Setiap kita pasti mendambakan rumah tangga bahagia, hubungan antara suami dan istri serta anak-anak terjalin harmonis. Saling mendukung dalam suka dan duka. Apalagi bagi orang beriman kebahagiaan rumah tangga diharapkan tidak hanya di dunia melainkan sampai ke surga. Namun dalam realita kehidupan sehari-hari tentunya tidak semua keluarga dapat meraih status keluarga yang bahagia, banyak keluarga yang menghadapi masalah dalam berkeluarga.
Hasil sebuah penelitian menyebutkan bahwa keluarga yang bahagia yaitu keluarga yang penuh kasih sayang dan memiliki hubungan baik antara orangtua dan anak maka sedikit sekali (5 persen) anak yang mengalami gangguang psikologis. Sedangkan sisanya (95 persen) memiliki gangguang psikologis karena anak berada dalam keluarga yang tidak bahagia dan keluarga yang memiliki hubungan buruk antara anak dan orangtua.
Dalam prinsip agama Islam menikah dan memiliki anak adalah salah satu tujuan hidup seseorang agar mencapai kebahagiaan dan melestarikan keberlansungan hidup manusia. Namun sayangnya, masih ada diantara anggota keluarga yang melupakan hakikat dan tujuan pernikahan itu sendiri. Pelaksanaan tugas dan peran tidak seimbang menyebabkan masalah baru muncul dalam kehidupan keluarga. Selanjutnya akan berakibat berkurangnya rasa saling pengertian, perhatian, kasih sayang, senda gurau dan kebersamaan.
Berbagai teori dan kunci bermunculan agar setiap orang mendapatkan keluarga yang bahagia. Syaikh Sulaiman Ar-ruhaili menjelaskan kunci-kunci kebahagiaan rumah tangga. Pertama, mengokohkan keimanan dan amal saleh. Konsep iman dan amal saleh tergambar dari ayat-ayat Alquran, Allah swt sering menyebutkan dengan menggandengkan kata iman dan amal saleh. Seperti dalam firmanNya surat An-Nahal 97.: "Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan".
Ibnu Abbas mengatakan makna "kehidupan yang baik" adalah dengan rezki yang halal. Ali mengatakan bahwa makna dari "kehidupan yang baik" di dalam ayat adalah qona'ah.
Kedua, menghidupkan rumah dengan zikrullah. Rasulullah saw bersabda: "Perumpamaan rumah yang di dalamnya ada dzikrullah, dan rumah yang tidak ada dzikrullah di dalamnya adalah (laksana) perumpamaan antara yang hidup dengan yang mati". (HR.Muslim). Jadikanlah rumah kita bercahaya dengan berbagai macam zikir, baik itu zikir dalam hati maupun dengan lisan, salat, atau membaca shalawat dan Alquran, atau mempelajari ilmu-ilmu agama.
Ketiga, suami menjalankan fungsinya sebagai pemimpin. Allah swt berfirman dalam surat An-Nisa.34: "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Hal ini karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka". Di antara makna pemimpin yang dimaksud dalam ayat di atas adalah sebagai pendidik, sandaran kokoh bagi keluarga, orang bertanggung jawab menafkahi, dan orang yang memutuskan keputusan penting dalam keluarga.
Keempat, menjalin kasih sayang dan mu'asyarah bi al-ma'ruf. Para ulama menetapkan hukum melakukan mu'asyarah bi al-ma'ruf sebagai kewajiban yang harus dilakukan oleh para suami agar mendapatkan kebaikan dalam rumah tangga. Imam At-Thabari ketika menjelaskan makna dari mu'asyarah bilma'ruf adalah kewajiban suami memperlakukan isteri dengan baik, karena para isteri telah taat kepada Allah dan suaminya.
Kelima, tolong menolong dalam kebaikan dan ketaatan. Firman Allah dalam surah Al-Maidah ayat:2 "tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketaqwaan. Seperti mana yang telah dicontohkan oleh nabi Muhammad saw, dalam membantu pekerjaan isterinya di rumah.
Keenam, mengikuti pola kehidupan berumah tangga orang-orang saleh. Rumah tangga yang telah tercatat dalam sejarah terbukti berhasil membangun keharmonisan antara suami dan isteri, serta berhasil dalam mendidik anak dan generasi.
Rumah tangga adalah elemen terkecil dalam suatu bangsa. Jika setiap rumah tangga dalam satu bangsa mampu menghadirkan bahagia, dan menumbuhkan nilai-nilai positif bagi anak dan generasi, maka bangsa tersebut layak untuk menjemput kemajuan dan kejayaan berbangsa.***