Minggu, 26 Oktober 2025
spot_img

Festival Seni “Serasa 39 Derajat” Gambarkan Suhu Panas Pekanbaru dan Luka Ekologinya

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) — Menuju kota metropolitan yang ramah seni dan lingkungan, Pekanbaru membutuhkan sentuhan kreatif sekaligus kesadaran ekologis dari warganya. Tanpa itu, kota ini bisa kehilangan identitasnya di masa depan.

Yayasan Sirih Merah Sikukeluang menghadirkan Festival Seni Media bertajuk “Serasa 39 Derajat” sebagai ruang refleksi atas hubungan manusia, seni, dan ekologi perkotaan. Festival ini menjadi puncak dari rangkaian program panjang yang didukung oleh Kementerian Kebudayaan RI, Dana Indonesiana, dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

Direktur Festival sekaligus Ketua Yayasan Gusmarian menjelaskan, program dimulai sejak April 2025 dengan empat tahap utama: Majelis Minda, Majelis Wicara, Majelis Cipta, dan ditutup dengan Majelis Akhir Pekan.
“Proses ini bukan sekadar ruang belajar, tapi juga ajang silaturahmi yang memunculkan kembali kebersamaan di tengah modernisasi kota,” ujarnya.

Tema “Serasa 39 Derajat” dipilih sebagai metafora krisis. Seperti tubuh yang demam di suhu 39 derajat, kota juga sedang berada di ambang batas: panas, sesak, dan butuh penanganan.
Krisis ini tidak hanya soal data lingkungan, tapi juga dirasakan langsung oleh tubuh dan kehidupan warga kota—mulai dari kabut asap, polusi udara, hingga tergerusnya ruang komunal dan hubungan sosial.

Festival yang digelar pada 29–31 Agustus 2025 di Aula Gurindam RRI Pekanbaru ini menampilkan pameran seni media, pertunjukan tari, musik, teater, hingga lokakarya interaktif. Acara dibuka oleh Kepala RRI Pekanbaru Drs Agung Prasatya Rosihan Umar, disaksikan para seniman, aktivis lingkungan, pelajar, dan mahasiswa.

Baca Juga:  Ketua TP PKK Riau Ajak Ibu Muda Imunisasi Lengkap Balitanya

Riau Pos yang hadir dalam acara ini menyaksikan sembilan karya instalasi yang menelusuri perjalanan kota lewat simbol sungai—dari hulu hingga hilir.
Setiap karya membawa pesan tentang keterhubungan manusia dengan ekologi dan identitas sosialnya. Selain pameran, tampil pula musisi dan kelompok seni seperti Semalam Saja, Hip Hop Pekanbaru, dan Limuno.

Dalam sesi lokakarya, pengunjung diajak membuat gelang dan bingkai dari tali paracord oleh Pekanbaru Art Market (PAM). Malam harinya, festival menghadirkan pemutaran film lokal The Last Boy Club karya Aby Kusdinar dan Surprise Film produksi Dali Budaya, dilanjutkan pertunjukan tari dan teater peserta Majelis Cipta.

Puncak acara ditutup dengan pembacaan teks reflektif “Catatan Refleksi Atas Luka Indonesia” oleh Gusmarian. Ia menegaskan, kesenian bukanlah hiasan, melainkan suara kritis dan ruang perlawanan terhadap ketimpangan sosial dan ekologis.

“Selama rakyat terus ditindas, seni tidak akan pernah berhenti. Ia akan terus menyuarakan kebenaran dan harapan,” tegasnya.

Gusmarian berharap, festival ini membuka ruang dialog yang lebih luas agar warga kembali melihat kota sebagai ruang hidup bersama, bukan sekadar tempat tinggal.

Baca Juga:  (Kurikulum) Sastra

“Seni menjadi medium yang mempertemukan warga dengan kotanya, sekaligus menumbuhkan imajinasi baru tentang masa depan Pekanbaru yang ramah dan manusiawi,” ujarnya.

Dalam pameran tersebut, berbagai genre seni tampil dengan warna berbeda:

  • Esa menampilkan Kamus Gen Z, refleksi gaya komunikasi anak muda masa kini.
  • Dini lewat Dialog Dalam Topeng menyingkap realitas sosial di balik gemerlap kota.
  • Rizki Nadi Pratama lewat tari P Zone mengkritik semrawutnya parkir kota.
  • Nopal dan Gilang lewat Anilena Bhandhanam menggambarkan beban generasi sandwich.
  • Riska Efriani lewat Jyoti mengisahkan manusia yang bergantung pada cahaya.
  • Dinda, Melly, Molly, dan Yelmi menghadirkan MonoPokan, permainan interaktif menjelajahi sejarah Pekanbaru.
  • Diah, Niam, dan Parlin dengan Amuk Api menampilkan jurus silat kontemporer yang terinspirasi dari kebakaran hutan Riau.

Festival ini juga menghadirkan diskusi publik “Meretas Frekuensi Lintas Generasi” yang menelusuri sejarah radio sebagai arsip budaya kota, serta diskusi “Belajar Nongkrong” bersama sejarawan Bayu Amde Winata dari Serat Arkais.
Lewat diskusi ini, peserta diajak menelusuri jejak sejarah Pekanbaru dari kampung Senapelan hingga menjadi kota metropolitan seperti hari ini.

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) — Menuju kota metropolitan yang ramah seni dan lingkungan, Pekanbaru membutuhkan sentuhan kreatif sekaligus kesadaran ekologis dari warganya. Tanpa itu, kota ini bisa kehilangan identitasnya di masa depan.

Yayasan Sirih Merah Sikukeluang menghadirkan Festival Seni Media bertajuk “Serasa 39 Derajat” sebagai ruang refleksi atas hubungan manusia, seni, dan ekologi perkotaan. Festival ini menjadi puncak dari rangkaian program panjang yang didukung oleh Kementerian Kebudayaan RI, Dana Indonesiana, dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

Direktur Festival sekaligus Ketua Yayasan Gusmarian menjelaskan, program dimulai sejak April 2025 dengan empat tahap utama: Majelis Minda, Majelis Wicara, Majelis Cipta, dan ditutup dengan Majelis Akhir Pekan.
“Proses ini bukan sekadar ruang belajar, tapi juga ajang silaturahmi yang memunculkan kembali kebersamaan di tengah modernisasi kota,” ujarnya.

Tema “Serasa 39 Derajat” dipilih sebagai metafora krisis. Seperti tubuh yang demam di suhu 39 derajat, kota juga sedang berada di ambang batas: panas, sesak, dan butuh penanganan.
Krisis ini tidak hanya soal data lingkungan, tapi juga dirasakan langsung oleh tubuh dan kehidupan warga kota—mulai dari kabut asap, polusi udara, hingga tergerusnya ruang komunal dan hubungan sosial.

Festival yang digelar pada 29–31 Agustus 2025 di Aula Gurindam RRI Pekanbaru ini menampilkan pameran seni media, pertunjukan tari, musik, teater, hingga lokakarya interaktif. Acara dibuka oleh Kepala RRI Pekanbaru Drs Agung Prasatya Rosihan Umar, disaksikan para seniman, aktivis lingkungan, pelajar, dan mahasiswa.

- Advertisement -
Baca Juga:  Terubuk, Simbol Kebudayaan dan Ekonomi

Riau Pos yang hadir dalam acara ini menyaksikan sembilan karya instalasi yang menelusuri perjalanan kota lewat simbol sungai—dari hulu hingga hilir.
Setiap karya membawa pesan tentang keterhubungan manusia dengan ekologi dan identitas sosialnya. Selain pameran, tampil pula musisi dan kelompok seni seperti Semalam Saja, Hip Hop Pekanbaru, dan Limuno.

Dalam sesi lokakarya, pengunjung diajak membuat gelang dan bingkai dari tali paracord oleh Pekanbaru Art Market (PAM). Malam harinya, festival menghadirkan pemutaran film lokal The Last Boy Club karya Aby Kusdinar dan Surprise Film produksi Dali Budaya, dilanjutkan pertunjukan tari dan teater peserta Majelis Cipta.

- Advertisement -

Puncak acara ditutup dengan pembacaan teks reflektif “Catatan Refleksi Atas Luka Indonesia” oleh Gusmarian. Ia menegaskan, kesenian bukanlah hiasan, melainkan suara kritis dan ruang perlawanan terhadap ketimpangan sosial dan ekologis.

“Selama rakyat terus ditindas, seni tidak akan pernah berhenti. Ia akan terus menyuarakan kebenaran dan harapan,” tegasnya.

Gusmarian berharap, festival ini membuka ruang dialog yang lebih luas agar warga kembali melihat kota sebagai ruang hidup bersama, bukan sekadar tempat tinggal.

Baca Juga:  (Kurikulum) Sastra

“Seni menjadi medium yang mempertemukan warga dengan kotanya, sekaligus menumbuhkan imajinasi baru tentang masa depan Pekanbaru yang ramah dan manusiawi,” ujarnya.

Dalam pameran tersebut, berbagai genre seni tampil dengan warna berbeda:

  • Esa menampilkan Kamus Gen Z, refleksi gaya komunikasi anak muda masa kini.
  • Dini lewat Dialog Dalam Topeng menyingkap realitas sosial di balik gemerlap kota.
  • Rizki Nadi Pratama lewat tari P Zone mengkritik semrawutnya parkir kota.
  • Nopal dan Gilang lewat Anilena Bhandhanam menggambarkan beban generasi sandwich.
  • Riska Efriani lewat Jyoti mengisahkan manusia yang bergantung pada cahaya.
  • Dinda, Melly, Molly, dan Yelmi menghadirkan MonoPokan, permainan interaktif menjelajahi sejarah Pekanbaru.
  • Diah, Niam, dan Parlin dengan Amuk Api menampilkan jurus silat kontemporer yang terinspirasi dari kebakaran hutan Riau.

Festival ini juga menghadirkan diskusi publik “Meretas Frekuensi Lintas Generasi” yang menelusuri sejarah radio sebagai arsip budaya kota, serta diskusi “Belajar Nongkrong” bersama sejarawan Bayu Amde Winata dari Serat Arkais.
Lewat diskusi ini, peserta diajak menelusuri jejak sejarah Pekanbaru dari kampung Senapelan hingga menjadi kota metropolitan seperti hari ini.

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) — Menuju kota metropolitan yang ramah seni dan lingkungan, Pekanbaru membutuhkan sentuhan kreatif sekaligus kesadaran ekologis dari warganya. Tanpa itu, kota ini bisa kehilangan identitasnya di masa depan.

Yayasan Sirih Merah Sikukeluang menghadirkan Festival Seni Media bertajuk “Serasa 39 Derajat” sebagai ruang refleksi atas hubungan manusia, seni, dan ekologi perkotaan. Festival ini menjadi puncak dari rangkaian program panjang yang didukung oleh Kementerian Kebudayaan RI, Dana Indonesiana, dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

Direktur Festival sekaligus Ketua Yayasan Gusmarian menjelaskan, program dimulai sejak April 2025 dengan empat tahap utama: Majelis Minda, Majelis Wicara, Majelis Cipta, dan ditutup dengan Majelis Akhir Pekan.
“Proses ini bukan sekadar ruang belajar, tapi juga ajang silaturahmi yang memunculkan kembali kebersamaan di tengah modernisasi kota,” ujarnya.

Tema “Serasa 39 Derajat” dipilih sebagai metafora krisis. Seperti tubuh yang demam di suhu 39 derajat, kota juga sedang berada di ambang batas: panas, sesak, dan butuh penanganan.
Krisis ini tidak hanya soal data lingkungan, tapi juga dirasakan langsung oleh tubuh dan kehidupan warga kota—mulai dari kabut asap, polusi udara, hingga tergerusnya ruang komunal dan hubungan sosial.

Festival yang digelar pada 29–31 Agustus 2025 di Aula Gurindam RRI Pekanbaru ini menampilkan pameran seni media, pertunjukan tari, musik, teater, hingga lokakarya interaktif. Acara dibuka oleh Kepala RRI Pekanbaru Drs Agung Prasatya Rosihan Umar, disaksikan para seniman, aktivis lingkungan, pelajar, dan mahasiswa.

Baca Juga:  Mempertahankan Eksistensi Budaya Melayu

Riau Pos yang hadir dalam acara ini menyaksikan sembilan karya instalasi yang menelusuri perjalanan kota lewat simbol sungai—dari hulu hingga hilir.
Setiap karya membawa pesan tentang keterhubungan manusia dengan ekologi dan identitas sosialnya. Selain pameran, tampil pula musisi dan kelompok seni seperti Semalam Saja, Hip Hop Pekanbaru, dan Limuno.

Dalam sesi lokakarya, pengunjung diajak membuat gelang dan bingkai dari tali paracord oleh Pekanbaru Art Market (PAM). Malam harinya, festival menghadirkan pemutaran film lokal The Last Boy Club karya Aby Kusdinar dan Surprise Film produksi Dali Budaya, dilanjutkan pertunjukan tari dan teater peserta Majelis Cipta.

Puncak acara ditutup dengan pembacaan teks reflektif “Catatan Refleksi Atas Luka Indonesia” oleh Gusmarian. Ia menegaskan, kesenian bukanlah hiasan, melainkan suara kritis dan ruang perlawanan terhadap ketimpangan sosial dan ekologis.

“Selama rakyat terus ditindas, seni tidak akan pernah berhenti. Ia akan terus menyuarakan kebenaran dan harapan,” tegasnya.

Gusmarian berharap, festival ini membuka ruang dialog yang lebih luas agar warga kembali melihat kota sebagai ruang hidup bersama, bukan sekadar tempat tinggal.

Baca Juga:  (Kurikulum) Sastra

“Seni menjadi medium yang mempertemukan warga dengan kotanya, sekaligus menumbuhkan imajinasi baru tentang masa depan Pekanbaru yang ramah dan manusiawi,” ujarnya.

Dalam pameran tersebut, berbagai genre seni tampil dengan warna berbeda:

  • Esa menampilkan Kamus Gen Z, refleksi gaya komunikasi anak muda masa kini.
  • Dini lewat Dialog Dalam Topeng menyingkap realitas sosial di balik gemerlap kota.
  • Rizki Nadi Pratama lewat tari P Zone mengkritik semrawutnya parkir kota.
  • Nopal dan Gilang lewat Anilena Bhandhanam menggambarkan beban generasi sandwich.
  • Riska Efriani lewat Jyoti mengisahkan manusia yang bergantung pada cahaya.
  • Dinda, Melly, Molly, dan Yelmi menghadirkan MonoPokan, permainan interaktif menjelajahi sejarah Pekanbaru.
  • Diah, Niam, dan Parlin dengan Amuk Api menampilkan jurus silat kontemporer yang terinspirasi dari kebakaran hutan Riau.

Festival ini juga menghadirkan diskusi publik “Meretas Frekuensi Lintas Generasi” yang menelusuri sejarah radio sebagai arsip budaya kota, serta diskusi “Belajar Nongkrong” bersama sejarawan Bayu Amde Winata dari Serat Arkais.
Lewat diskusi ini, peserta diajak menelusuri jejak sejarah Pekanbaru dari kampung Senapelan hingga menjadi kota metropolitan seperti hari ini.

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari