Jumat, 20 September 2024

Serangan AS ke Iran Karena Tekanan Politik Jelang Pilpres

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Pada 2012 Donald Trump pernah menujum, Barack Obama akan menyatakan perang dengan Iran agar kembali terpilih sebagai presiden Amerika Serikat. Tapi, seperti banyak omongan atau cuitannya, kata-kata tersebut tak terbukti.

Delapan tahun berselang, ternyata Trump sendiri yang menggunakan taktik itu. Dia menyetujui serangan yang menewaskan Mayor Jenderal Qasem Soleimani, orang terkuat kedua di Iran setelah Ayatullah Ali Khamenei. Yang sekaligus membuka kemungkinan konfrontasi terbuka dengan Negeri Para Mullah tersebut.

Ya, banyak yang menduga, keputusan Trump itu diambil untuk mengambil simpati warganya. Untuk menunjukkan. "AS di zamanku kuat kembali. Tegas, berani ambil keputusan terhadap orang yang akan merugikan warga dan kepentingan AS."

Apalagi di tahun politik seperti saat ini. Pemilihan presiden (pilpres) di depan mata, sedangkan popularitasnya terancam oleh proses impeachment karena skandal Ukraina.

- Advertisement -

"Elemen politik domestik jelas berpengaruh," ungkap Michael Desch, guru besar di University of Notre Dame, kepada Agence France-Presse.

Baca Juga:  YouTuber Korea Nikahi Pedangdut Kania Permatasari

Yang dimaksud Desch, tekanan politik menjelang pilpres tahun ini. Trump ingin menunjukkan kepemimpinan yang tegas terkait sosok yang dianggap musuh negara. Pasalnya, selama masa jabatan pertamanya, Trump sering dikritik simpatisan Republik karena selalu menghindari konfrontasi militer.

- Advertisement -

Biasanya, pemimpin politik cenderung menahan kebijakan kontroversial saat kampanye. Namun, strategi Trump memang tak pernah terduga. Bisa jadi itu merupakan cara taipan berusia 73 tahun tersebut untuk mengalihkan perhatian dari isu impeachment yang membelitnya.

Seperti diketahui, akhir bulan lalu DPR AS memutuskan membawa proses impeachment Trump atas skandal Ukraina ke Senat. Jika dua pertiga anggota senator memutuskan Trump bersalah, dia bakal dimakzulkan.

CNN merilis temuan terbaru mengenai cerita di balik layar percakapan antara Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky. Yang berisi tentang dokumen pertukaran surel (surat elektronik) antara staf Office of Management and Budget Michael Duffey dan Kementerian Pertahanan.

Baca Juga:  Mencapai Masyarakat Aman Covid-19, Gesa Vaksinasi Anak

Sebelumnya, e-mail yang serupa meminta agar dana bantuan untuk Ukraina ditangguhkan dan keputusan itu dirahasiakan. Namun, Pentagon (Kementerian Per tahanan AS) sebenarnya masih belum melaksanakan perintah itu.

Mereka resah bahwa keputusan tersebut melanggar beberapa aturan. "Ini adalah perintah yang jelas dari POTUS." Begitu balasan Duffey.

POTUS merupakan singkatan dari President of United States alias Donald Trump. Isi e-mail tersebut menegaskan bahwa Trump-lah yang memerintahkan pembekuan dana itu. Meskipun, Pentagon sempat menolak.

Charlie Sykes, pemerhati politik AS, mengatakan bahwa langkah Trump memang bakal menguntungkan dia dalam jangka pendek.

Namun, dia tak memperhatikan efek jangka panjang yang tak bisa di kendalikan. "Perang hanya populer di awal. Setelah itu, mereka bakal jadi racun (bagi peng ambil keputusan, Red)," imbuhnya kepada The Guardian.

Sumber : Jawapos.com
Editor : Rinaldi

 

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Pada 2012 Donald Trump pernah menujum, Barack Obama akan menyatakan perang dengan Iran agar kembali terpilih sebagai presiden Amerika Serikat. Tapi, seperti banyak omongan atau cuitannya, kata-kata tersebut tak terbukti.

Delapan tahun berselang, ternyata Trump sendiri yang menggunakan taktik itu. Dia menyetujui serangan yang menewaskan Mayor Jenderal Qasem Soleimani, orang terkuat kedua di Iran setelah Ayatullah Ali Khamenei. Yang sekaligus membuka kemungkinan konfrontasi terbuka dengan Negeri Para Mullah tersebut.

Ya, banyak yang menduga, keputusan Trump itu diambil untuk mengambil simpati warganya. Untuk menunjukkan. "AS di zamanku kuat kembali. Tegas, berani ambil keputusan terhadap orang yang akan merugikan warga dan kepentingan AS."

Apalagi di tahun politik seperti saat ini. Pemilihan presiden (pilpres) di depan mata, sedangkan popularitasnya terancam oleh proses impeachment karena skandal Ukraina.

"Elemen politik domestik jelas berpengaruh," ungkap Michael Desch, guru besar di University of Notre Dame, kepada Agence France-Presse.

Baca Juga:  Tunjungan Plaza, Mal Terbesar di Surabaya Terbakar saat Azan Magrib

Yang dimaksud Desch, tekanan politik menjelang pilpres tahun ini. Trump ingin menunjukkan kepemimpinan yang tegas terkait sosok yang dianggap musuh negara. Pasalnya, selama masa jabatan pertamanya, Trump sering dikritik simpatisan Republik karena selalu menghindari konfrontasi militer.

Biasanya, pemimpin politik cenderung menahan kebijakan kontroversial saat kampanye. Namun, strategi Trump memang tak pernah terduga. Bisa jadi itu merupakan cara taipan berusia 73 tahun tersebut untuk mengalihkan perhatian dari isu impeachment yang membelitnya.

Seperti diketahui, akhir bulan lalu DPR AS memutuskan membawa proses impeachment Trump atas skandal Ukraina ke Senat. Jika dua pertiga anggota senator memutuskan Trump bersalah, dia bakal dimakzulkan.

CNN merilis temuan terbaru mengenai cerita di balik layar percakapan antara Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky. Yang berisi tentang dokumen pertukaran surel (surat elektronik) antara staf Office of Management and Budget Michael Duffey dan Kementerian Pertahanan.

Baca Juga:  Holding RS BUMN Rampung Desember

Sebelumnya, e-mail yang serupa meminta agar dana bantuan untuk Ukraina ditangguhkan dan keputusan itu dirahasiakan. Namun, Pentagon (Kementerian Per tahanan AS) sebenarnya masih belum melaksanakan perintah itu.

Mereka resah bahwa keputusan tersebut melanggar beberapa aturan. "Ini adalah perintah yang jelas dari POTUS." Begitu balasan Duffey.

POTUS merupakan singkatan dari President of United States alias Donald Trump. Isi e-mail tersebut menegaskan bahwa Trump-lah yang memerintahkan pembekuan dana itu. Meskipun, Pentagon sempat menolak.

Charlie Sykes, pemerhati politik AS, mengatakan bahwa langkah Trump memang bakal menguntungkan dia dalam jangka pendek.

Namun, dia tak memperhatikan efek jangka panjang yang tak bisa di kendalikan. "Perang hanya populer di awal. Setelah itu, mereka bakal jadi racun (bagi peng ambil keputusan, Red)," imbuhnya kepada The Guardian.

Sumber : Jawapos.com
Editor : Rinaldi

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

spot_img

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari