“Koperasi adalah usaha bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan ekonomi berdasarkan tolong-menolong.”
—Mohammad Hatta
KUTIPAN sederhana dari Bung Hatta ini menyimpan kedalaman makna: koperasi bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal martabat. Dalam koperasi, rakyat kecil belajar mengorganisasi diri, bersatu untuk keluar dari kungkungan pasar yang tak adil.
Kini, ketika Presiden terpilih Prabowo Subianto mengumumkan rencana membentuk 80.000 Koperasi Merah Putih di hampir setiap desa, gema semangat itu kembali terdengar. Tapi seperti gema, ia bisa nyaring di awal, lalu menghilang dalam sunyi jika tak diresapi dan dijalankan dengan benar.
Sejarah memberi kita pelajaran. Di era Orde Baru, koperasi juga dijadikan pilar pembangunan lewat program Koperasi Unit Desa (KUD). Tujuannya tampak ideal: menjadikan koperasi sarana distribusi barang dan jasa ke masyarakat perdesaan. Namun dalam pelaksanaannya, KUD lebih sering menjadi perpanjangan tangan birokrasi ketimbang milik rakyat. Ia dikelola secara top-down, bergantung pada bantuan negara, dan tidak tumbuh dari kesadaran anggota.
Akibatnya, banyak KUD menjadi bangunan mati. Ketika bantuan dihentikan, koperasi itu runtuh. Rakyat kehilangan rasa memiliki. Koperasi pun berubah wajah: dari wadah kemandirian menjadi simbol ketergantungan.
Pertanyaannya kini: apakah Koperasi Merah Putih akan mengambil jalan baru, atau sekadar mengulang pola lama dengan nama baru?
Rencana mendirikan 80.000 koperasi tentu bukan pekerjaan ringan. Di atas kertas, ini bisa menjadi terobosan besar, bahkan titik balik sejarah koperasi Indonesia. Tapi koperasi bukan sekadar proyek angka. Ia adalah ekosistem sosial dan ekonomi yang menuntut kesadaran kolektif. Koperasi tidak bisa lahir dari instruksi. Ia harus lahir dari kebutuhan.
Jika koperasi ini dibentuk secara serentak oleh kementerian, diberi modal awal, lalu ditinggal begitu saja, maka besar kemungkinan hasilnya seperti KUD: hidup karena uang negara, mati karena tiadanya partisipasi rakyat.
Kita perlu mengingat kembali falsafah Bung Hatta yang meletakkan koperasi sebagai jalan ketiga antara kapitalisme dan sosialisme. Dalam koperasi, rakyat tidak diperintah negara, tapi juga tidak dibiarkan digerus pasar. Koperasi menjadi ruang bersama, tempat rakyat belajar tentang tanggung jawab, kejujuran, dan solidaritas.
Sayangnya, semangat itu kerap dipelintir. Banyak koperasi di masa lalu hanya jadi alat distribusi pupuk, gabah, atau bantuan sosial. Tidak ada demokrasi ekonomi. Tidak ada pengawasan anggota. Tidak ada transparansi. Yang ada hanyalah struktur tanpa jiwa.
Untuk itu, kita perlu mencermati sejumlah pertanyaan krusial: siapa yang akan membentuk koperasi ini?
Apakah masyarakat sudah cukup paham tentang manajemen koperasi?
Apakah akan ada pelatihan intensif?
Siapa yang akan mengawasi dana dan kinerja koperasi ini?
Jika pendekatannya tetap elitis dan birokratis, maka koperasi-koperasi itu hanya akan menjadi papan nama: Merah di spanduk, putih di nama, tapi kelabu di nasib anggota.
Agar tidak mengulang kesalahan masa lalu, ada beberapa hal mendasar yang harus dijadikan pondasi.
Pertama, mulailah dengan pendidikan koperasi secara menyeluruh. Bukan pelatihan satu-dua hari, tapi pembelajaran berkelanjutan yang melibatkan tokoh lokal, tokoh agama, pemuda, dan petani.
Kedua, biarkan koperasi tumbuh dari kebutuhan lokal, bukan berdasarkan template nasional. Desa nelayan tentu berbeda dengan desa pertanian atau desa wisata. Desain koperasi harus kontekstual.
Ketiga, bangun sistem keuangan koperasi yang transparan dan digital, agar setiap anggota bisa mengakses laporan keuangan kapan saja, dan mengawasi jalannya koperasi secara real time.
Keempat, pendampingan koperasi harus dilakukan oleh orang-orang berintegritas dan profesional, bukan karena afiliasi politik atau balas jasa. Jangan jadikan koperasi sebagai panggung politik lokal.
Kelima, berikan otonomi sejati kepada koperasi. Jangan terlalu banyak diintervensi negara. Biarkan anggota belajar, gagal, lalu bangkit lagi. Karena di sanalah inti dari koperasi—proses tumbuh dari bawah.
Jika syarat-syarat itu dipenuhi, Koperasi Merah Putih bisa menjadi warisan penting dari pemerintahan Prabowo. Bukan hanya sebagai simbol, tetapi sebagai alat nyata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat desa, mengurangi ketimpangan, dan menghidupkan kembali semangat gotong royong yang makin pudar di tengah gelombang individualisme digital.
Namun jika pendekatannya tergesa, elitis, dan serba atas, maka koperasi ini hanya akan menjadi reinkarnasi dari KUD, dengan nasib yang tak jauh berbeda: hidup di spanduk, mati di hati rakyat.
Seperti yang diingatkan Bung Hatta, koperasi harus tumbuh sebagai alat perjuangan rakyat, bukan alat kekuasaan. Dalam koperasi, yang utama bukan modal, bukan bantuan, melainkan kesadaran dan kepercayaan antaranggota.
Tanpa itu, koperasi hanya akan jadi ruang kosong dengan plang merah putih.***
Nazaruddin Nasir, Pemerhati Masalah Sosial dan Politik