Minggu, 24 November 2024
spot_img

Peran Pesantren untuk Kota Layak Anak

Perlindungan terhadap anak mutlak diberikan oleh setiap komponen stakeholder, supaya anak dapat tumbuh dan berkembang secara wajar. Sesuai dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, perlindungan anak mencakup anak yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan, dan meliputi hak-hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupan serta mendapat perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi.

Perlindungan anak yang dimaksud, hendaknya mencakup pada seluruh bidang pembangunan. Pembangunan perlindungan anak yang terintegrasi dan komprehensif akan menghasilkan kebijakan publik yang lebih efektif dalam mewujudkan dunia yang layak bagi seluruh anak Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan (LAKIP KPP-P, 2013: 6). Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KPP) bersama sektor pemerintah terkait, organisasi masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat telah berikhtiar mengembangkan model Kota Layak Anak (KLA).

KLA yaitu kota yang di dalamnya telah mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak anak. Kota Layak Anak (KLA) dimaksudkan sebagai sebuah upaya nyata untuk menyatukan isu hak anak ke dalam perencanaan dan pembangunan kabupaten/kota. Pembangunan yang peduli anak pada dasarnya adalah suatu kondisi adanya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak anak.

Dan demi tercapaianya percepatan pengembangan Kota Layak Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah menjadikan model Kota Layak Anak (KLA) ini sebagai prioritas program dalam bidang kesejahteraan dan perlindungan anak dengan menetapkan 7 (tujuh) aspek penting dalam pengembangan KLA, yaitu: 1) kesehatan; 2) pendidikan; 3) sosial; 4) hak sipil dan partisipasi; 5) perlindungan hukum; 6) perlindungan ketenagakerjaan; 7) infrastruktur.

Baca Juga:  Generasi Milenial dan Birokrasi 

Namun tampaknya kebijakan Kota Layak Anak masih belum terlalu menjadi prioritas pada pemerintah provinsi Riau. Hal ini ditandai dengan sebuah fakta bahwa baru pada tahun 2013 dikeluarkan Perda Provinsi Riau tentang Perlindungan dan Hak Dasar Anak (Perda Provinsi Riau No.3 Tahun 2013). Keluarnya Perda provinsi Riau tersebut, dinilai sangat terlambat jika dibandingkan dengan keluarnya kebijakan nasional tentang Kota Layak Anak yang telah dirintis sejak 2006.

Di sisi lain, meski peraturan tentang perlindungan terhadap anak telah ditetapkan dengan sedemikian baiknya, namun masih terdapat banyak pemberitaan tentang kekerasaan terhadap anak; anak lahir dan mati di kamar mandi, anak disiksa, dicabuli, dieksploitasi, dipekerjakan di bawah umur, dan dinikahkan pada usia dini dengan alasan ekonomi. Sederet contoh ini merupakan bukti bahwa keluarga sebagai institusi terkecil dalam masyarkat belum seluruhnya ramah terhadap anak.

Peran Pesantren untuk KLA

Pesantren merupakan lembaga yang berbasis masyarakat yang menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt., menyemaikan akhlak mulia, serta memegang teguh ajaran Islam rahmatan lil’alamin yang tercermin dari sikap rendah hati, toleran, keseimbangan, moderat, dan nilai luhur bangsa Indonesia lainnya melalui pendidikan, dakwah Islam, keteladanan, dan pemberdayaan masyarakat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Baca Juga:  Angin Segar UU Pesantren

Persoalan terkait perlindungan terhadap anak harus menjadi perhatian bagi pemerintah dan juga seluruh pihak, termasuk pesantren. Pesantren, masyarakat, dan pemerintah harus bersinergi di dalam mendorong terwujudnya kota layak anak di Provinsi Riau.

Pesantren semakin memiliki posisi yang strategis dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren. Regulasi tersebut memperkuat posisi pesantren untuk berperan aktif dalam mempengaruhi proses kebijakan pemerintah. Setidaknya beberapa peran yang dapat dijalankan oleh pesantren adalah sebagai berikut:

Pertama, pemberi pertimbangan  (advisory agency); pesantren harus mampu menjadi salah satu stake holder bagi pemerintah dalam implementasi dan sosialisasi kebijakan kota layak anak. Kedua, pendukung (supporting agency); pesantren harus selalu mengambil peran untuk memberikan dukungan baik berupa pemikiran, maupun tenaga untuk mendorong terwujudnya Kota Layak Anak di seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Riau.

Ketiga, pengontrol (controlling agency); pesantren dapat menjadi agen control dalam rangka tercapainya transparansi dan akuntabilitas dalam implementasi kebijakan Kota Layak Anak di Provinsi Riau. Keempat, mediator; pesantren harus mampu menjadi jembatan antara pemerintah dengan masyarakat agar mendorong percepatan terwujudnya Kota Layak Anak.

Kelima, model (contoh/uswatun); dengan nilai-nilai rahamatan lil alamin yang telah tertanam di pesantren, maka sudah sepatutnya pesantren dapat menjadi model atau percontohan bagi   terwujudnya kondisi yang ramah anak, sehingga hal ini dapat mendorong tercapainya Kota Layak Anak.***

 

Mustiqowati Ummul Fithriyyah, Dosen Administrasi Negara Fekonsos UIN Suska Riau

Perlindungan terhadap anak mutlak diberikan oleh setiap komponen stakeholder, supaya anak dapat tumbuh dan berkembang secara wajar. Sesuai dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, perlindungan anak mencakup anak yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan, dan meliputi hak-hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupan serta mendapat perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi.

Perlindungan anak yang dimaksud, hendaknya mencakup pada seluruh bidang pembangunan. Pembangunan perlindungan anak yang terintegrasi dan komprehensif akan menghasilkan kebijakan publik yang lebih efektif dalam mewujudkan dunia yang layak bagi seluruh anak Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan (LAKIP KPP-P, 2013: 6). Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KPP) bersama sektor pemerintah terkait, organisasi masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat telah berikhtiar mengembangkan model Kota Layak Anak (KLA).

- Advertisement -

KLA yaitu kota yang di dalamnya telah mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak anak. Kota Layak Anak (KLA) dimaksudkan sebagai sebuah upaya nyata untuk menyatukan isu hak anak ke dalam perencanaan dan pembangunan kabupaten/kota. Pembangunan yang peduli anak pada dasarnya adalah suatu kondisi adanya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak anak.

Dan demi tercapaianya percepatan pengembangan Kota Layak Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah menjadikan model Kota Layak Anak (KLA) ini sebagai prioritas program dalam bidang kesejahteraan dan perlindungan anak dengan menetapkan 7 (tujuh) aspek penting dalam pengembangan KLA, yaitu: 1) kesehatan; 2) pendidikan; 3) sosial; 4) hak sipil dan partisipasi; 5) perlindungan hukum; 6) perlindungan ketenagakerjaan; 7) infrastruktur.

- Advertisement -
Baca Juga:  Potensi Wakaf di Riau

Namun tampaknya kebijakan Kota Layak Anak masih belum terlalu menjadi prioritas pada pemerintah provinsi Riau. Hal ini ditandai dengan sebuah fakta bahwa baru pada tahun 2013 dikeluarkan Perda Provinsi Riau tentang Perlindungan dan Hak Dasar Anak (Perda Provinsi Riau No.3 Tahun 2013). Keluarnya Perda provinsi Riau tersebut, dinilai sangat terlambat jika dibandingkan dengan keluarnya kebijakan nasional tentang Kota Layak Anak yang telah dirintis sejak 2006.

Di sisi lain, meski peraturan tentang perlindungan terhadap anak telah ditetapkan dengan sedemikian baiknya, namun masih terdapat banyak pemberitaan tentang kekerasaan terhadap anak; anak lahir dan mati di kamar mandi, anak disiksa, dicabuli, dieksploitasi, dipekerjakan di bawah umur, dan dinikahkan pada usia dini dengan alasan ekonomi. Sederet contoh ini merupakan bukti bahwa keluarga sebagai institusi terkecil dalam masyarkat belum seluruhnya ramah terhadap anak.

Peran Pesantren untuk KLA

Pesantren merupakan lembaga yang berbasis masyarakat yang menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt., menyemaikan akhlak mulia, serta memegang teguh ajaran Islam rahmatan lil’alamin yang tercermin dari sikap rendah hati, toleran, keseimbangan, moderat, dan nilai luhur bangsa Indonesia lainnya melalui pendidikan, dakwah Islam, keteladanan, dan pemberdayaan masyarakat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Baca Juga:  Generasi Milenial dan Birokrasi 

Persoalan terkait perlindungan terhadap anak harus menjadi perhatian bagi pemerintah dan juga seluruh pihak, termasuk pesantren. Pesantren, masyarakat, dan pemerintah harus bersinergi di dalam mendorong terwujudnya kota layak anak di Provinsi Riau.

Pesantren semakin memiliki posisi yang strategis dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren. Regulasi tersebut memperkuat posisi pesantren untuk berperan aktif dalam mempengaruhi proses kebijakan pemerintah. Setidaknya beberapa peran yang dapat dijalankan oleh pesantren adalah sebagai berikut:

Pertama, pemberi pertimbangan  (advisory agency); pesantren harus mampu menjadi salah satu stake holder bagi pemerintah dalam implementasi dan sosialisasi kebijakan kota layak anak. Kedua, pendukung (supporting agency); pesantren harus selalu mengambil peran untuk memberikan dukungan baik berupa pemikiran, maupun tenaga untuk mendorong terwujudnya Kota Layak Anak di seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Riau.

Ketiga, pengontrol (controlling agency); pesantren dapat menjadi agen control dalam rangka tercapainya transparansi dan akuntabilitas dalam implementasi kebijakan Kota Layak Anak di Provinsi Riau. Keempat, mediator; pesantren harus mampu menjadi jembatan antara pemerintah dengan masyarakat agar mendorong percepatan terwujudnya Kota Layak Anak.

Kelima, model (contoh/uswatun); dengan nilai-nilai rahamatan lil alamin yang telah tertanam di pesantren, maka sudah sepatutnya pesantren dapat menjadi model atau percontohan bagi   terwujudnya kondisi yang ramah anak, sehingga hal ini dapat mendorong tercapainya Kota Layak Anak.***

 

Mustiqowati Ummul Fithriyyah, Dosen Administrasi Negara Fekonsos UIN Suska Riau

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari