Pendidikan dan kebudayaan bagaikan uang logam yang memiliki dua sisi wajah. Meskipun kedua sisi wajah itu berbeda tapi tidak dapat dipisahkan. Pendidikan dan kebudayaan merupakan hal yang sama, yaitu kedua hal yang memiliki arti kata yang berbeda tetapi memiliki tujuan yang sama dan tidak dapat dipisahkan.
Berdasarkan Badan Pusat Statistik, jumlah pemuda yang ada di Indonesia sekitar 61,83 juta jiwa. Angka statistik tersebut bukanlah angka yang kecil, karena masyarakat dan pemerintah akan memiliki pekerjaan rumah yang sangat banyak untuk mengatasi segala permasalahan pendidikan yang ada di negara ini.
Pendidikan merupakan salah satu cara untuk mencapai tujuan nasional bangsa dan negara ini, yaitu terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Tujuan nasional tersebut dapat diwujudkan oleh negara ini melalui pendidikan, baik itu pendidikan formal maupun pendidikan non-formal. Pendidikan formal dapat ditempuh melalui pendidikan di sekolah, maupun perguruan tinggi, sedangkan pendidikan non-formal dapat ditemui dikeluarga, saat bersosialisasi dengan masyarakat, atau saat berorganisasi.
Namun, melihat kondisi pendidikan di Indonesia saat ini, ibarat bangsa ini sedang menaiki wahana roller coaster, dimana kondisi pendidikan di Indonesia, terkadang mengalami kenaikan yang berprestasi, tapi disatu sisi juga terjadi kemerosotan yang membuat kita prihatin. Pemerosotan yang terjadi menjadi pekerjaan rumah untuk bangsa ini, agar kondisi pendidikan dapat menjadi stabil dan bahkan naik ke puncaknya. Akhir-akhir ini, dapat kita jumpai kondisi yang sangat memprihatinkan terhadap pendidikan di Indonesia, yaitu: Kasus bully antar siswa dan kasus penganiayaan antar siswa dan guru. Kasus pelecehan seksual antara siswa dan guru. Terkadang kita akan mendengar atau membaca berita mengenai kasus pelecehan seksual yang terjadi antara siswa, tapi kali ini kasus tersebut bertambah dan meluas menjadi kasus pelecehan yang terjadi antara guru dan siswa.
Kasus tersebut dapat kita sebut sebagai white collar crime atau kejahatan berkerah putih, dimana guru yang seharusnya mengajarkan siswanya tapi karena memiliki jabatan atau kewenangan sehingga guru tersebut menggunakannya untuk melakukan pelecehan terhadap siswanya. Sungguh kasus yang tragis yang muncul di kehidupan pendidikan bangsa ini.
Kasus-kasus di atas hanyalah segelintir permasalah yang terjadi di dunia pendidikan ini. Di awal tulisan ini terdapat dua hal yang tak dapat dipisahkan bagaikan dua wajah uang koin, yaitu pendidikan dan kebudayaan. Kebudayaan yang seharusnya tumbuh dan berkembang bersama dengan pendidikan, tapi kebudayaan tersebut malah menghilang di tengah-tengah bangsa ini, membuat kebudayaan luhur bangsa ini, yang diajarkan sejak kita lahir, menjadi hilang dan hancur dikarenakan moral bangsa ini yang semakin hari semakin mengalami pemerosotan.
Luhur bangsa ini yang mengajarkan kita sejak lahir, tentang beretika, bersosialisasi, dan berkreasi, seharusnya menjadi senjata tajam yang dimiliki bangsa ini untuk mengupas dan menebang semua permasalahan yang ada pada sistem pendidikan bangsa ini. Saat menempuh pendidikan baik itu pendidikan formal maupun non-formal, kita selalu diajarkan mengenai cara beretika, dan memiliki kesopanan yang baik. Hal itu tidak pernah terlupakan oleh guru-guru yang selalu mengajarkan muridnya mengenai nilai-nilai kebudayaan.
Namun, masih ada hal yang terlupakan oleh bangsa ini, yaitu pendidikan yang lebih mengedepankan kebudayaan yang membuat bangsa ini kaya akan proses untuk berpikir secara kreatif dan inovatif. Nilai-nilai kesenian merupakan salah satu kebudayaan yang belum dapat diimplementasikan sepenuhnya. Meskipun di sekolah-sekolah sudah terdapat mata pelajaran kesenian, namun mata pelajaran itu hanya sebagian kecil dari nilai kebudayaan, karena sistem pendidikan negara ini terus mengejar dan berusaha meningkatkan ilmu pengetahuan alam dan sosial setiap siswanya, terkadang melupakan nilai-nilai kebudayaan seperti kesenian.
Perbandingan itu dapat kita lihat, dimana jam pelajaran untuk ilmu pengetahuan alam, matematika, dan ilmu sosial memiliki waktu yang sangat lama, sedangkan mata pelajaran kesenian hanya dilakukan dalam waktu 2 jam dalam seminggu. Pemerintah sudah tepat untuk lebih mengedepankan mata pelajaran ilmu pengetahuan alam, matematika, dan ilmu sosial melalui jam pelajaran yang lebih lama, karena akan sangat berguna bagi setiap siswa untuk menentukan kehidupan siswa tersebut kedepannya. Namun, bukan berarti nilai-nilai kebudayaan seperti kesenian tersebut harus ditinggalkan, karena melalui nilai-nilai kesenian maka kinerja otak kanan juga akan bekerja.
Penanaman nilai karakter juga dapat diterapkan dalam pedidikan kebudayaan. Karena bangsa Indonesia memiliki kebudayaan yang memegang teguh akhlak mulia. Dengan demikian siswa tujuan pendidikan bangsa akan tercapai melalui penguatan pendidikan kebudayaan.***
TETY SARAH, S.Pd, Guru SDN 37 Bengkalis