“TUHAN” paling agung para penganut totaliterarianisme –dasar dari fasisme– adalah filsuf Jerman, Georg Friederich Hegel. Seperti ditulis, Hugh Purcell, Hegel mengajarkan –cenderung agitasi dan dogma— bahwa manusia hanya dapat bertahan hidup jika ia termasuk dalam negara yang sangat kuat. Negara harus kuat yang merupakan dasar dan pusat seluruh elemen nyata dalam kehidupan masyarakat. Bahwa negara memiliki kehidupan miliknya sendiri. Negara juga harus organik. Untuk bertahan hidup, negara harus bebas dari pertimbangan moralitas dan bersiap untuk perang dengan negara lain dalam kondisi apa pun. Negara dan kekuasaan harus sebuah satu kesatuan utuh yang tak bisa diintervensi siapa pun.
Cara pandang Hegel ini serupa dengan pikiran filsuf Jerman lainnya, Friederich Nietzche. Seperti ajaran Hegel, Nietzche memiliki pendapat –yang dinilai banyak orang—sangat rendah terhadap kemanusiaan. Dia percaya bahwa manusia bukanlah sosok makhluk yang rasional, bisa dan mampu menjalankan kode-kode moralitas untuk kebaikan dirinya sendiri dan masyarakat. Malahan, manusia adalah makhluk yang emosional, bengis, dan hanya dapat memenuhi dirinya sendiri dengan “kehendak untuk berkuasa”.
Nietzche yakin, kehidupan manusia sebenarnya mirip binatang di hutan, yang merupakan milik dari hutan itu sendiri. Di sana, siapa yang kuat yang akan bertahan hidup. Dan berkuasa. Dalam banyak ungkapan yang dikutip Nazi, dia membandingkan manusia super dengan binatang sasaran: orang pirang yang kejam dan bengis luar biasa, keranjingan yang menjadi-jadi untuk barang rampasan dan kemenangan. Dalam pandangan ini, manusia adalah predator bagi manusia yang lain –dan ini ajaran dasar dari fasisme yang banyak diyakini.
Baik Hegel maupun Nietzche –yang juga diyakini oleh Benito Mussolini dan Hitler—sama-sama mengagumi kekuatan negara atau kekuatan binatang yang ada dalam diri manusia. Tak ada penghormatan terhadap tujuan peradaban modern, baik itu perdamaian maupun hak asasi manusia. Inilah mengapa, Mussolini, Hitler dan penganut totalisme-fasisme hingga kini, menganggap Hegel dan Nietzche sebagai pelopor ideal bagi mereka. Mereka percaya, dengan negara yang kuat dan bengis, bisa mengendalikan rakyatnya, karena mereka juga yakin rakyat yang merupakan kumpulan individu, punya hasrat kebengisan yang sama: predator bagi manusia lainnya yang salin curiga dan dendam. Inilah yang diyakini Mussolini ketika menjadikan fasisme sebagai dasar keyakinan politiknya yang mendapat dukungan dari banyak gerakan fasisme dunia pada masa antarperang. Perang Dunia I dan II.
Mussolini awalnya adalah seorang politikus sosialis dan wartawan koran Avanti!. Pada tahun 1912, ia menjadi anggota Direktorat Nasional Partai Sosialis Italia (PSI), tetapi ia dikeluarkan dari partai karena menyokong intervensi militer dalam Perang Dunia I, yang berlawanan dengan sikap partai yang netral. Pada tahun 1914, Mussolini mendirikan sebuah media baru, Il Popolo d’Italia, dan sempat menjadi tentara Italia pada masa perang, hingga ia mengalami cedera dan dilepaskan pada tahun 1917. Setelah itu, dia mencela PSI dan pemikirannya kini berpusat pada nasionalisme Italia, bukan lagi sosialisme. Pikirannya pada nasionalisme yang keras –bahkan ultranasionalise– kemudian menciptakan gerakan fasis yang justru menentang egalitarianisme dan konflik kelas yang dulu diperjuangkannya. Bahkan malah sebaliknya, dia mendukung “nasionalisme revolusioner” yang mentransendensi garis kelas. Pada 31 Oktober 1922, setelah sebuah acara milter di Roma (28–30 Oktober), Mussolini diangkat sebagai Perdana Menteri oleh Raja Vittorio Emanuele III. Sampai saat itu, ia adalah orang termuda yang memegang jabatan tersebut. Setelah menghilangkan semua perlawanan politis melalui polisi rahasia serta pelarangan mogok kerja, Mussolini dan pengikutnya kemudian menyatukan kekuasaan melalui pencanangan sejumlah hukum yang mengubah bangsa Italia menjadi kediktatoran satu partai. Dalam waktu lima tahun, Mussolini berhasil mendirikan otoritas kediktatoran, baik dengan cara legal maupun ilegal. Setelah itu, ia berniat menciptakan sebuah negara totaliter. Pada tahun 1929, Mussolini menandatangani Perjanjian Lateran dengan Takhta Suci, menciptakan Kota Vatikan.
Dari sinilah, ketika kekuasaan digenggamnya, dia merealisasikan gagasan Hegel dan Nietzche, bahwa kekuasaan harus kuat, absolut, terpusat, dan tanpa tandingan. Pemerintahan yang dibangun harus membuat rakyat patuh, tanpa bersuara sedikitpun, meskipun itu hanya sebuah “desahan”. Dia menggunakan kekuatan militer, militansi pendukung, kekuatan masyarakat sipil atau paramiliter, dan menyatukannya dalam satu ikatan: bahwa siapa pun harus tunduk pada kekuasaan tanpa pertanyaan.
Kebijakan luar negeri Mussolini berpusat pada upaya pengembalian keagungan Imperium Romawi kuno, dengan cara memperbanyak koloni Italia serta memperluas zona pengaruh fasis. Inilah yang kemudian membuat Italia melakukan aneksasi dan menyerang negara lain sebagai perluasan wilayah. Wilayah-wilayah yang dianggap sebagai bekas kekuasaan Romawi, berusaha ditaklukkannya. Pada tahun 1920-an, ia memerintahkan Pasifikasi Libya, pengeboman Kerkira akibat sebuah insiden dengan Yunani, pendirian protektorat di Albania, serta memasukkan kota Fiume ke dalam negara Italia melalui sebuah perjanjian dengan Yugoslavia.
Pada tahun 1936, Etiopia berhasil ditaklukkan setelah kalah dalam Perang Italia-Ethiopia Kedua. Daerah tersebut kemudian disatukan ke dalam Afrika Timur Italia dengan Eritrea dan Somalia. Pada tahun 1939, tentara Italia menganeksasi Albania. Antara tahun 1936 dan 1939, Mussolini memerintahkan intervensi militer Italia di Spanyol, yang akhirnya sukses, menempatkan Jendral Francisco Franco di tampuk kepemimpinan pada masa Perang Sipil Spanyol.
Italia di bawah Mussolini pada awalnya mencoba mencegah perang dunia kedua dengan mengirim tentara ke jalur Gunung Brenner untuk memperlambat Anschluss yang dilakukan Jerman. Negara ini juga terlibat dalam Front Stresa, Laporan Lytton, Perjanjian Lausanne, Pakta Empat Kekuatan, dan Persetujuan München. Akan tetapi, Italia kemudian menjauhkan diri dari Britania dan Prancis, dan bersikap lebih dekat dengan Jerman dan Jepang. Jerman menginvasi Polandia pada 1 September 1939, yang menimbulkan deklarasi perang oleh Prancis dan Britania Raya, dan memulailah Perang Dunia II. Di masa itu, trio Mussolini-Hitler-Franco sangat populer dan kuat, meski akhirnya Hitler begitu dominan di daratan Eropa melawan kekuatan Inggris dan Prancis, yang kemudian mendapat bantuan Amerika Serikat dalam Perang Dunia II yang segera meluas.***