DI masa negara-negara Asia Tenggara dikuasai oleh orang-orang Eropa, muncul pemberontakan-pemberontakan, baik berskala besar maupun kecil, yang dibalut dengan kepercayaan sebagai Imam Mahdi atau Ratu Adil. Kadang mereka hanya dianggap riak kecil oleh penguasa kolonial –seperti Samin di Jawa Tengah— namun ada yang sampai menguras khas pemerintah kolonial seperti apa yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa yang terkenal itu. Pangeran Diponegoro dijuluki Satria Piningit atau seorang satria yang akan memimpin masyarakat untuk membebaskan diri dari cengkraman kaum kolonial Barat, yakni Belanda.
Imam Mahdi atau Ratu Adil adalah kepercayaan akan datangnya seorang pemimpin yang kuat secara fisik maupun spiritual yang diyakini memiliki hal-hal berbau klenik atau agama, yang akan membebaskan suatu masyarakat yang dikuasai oleh kekuatan dari luar. Kekuatan spiritual inilah yang dipercayai akan mampu membebaskan masyarakat itu, meski sekuat apa pun lawan yang dihadapinya, karena dia seperti diturunkan dari “langit” oleh Tuhan
Di zaman sekarang, jika ada seseorang mengaku dirinya Imam Mahdi atau Ratu Adil, banyak orang tak percaya. Sebab, dalam keyakinan spiritual, seorang Imam Mahdi atau Ratu Adil dianggap punya kekuatan spiritual tinggi yang bisa mempengaruhi pengikutnya. Apalagi dalam dunia modern yang sudah meninggalkan keyakinan-keyakinan seperti itu, munculnya orang-orang yang mengaku sebagai Imam Mahdi atau Ratu Adil, sangat sulit dipercayai.
Namun di masa kolonial, gerakan-gerakan rakyat berlatar kepecayaan terhadap Imam Mahdi atau Ratu Adil lumayan masif. Di Myanmar (dulu Burma/Birma) muncul sosok Saya San, seorang penganut Budha yang menggerakkan sebuah pemberontakan di pedalaman. Michael Adas dalam buku Ratu Adil (1988) menulis, Saya San muncul sebagai pemimpin protes dalam sebuah budaya yang dirembesi oleh suatu kerinduan akan datangnya milenial-penyelamat kuno yang mendalam, alias Imam Mahdi atau Ratu Adil. Saya San memiliki kemampuan dengan menggunakan banyak aspek dari tradisi dalam usaha memperoleh pengikut. Dia memiliki banyak jabatan dalam tahun-tahun sebelum memulai karirnya sebagai seorang nabi bagi agama Budha dan memimpin protes atau pemberontakan di Myanmar.
Saya San lahir di Shwebo, sebuah distrik di zona kering Myanmar, pada tahun 1882. Saat dia lahir, Shwebo ditaklukkan oleh Inggris bersama beberapa wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh imporium India. Sejak kecil dia sudah mendapatkan cerita tentang kegagahan masyarakat dan kelompok-kelompok kecil lainnya di Shwebo dan distrik tetangga lainnya melawan penguasa baru berkulit putih. Kelompok-kelompok tersebut dipimpin para pangeran, pendeta-pendeta Budha (dacoit), juga kepala-kepala bandit, yang mempersenjatai para pengikutnya dengan jimat yang berkekuatan magis.
Saat muda, Saya San sering berpindah dari kampung ke kampung lain, juga dari satu distrik ke distrik lain dengan menjadi ahli nujum dan se saya (tabib atau dokter tradisional). Dia juga mengembangkan minat pada kimia zaman pertenganhan (alchemy) dan mungkin membawa atau tergabung dalam salah satu atau lebih sekte kepercayaan (gaing) yang terus meluas dalam masyarakat Budha di sana. Dia terus berusaha membangun spiritual dirinya lewat kepercayaan yang berhubungan dengan animisme atau arwal leluhur (nat) serta aspek lain yang diyakini dalam agama Budha yang kelak sangat berguna baginya sebagai pemimpin pergerakan masyarakat Myanmar.
Saya San mulai ikut dalam dunia politik pembebasan nasional pada tahun 1920-an ketika dia pindah ke Kota Moulmein selatan. Di sana dia dihukum oleh pemerintah Inggris dengan tuduhan melakukan perjudian gelap. Dalam periode itu, dia juga dituduh atas pembunuhan, namun kemudian dibebaskan karena tak adanya bukti. Pada tahun 1924 Saya San bergabung dengan Dewan Umum Asosiasi Burma (GCBA) yang beraliran nasional, namun dia tak terlihat menonjolkan diri dan menjadi orang “pinggiran” dalam gerakan itu.
Tahun berikutnya, 1925, GCBA terpecah dan dia bergabung dengan kelompok pecahan yang lebih radikal, So Thien, dan ikut terlibat dalam pemberontakan kaum nasional. Dalam masa itu, dia banyak menghadiri konferensi-konferensi dan berbicara di hadapan banyak kelompok. Tahun 1928, Saya San ditugaskan menjadi kepala penyelidikan khusus terhadap serangan-serangan polisi kolonial, yang kemudian mempengaruhi pemikirannya dalam mempersiapkan para petani untuk memberontak.
Saat kerusuhan pada periode 1930-1932, Saya San sudah berumur 50 tahun, bertubuh pendek agak ramping dan selalu bicara dengan lambat namun meyakinkan. Daya tarik awalnya yang sangat pribadi dari orang-orang dekatnya yang radikal di dalam GCBA So Thien. Dia fasih menguasai massa dengan kehangatan dan sering mengungkapkan tuduhan bahwa pemerintah kolonial Inggris adalah penindas dan hanya dapat diakhiri dengan pemberontakan dan penindasan, lama-lama menarik para pengikutnya yang banyak berbasis di desa-desa.
Namun daya tariknya di mata sejumlah besar petani Myanmar dan kemampuannya menggerakkan mereka dalam pemberontakan terbuka melawan Inggris, terutama berakar dari klaim-klaim untuk memenuhi berbagai harapan milenarian yang sudah lama muncul dalam masyarakat, terutama petani dan masyarakat bawah lainnya, di Myanmar. Ini masa di mana dia membangun basis sebelum menjelaskan kepada publik bahwa dia adalah Setkya-Min, yang bagi orang Myanmar disebut Chakkavatti, atau penguasa alam semesta. Dia menjelaskan konsep Imam Mahdi ada pada dirinya, yang akan membebaskan rakyat Myanmar dari cengkraman Inggris.***