JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Ratusan mahasiswa dan masyarakat kembali menggelar aksi di depan Gedung DPR/MPR, Jumat (5/9). Mereka menuntut pelaksanaan 17+8 Tuntutan Rakyat yang dinilai belum dijawab secara serius oleh DPR dan pemerintah.
Aksi ini diikuti mahasiswa dari berbagai kampus, seperti ITB, UGM, Unpad, dan universitas lain. Mereka menyoroti pola komunikasi politik pemerintah yang dianggap manipulatif dan seremonial. Ketua Kabinet KM ITB, Farrel Faiz Firmansyah, menegaskan bahwa audiensi yang selama ini ditawarkan hanya sebatas simbol, tanpa solusi nyata.
Farrel menyebut mahasiswa kini berupaya membentuk gerakan independen agar tidak terjebak dalam kepentingan politik praktis. “Kami ingin membangun koalisi bersama masyarakat agar gerakan mahasiswa bisa menjadi aktor intelektual yang mengarahkan substansi pergerakan,” ujarnya.
Gerakan 17+8 turut mendapat dukungan dari tokoh publik dan influencer di media sosial. Kehadiran mereka diyakini memperluas gaung tuntutan mahasiswa. Namun, Farrel menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat sipil secara lebih luas agar aksi tidak hanya berbasis kampus.
Sementara itu, DPR mulai merespons sebagian tuntutan dengan melakukan evaluasi fasilitas dan hak keuangan anggota. Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, menyampaikan enam poin keputusan, antara lain penghentian tunjangan perumahan per 31 Agustus 2025, moratorium kunjungan kerja luar negeri, serta pemangkasan sejumlah fasilitas komunikasi dan transportasi.
Kendati demikian, peneliti Formappi, Lucius Karus, menilai langkah DPR belum cukup signifikan. Menurutnya, gaji bersih anggota DPR tetap besar, sekitar Rp65 juta per bulan, meski tunjangan perumahan dihapus. Ia juga mempertanyakan tunjangan komunikasi intensif senilai Rp20 juta per bulan yang dinilai tidak masuk akal.
Lucius berharap DPR berani melakukan evaluasi menyeluruh terhadap tunjangan lain yang dianggap tumpang tindih, seperti tunjangan jabatan dan kehormatan. “Pembenahan harus total, bukan sekadar pemangkasan simbolik,” tegasnya.
Aksi 17+8 sendiri dipandang sebagai awal konsolidasi baru antara mahasiswa dan masyarakat sipil. Mereka menuntut perbaikan institusi, termasuk pembentukan tim investigasi independen atas kasus tewasnya Affan Kurniawan serta pembebasan demonstran yang ditahan.