kami bercerita tentang apa yang dikerjakannya di Sabu Raijua ini.
Namanya Andi Rahmad Verdyantoro. Dia lahir di Yogyakarta, 13 Februari 1978. Dia menamatkan SD hingga SMA di Yogyakarta. Lalu menyelesaikan sarjana Teknik Arsitektur di Universitas Widya Mataram, juga di Yogyakarta. Dia Pulau Sabu, dia adalah Koordinator SHEEP Indonesia, sebuah LSM kemanusiaan yang berdiri pada 30 April 2005. SHEEP adalah kepanjangan dari Society for Health, Education, Environment and Peace. LSM yang peduli tentang kesehatan masyarakat, pendidikan, lingkungan, dan perdamaian.
Namun cikal-bakalnya sebelumnya sudah dirancang sebagai respon saat tsunami menghantam Aceh di akhir tahun 2004. Setelah itu, SHEEP selalu ada di daerah bencana. Mereka masuk Sinabung saat erupsi tahun 2010, banjir besar di Pati (Jawa Tengah) tahun 2008, kemudian di Mentawai, Lombok, Banten, hingga ke Palu. Sabu Raijua memang tidak pernah terjadi bencana besar, tetapi kekeringan yang dahsyat saat musim kemarau setiap tahunnya, membuat SHEEP ada untuk membantu masyarakat.
Andi menjadi relawan dan turun langsung ke masyarakat saat masuk SHEEP dan ditempatkan di Aceh Tengah pada tahun 2013. Sejak tsunami, SHEEP memang berada di Aceh untuk membantu rekontruksi ulang Aceh pascatsunami. Namun sejak kuliah, sudah melakukan banyak kegiatan yang berhubungan langsung dengan masyarakat di Yogyakarta, termasuk saat gempa tersebut. Dia dikirim ke Sabu pada tahun 2015, pada program pertama SHEEP di daerah ini.
Keasyikan jadi relawan, Andi sampai lupa menikah. Dia baru menikah pada tahun 2017 dengan gadis yang juga temannya sesama kuliah, Kholis Ardiansyah. Mereka harus menjalani hubungan jarak jauh karena sang istri juga punya kesibukan dengan pekerjaannya di Yogyakarta.
“Sudah nikah telat, jarang ketemu pula,” kata Andi sambil tertawa.
Pada periode pertama SHEEP masuk Sabu Raijua (2015-2018), baru mampu menjadi pendamping masyarakat di dua kecamatan, yakni Sabu Tengah (di desa Jiwuwu dan Eimodake), dan di Sabu Liae (Desa Ledetalo dan Mehona). Di periode kedua (2018-2021), selain tetap ada di empat desa di dua kecamatan tersebut, juga ditambah empat desa lagi, yakni Desa Keliha di Kecamatan Sabu Timur, Desa Matei berada di Sabu Tengah dan dua desa lagi, Kotahawu dan Dainao di Sabu Liae.
Apa yang dilakukan Andi dan SHEEP di desa-desa tersebut?
Yang mereka lakukan adalah membuat program Building Resilient Community (BRC/Membangun Masyarakat Tangguh). Progam ini yang dilakukan di Kabupaten Aceh Timur dan Tampang, Mentawai, tiga kabupaten di Yogyakarta, dan Sabu Raijua. Juga membuat Program Emergency Respon di Lombok, Palu dan Banten.Tujuannya satu, yakni membantu masyarakat untuk bangkit dari persoalan berat yang membelit mereka. Kebanyakan memang setelah terjadi bencana alam. Tapi khusus di Sabu Raijua, program ini dibuat agar masyarakat mampu menguatkan diri sendiri dalam berbagai hal.