Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Pameran Seni Rupa Galeri Hang Nadim 2024

Mengekspresikan Epos dalam Karya Rupa

Sebanyak 25 perupa dari delapan kota di Indonesia pameran bersama di Galeri Hang Nadim. Dengan tema Epik, mereka mengeksplorasi dan mengekspresikan epos dalam karya rupa.

RIAUPOS.CO – SETELAH sukses dengan art exhibition sebelumnya yang bertajuk Kembali ke Pangkal, Galeri Hang Nadim (GHN) Riau kembali menggelar pameran seni rupa selama sebulan, mulai 31 Agustus hingga 30 September 2024 mendatang. Kali ini, tema yang diusung adalah Epik.

Pameran kali ini menggandeng 24 perupa dari 8 kota di Indonesia, yakni Pekanbaru, Padangpanjang, Bengkulu, Tembilahan, Telukkuantan, Jakarta, Bandung, danYogyakarta. Ada 25 karya seni dipajang dalam pameran tersebut.

Pameran yang merupakan gelaran kedua tahun ini bagi galeri yang berada di Anjungan Kampar, Komplek Bandar Seni Raja Ali Haji, ini, dibuka oleh mantan Gubernur Riau, H Syamsuar. Hadir juga dalam pembukaan itu Ketua Dewan Pengurus Harian (DPH) Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau Taufik Ikram Jamil, Kepala GHN Furqon LW, Ketua Dewan Kesenian Riau (DKR) Taufik Hidayat, kurator Fachrozi Amri, perwakilan dari berbagai komunitas di Riau, para peserta, dan pecinta seni rupa lainnya, Sabtu (31/8/2024).

Syamsuar mengapresiasi puluhan karya yang ditampilkan oleh para seniman yang bukan hanya berasal dari Bumi Lancang Kuning, Riau, tetapi juga dari sejumlah kota di Indonesia. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan para generasi muda tentang seni rupa dan lainnya yang membuat mereka mengenal dan ikut melestarikan kebudayaan Indonesia.

“Saya mengapresiasi dan berharap iven ini sukses serta dapat memberikan informasi mengenai seni rupa kepada khalayak ramai, khususnya memperkenalkan tulisan Arab Melayu kepada generasi muda untuk ikut dilestarikan,” jelas lelaki yang juga mantan Bupati Siak dua periode ini.

Menurut Curator In house GHN, Fachrozi Amri, awal tahun 2000-an, kata “epik” menjadi populer dan digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang besar, megah, ekstrem, atau luar biasa. Kata ini merujuk pada kualitas yang positif dan intens. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “epik” berarti kisah kepahlawanan atau perjuangan pahlawan yang bisa diwariskan kepada generasi berikutnya. Kata ini berasal dari bahasa Yunani Kuno “epos,” yang artinya “kata, narasi, cerita.”

Dalam konteks ini, “epik” merujuk pada upaya untuk menerjemahkan dan mengaitkan narasi simbolik dari seniman Sumatra, merangkai dan mengorganisir identitas yang sering terlupakan. Hal ini terkait dengan proses penciptaan seni yang memiliki tujuan artistik yang ambisius, menghasilkan karya-karya yang memukau dan memiliki daya ungkap tinggi.

Kata “Epik” digunakan untuk menggambarkan media kreatif dengan cakupan luas yang menghubungkan konsep karya dengan bentuk fisik seni. Karya seni ini mendalam, mengeksplorasi kondisi manusia, serta berbagai ide dan tema yang mencakup beragam pengalaman hidup. Gabungan ini menciptakan “cerita” yang ditangkap oleh seniman dalam karya mereka. Seniman didorong untuk mengubah narasi mereka menjadi karya visual. Istilah “epik” telah berevolusi dari sekadar menggambarkan “kata-kata” menjadi kata sifat yang menekankan “intensitas” atau “ekstrem.”

Baca Juga:  Tampilkan 25 Karya dari Perupa Lima Provinsi Pameran ”Kembali ke Pangkal”

Kata Fachrozi, karya seni sering kali menjadi ungkapan naratif tentang berbagai masalah kehidupan, menggunakan simbolsimbol imajinatif, sehingga seniman mengaplikasikan kepekaan dan keterampilan mereka untuk menangkap serta mengungkapkan pandangan mereka tentang nilai-nilai dalam masyarakat, termasuk isu-isu budaya, sosial, politik, dan ekonomi.

“Akhirnya, ‘epik’ menjadi sesuatu yang dapat dinikmati dan diapresiasi dalam bentuk seni rupa, dipenuhi dengan misteri, dan memukau bagi para penikmatnya. Penggunaan kata-kata yang terintegrasi dengan baik sangat penting dalam setiap presentasi seni untuk menjelaskan makna karya di ruang pameran,” kata lelaki yang juga dosen di Universitas Muhammadiyah Riau (Umri) ini.

Pada helat ini, berbeda dengan helat-helat sebelumnya yang banyak melibatkan seniman lokal Riau dan beberapa provinsi tetangga, pameran kali ini melibatkan perupa dari berbagai kota, termasuk dari tiga kota besar di Jawa, yakni Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Luasan cakupan peserta ini merupakan salah satu perkembangan yang signifikan dan menjelaskan bahwa GHN sudah cukup dikenal dan dipercaya oleh seniman dari kota-kota besar tersebut dalam memamerkan karyanya. Baik lukisan maupun karya rupa lainnya.

Mereka yang terlibat dalam pameran ini adalah Agan Harahap dari Yogyakarta, Agus Ariya Santa (Tembilahan), Alza Adrizon (Pekanbaru), Anagard (Yogyakarta), Andi Acho Mallaena (Yogyakarta), Dewi Purwanti (Pekanbaru), Farhana Afifah (Pekanbaru), Ghilman Hauna (Jakarta), Hasan Atu (Pekanbaru), Hedits Tursina (Pekanbaru), dan Induk Mubarak (Kuansing). Kemudian ada Imam Teguh SY (Padangpanjang), Isra Fakhrusy (Pekanbaru), Jeanny (Bandung), M Rafles (Pekanbaru), Nabila Alya D (Bengkulu), Nur Rahma (Pekanbaru), Raditya Mohamadod (Pekanbaru), Saridan (Pekanbaru), Syafrizal Umum (Pekanbaru), Taufik Ermas (Yogyakarta), Untonk (Yogyakarta), Verilla Sari Purba (Pekanbaru), dan Yelmi Nanda (Kuansing).

Menurut Fachrozi, karya para peserta tersebut merupakan hasil dari kurasi yang dilakukan ghn. “Pameran ini menampilkan puluhan karya-karya epik kepada publik, untuk berinteraksi dengan penonton, menerima umpan balik, dan menginspirasi,” ucapnya.

Kepala GHN, Furqon LW, menjelaskan, GHN menyelenggarakan pameran seni rupa bertema Epik yang menyajikan berbagai hasil karya seniman yang berkualitas. Sejak awal berdiri tiga tahun lebih silam, GHN telah menaja 16 kali pameran seni rupa secara konsisten, terjadwal, dengan ragam tematik. Seperti pameran kaligrafi, kontemporer, maupun kaligrafi Arab Melayu sebagai anjungan utama, pameran kartun dan komik, pameran ragam hias dan tentu saja seni rupa kekinian (kontemporer). Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir tercatat 15 ribuan pengunjung telah mendatangi pameran-pameran GHN.

Baca Juga:  Membangun SDM Riau dengan Literasi

“Kekonsistenan ini ternyata perlahan membentuk sebuah ekosistem seni (rupa) baru dengan kekhasannya sendiri. Misalnya fenomena generasi milenial pengunjung pameran, pola kunjungan berbayar dengan tiket yang menjadi pemasukan bagi galeri hingga bisa menutup biaya produksi pameran, adanya pengunjung setia nan eksklusif dan potensial sebagai kolektor, iven-iven pameran GHN telah menjadi agenda di memori kolektif masyarakat, dampak media sosial terhadap peristiwa-peristiwa seni, hingga efek ekonomis bagi lingkungan sekitar GHN,” kata lelaki yang tunak di dunia kartun ini.

Furqon mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, baik para perupa yang ikut pameran di GHN selama ini maupun saat ini, juga masyarakat pengunjung, yang terus memberikan apresiasi tinggi. Menurutnya, dia bersama para pendiri dan pengalola GHN sedang membangun bagaimana Pekanbaru yang sebelumnya tidak dikenal sebagai kota seni seperti beberapa kota di Indonesia, menjadi kota yang berdaya dengan seni (rupa).

“Pelan-pelan kami ingin membangun sebuah budaya baru bagi masyarakat di Pekanbaru. Salah satunya bagaimana menghargai karya seni dalam sebuah pameran. Membayar untuk melihat pameran dengan membeli tiket adalah hal yang baru bagi masyarakat Pekanbaru dan Riau. Selama ini kita dibiasakan dengan pameran yang gratis, tetapi tak banyak juga yang mau datang. Dengan membeli tiket seperti yang kami lakukan selama ini, ternyata antusias dan apresiasi masyarakat lumayan tinggi. Membangun mindset seperti ini tidak mudah, harus perlahan-lahan,” jelas Furqon.

Salah seorang pelukis, Dewi Purwanti, melalui dua hasil karya drawing pen dan mixed on canvas berjudul Rise dan SHINE dan De Concerto mengisahkan tentang perjalanan hidup seseorang wanita yang menjalani hidupnya dengan caranya sendiri. Ia melangkah ke atas meraih mimpinya yang tertunda saat dia masih kecil. Begitu banyak bunga-bunga melambangkan banyak support yang membantu dia untuk menjadi lebih baik dan meraih mimpinya tersebut. wanita ini sangan optimis dan fokus apa yg ia inginkan

Sedangkan di lukisan kedua juga mengisahkan perjuangan seseorang yang penuh dengan suka cita, meskipun banyak nada-nada yang mewarnai hidupnya dari nada yang rendah maupun nada yang tinggi, namun dia menjalaninya dengan lapang dada dan dengan hati yang bersyukur bahagia. bunga -bunga yang bermekaran di atas piano melambangkan hatinya yang bahagia dalam menjalani kehidupannya. “Saya ingin memberikan semangat bagi wanita mandiri di luar sana untuk terus mengejar impiannya karena di sekitarnya masih banyak orang yang memberikan dukungan tanpa ia sadari hal tersebut. Dan saya juga ingin masyarakat bisa bersyukur dengan apa yang diperoleh dan terus maju menggapai impiannya,” jelas Dewi.***

Laporan PRAPTI DWI LESTARI, Pekanbaru

Sebanyak 25 perupa dari delapan kota di Indonesia pameran bersama di Galeri Hang Nadim. Dengan tema Epik, mereka mengeksplorasi dan mengekspresikan epos dalam karya rupa.

RIAUPOS.CO – SETELAH sukses dengan art exhibition sebelumnya yang bertajuk Kembali ke Pangkal, Galeri Hang Nadim (GHN) Riau kembali menggelar pameran seni rupa selama sebulan, mulai 31 Agustus hingga 30 September 2024 mendatang. Kali ini, tema yang diusung adalah Epik.

- Advertisement -

Pameran kali ini menggandeng 24 perupa dari 8 kota di Indonesia, yakni Pekanbaru, Padangpanjang, Bengkulu, Tembilahan, Telukkuantan, Jakarta, Bandung, danYogyakarta. Ada 25 karya seni dipajang dalam pameran tersebut.

Pameran yang merupakan gelaran kedua tahun ini bagi galeri yang berada di Anjungan Kampar, Komplek Bandar Seni Raja Ali Haji, ini, dibuka oleh mantan Gubernur Riau, H Syamsuar. Hadir juga dalam pembukaan itu Ketua Dewan Pengurus Harian (DPH) Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau Taufik Ikram Jamil, Kepala GHN Furqon LW, Ketua Dewan Kesenian Riau (DKR) Taufik Hidayat, kurator Fachrozi Amri, perwakilan dari berbagai komunitas di Riau, para peserta, dan pecinta seni rupa lainnya, Sabtu (31/8/2024).

- Advertisement -

Syamsuar mengapresiasi puluhan karya yang ditampilkan oleh para seniman yang bukan hanya berasal dari Bumi Lancang Kuning, Riau, tetapi juga dari sejumlah kota di Indonesia. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan para generasi muda tentang seni rupa dan lainnya yang membuat mereka mengenal dan ikut melestarikan kebudayaan Indonesia.

“Saya mengapresiasi dan berharap iven ini sukses serta dapat memberikan informasi mengenai seni rupa kepada khalayak ramai, khususnya memperkenalkan tulisan Arab Melayu kepada generasi muda untuk ikut dilestarikan,” jelas lelaki yang juga mantan Bupati Siak dua periode ini.

Menurut Curator In house GHN, Fachrozi Amri, awal tahun 2000-an, kata “epik” menjadi populer dan digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang besar, megah, ekstrem, atau luar biasa. Kata ini merujuk pada kualitas yang positif dan intens. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “epik” berarti kisah kepahlawanan atau perjuangan pahlawan yang bisa diwariskan kepada generasi berikutnya. Kata ini berasal dari bahasa Yunani Kuno “epos,” yang artinya “kata, narasi, cerita.”

Dalam konteks ini, “epik” merujuk pada upaya untuk menerjemahkan dan mengaitkan narasi simbolik dari seniman Sumatra, merangkai dan mengorganisir identitas yang sering terlupakan. Hal ini terkait dengan proses penciptaan seni yang memiliki tujuan artistik yang ambisius, menghasilkan karya-karya yang memukau dan memiliki daya ungkap tinggi.

Kata “Epik” digunakan untuk menggambarkan media kreatif dengan cakupan luas yang menghubungkan konsep karya dengan bentuk fisik seni. Karya seni ini mendalam, mengeksplorasi kondisi manusia, serta berbagai ide dan tema yang mencakup beragam pengalaman hidup. Gabungan ini menciptakan “cerita” yang ditangkap oleh seniman dalam karya mereka. Seniman didorong untuk mengubah narasi mereka menjadi karya visual. Istilah “epik” telah berevolusi dari sekadar menggambarkan “kata-kata” menjadi kata sifat yang menekankan “intensitas” atau “ekstrem.”

Baca Juga:  Menggagas Siak untuk Membuat Film

Kata Fachrozi, karya seni sering kali menjadi ungkapan naratif tentang berbagai masalah kehidupan, menggunakan simbolsimbol imajinatif, sehingga seniman mengaplikasikan kepekaan dan keterampilan mereka untuk menangkap serta mengungkapkan pandangan mereka tentang nilai-nilai dalam masyarakat, termasuk isu-isu budaya, sosial, politik, dan ekonomi.

“Akhirnya, ‘epik’ menjadi sesuatu yang dapat dinikmati dan diapresiasi dalam bentuk seni rupa, dipenuhi dengan misteri, dan memukau bagi para penikmatnya. Penggunaan kata-kata yang terintegrasi dengan baik sangat penting dalam setiap presentasi seni untuk menjelaskan makna karya di ruang pameran,” kata lelaki yang juga dosen di Universitas Muhammadiyah Riau (Umri) ini.

Pada helat ini, berbeda dengan helat-helat sebelumnya yang banyak melibatkan seniman lokal Riau dan beberapa provinsi tetangga, pameran kali ini melibatkan perupa dari berbagai kota, termasuk dari tiga kota besar di Jawa, yakni Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Luasan cakupan peserta ini merupakan salah satu perkembangan yang signifikan dan menjelaskan bahwa GHN sudah cukup dikenal dan dipercaya oleh seniman dari kota-kota besar tersebut dalam memamerkan karyanya. Baik lukisan maupun karya rupa lainnya.

Mereka yang terlibat dalam pameran ini adalah Agan Harahap dari Yogyakarta, Agus Ariya Santa (Tembilahan), Alza Adrizon (Pekanbaru), Anagard (Yogyakarta), Andi Acho Mallaena (Yogyakarta), Dewi Purwanti (Pekanbaru), Farhana Afifah (Pekanbaru), Ghilman Hauna (Jakarta), Hasan Atu (Pekanbaru), Hedits Tursina (Pekanbaru), dan Induk Mubarak (Kuansing). Kemudian ada Imam Teguh SY (Padangpanjang), Isra Fakhrusy (Pekanbaru), Jeanny (Bandung), M Rafles (Pekanbaru), Nabila Alya D (Bengkulu), Nur Rahma (Pekanbaru), Raditya Mohamadod (Pekanbaru), Saridan (Pekanbaru), Syafrizal Umum (Pekanbaru), Taufik Ermas (Yogyakarta), Untonk (Yogyakarta), Verilla Sari Purba (Pekanbaru), dan Yelmi Nanda (Kuansing).

Menurut Fachrozi, karya para peserta tersebut merupakan hasil dari kurasi yang dilakukan ghn. “Pameran ini menampilkan puluhan karya-karya epik kepada publik, untuk berinteraksi dengan penonton, menerima umpan balik, dan menginspirasi,” ucapnya.

Kepala GHN, Furqon LW, menjelaskan, GHN menyelenggarakan pameran seni rupa bertema Epik yang menyajikan berbagai hasil karya seniman yang berkualitas. Sejak awal berdiri tiga tahun lebih silam, GHN telah menaja 16 kali pameran seni rupa secara konsisten, terjadwal, dengan ragam tematik. Seperti pameran kaligrafi, kontemporer, maupun kaligrafi Arab Melayu sebagai anjungan utama, pameran kartun dan komik, pameran ragam hias dan tentu saja seni rupa kekinian (kontemporer). Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir tercatat 15 ribuan pengunjung telah mendatangi pameran-pameran GHN.

Baca Juga:  Festival Sastra Sungai Jantan (FSSJ) 2024, Memperkuat Eksistensi Sastra Siak

“Kekonsistenan ini ternyata perlahan membentuk sebuah ekosistem seni (rupa) baru dengan kekhasannya sendiri. Misalnya fenomena generasi milenial pengunjung pameran, pola kunjungan berbayar dengan tiket yang menjadi pemasukan bagi galeri hingga bisa menutup biaya produksi pameran, adanya pengunjung setia nan eksklusif dan potensial sebagai kolektor, iven-iven pameran GHN telah menjadi agenda di memori kolektif masyarakat, dampak media sosial terhadap peristiwa-peristiwa seni, hingga efek ekonomis bagi lingkungan sekitar GHN,” kata lelaki yang tunak di dunia kartun ini.

Furqon mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, baik para perupa yang ikut pameran di GHN selama ini maupun saat ini, juga masyarakat pengunjung, yang terus memberikan apresiasi tinggi. Menurutnya, dia bersama para pendiri dan pengalola GHN sedang membangun bagaimana Pekanbaru yang sebelumnya tidak dikenal sebagai kota seni seperti beberapa kota di Indonesia, menjadi kota yang berdaya dengan seni (rupa).

“Pelan-pelan kami ingin membangun sebuah budaya baru bagi masyarakat di Pekanbaru. Salah satunya bagaimana menghargai karya seni dalam sebuah pameran. Membayar untuk melihat pameran dengan membeli tiket adalah hal yang baru bagi masyarakat Pekanbaru dan Riau. Selama ini kita dibiasakan dengan pameran yang gratis, tetapi tak banyak juga yang mau datang. Dengan membeli tiket seperti yang kami lakukan selama ini, ternyata antusias dan apresiasi masyarakat lumayan tinggi. Membangun mindset seperti ini tidak mudah, harus perlahan-lahan,” jelas Furqon.

Salah seorang pelukis, Dewi Purwanti, melalui dua hasil karya drawing pen dan mixed on canvas berjudul Rise dan SHINE dan De Concerto mengisahkan tentang perjalanan hidup seseorang wanita yang menjalani hidupnya dengan caranya sendiri. Ia melangkah ke atas meraih mimpinya yang tertunda saat dia masih kecil. Begitu banyak bunga-bunga melambangkan banyak support yang membantu dia untuk menjadi lebih baik dan meraih mimpinya tersebut. wanita ini sangan optimis dan fokus apa yg ia inginkan

Sedangkan di lukisan kedua juga mengisahkan perjuangan seseorang yang penuh dengan suka cita, meskipun banyak nada-nada yang mewarnai hidupnya dari nada yang rendah maupun nada yang tinggi, namun dia menjalaninya dengan lapang dada dan dengan hati yang bersyukur bahagia. bunga -bunga yang bermekaran di atas piano melambangkan hatinya yang bahagia dalam menjalani kehidupannya. “Saya ingin memberikan semangat bagi wanita mandiri di luar sana untuk terus mengejar impiannya karena di sekitarnya masih banyak orang yang memberikan dukungan tanpa ia sadari hal tersebut. Dan saya juga ingin masyarakat bisa bersyukur dengan apa yang diperoleh dan terus maju menggapai impiannya,” jelas Dewi.***

Laporan PRAPTI DWI LESTARI, Pekanbaru

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari