Senin, 20 Mei 2024

Membunuh Rasa Ego

Malik bin Dinar, seorang sufi asal Persia, meninggalkan kisah pertobatan yang menggugah. Bertampang keren dengan harta yang berlimpah, Malik masih jua punya angan keinginan untuk diangkat menjadi takmir masjid agung yang baru dibangun Mu’awiyah di Damaskus. Maka, rajinlah ia pergi ke masjid itu. Di salah satu pojoknya, ia bentangkan sajadah dan selama setahun terus-menerus ia beribadah seraya berharap agar setiap orang yang melihatnya salat tersentuh hatinya.
“Alangkah munafiknya engkau ini,” bisik hatinya. Setelah setahun berlalu, bila malam datang, ia keluar dari masjid itu dan pergi bersenang-senang. Pada suatu malam, di tengah-tengah keasyikannya bermain musik, tiba-tiba dari kecapi yang dimainkannya seperti terdengar suara: “Malik, mengapa engkau belum juga bertobat?” Hatinya bergetar, kecapi dilemparkannya dan ia bergegas kembali ke masjid. “Selama setahun penuh aku berpura-pura menyembah Allah,“kata hatinya. Bukankah lebih baik jika kusembah Allah dengan sepenuh hati? Alangkah hinanya beribadah hanya sekadar untuk kedudukan. Bila orang hendak mengangkatku sebagai takmir masjid, aku tak mau menerimanya”. Untuk pertama kalinya malam itu ia salat dengan khusyuk dan ikhlas.
Keesokan harinya, orang-orang yang berkumpul di masjid seperti baru tersadar. “Hai lihatlah, dinding masjid ini telah retak-retak. Kita harus mengangkat seorang pengawas untuk memperbaikinya.” Akhirnya mereka bersepakat, Malik-lah orang yang tepat. Menungguinya hingga usai salat, mereka lantas berkata: “Kami memohon kepadamu, sudilah kiranya tuan menerima pengangkatan kami.” Ya Allah, kata Malik, Setahun penuh aku menyembah-Mu secara munafik dan tak seorangpun yang memandangku. Kini, setelah kuserahkan jiwaku pada-Mu dan bertekad tak akan menerima jabatan itu, Engkau malah menyuruh dua puluh orang menghadapku untuk mengalungkan tugas itu ke leherku. Demi kebesaran-Mu, aku tak menginginkan pengangkatan atas diriku”.
Kisah ini membersitkan iktibar bahwa ketulusan beribadah kepada Allah memancarkan kepercayaan dalam relasi kemanusiaan. Masalahnya adalah, entah berapa banyak di antara kita yang beribadah sekadar demi dirinya sendiri, bersalat demi tradisi, Bangun masjid demi tutup korupsi, berhaji demi gengsi, berkhutbah demi mencaci, berzakat demi pamer diri. Nau’zubillah.
Membunuh Ego
Beragama secara posesif, demi modus “memiliki” (to have) atau modus “menjadi” (to be), hanyalah berselancar di permukaan gelombang bahaya, tanpa kesanggupan menggali kedalaman yang suci. Tanpa menyelam di kedalaman pengalaman spiritual, keberagamaan menjadi mandul, kering dan keras, tak  memiliki sensitivitas-kontemplatif, daya-daya kuratif serta hubungan-hubungan transformatif dengan yang Suci dan yang profan. Tanpa penghayatan nilai spiritual yang dalam, orang akan kehilangan apa yang disebut penyair Jhon Keats sebagai negative capability, yakni kesanggupan untuk berdamai dengan ketidakpastian, misteri dan keraguan dalam hidup. Tanpa menghikmati misteri, manusia memaksakan absolutisme sebagai respon ketakutan atas kompleksitas kehidupan dunia, yang menimbulkan penghancuran ke dalam dan ancaman keluar.
Singkat kata, tanpa kedalaman spiritual dengan ketulusan bakti pada yang suci, peribadatan tak akan membawa dampak konstruktif, melainkan destruktif bagi kemanusiaan. Orang yang pura-pura mengabdi pada Ilahi akan berpura-pura mengabdi kepada kemanusiaan. Oleh karena itu, tak layak ia jadi pemimpin dan tak dapat dipercaya memikul amanah. Ibadah mengabdi kepada Ilahi Robbi  adalah momen pelatihan spiritual untuk membunuh ego dan menghidupkan kembali ketulusan pengabdian pada sang Ilahi. 
Mulus karena Tulus
Dikisahkan pula di sebuah daerah hiduplah seorang ahli agama. Suatu ketika ia digerahkan karena masyarakat ditempatnya ia tinggal banyak yang menyembah pohon keramat. Maka dengan serta merta ia menuju lokasi untuk menebang pohon tersebut. Di tengah perjalanan ia bertemu setan yang mengajaknya berkelahi, lantas setan itu pun kalah. Pemuka agama itu ingin segera menebang pohon yang jadi sasaran utamanya. Akan tetapi ia membatalkan aksinya ketika ditawari sebuah tawaran yang menggiurkan oleh setan. Setan berjanji akan memberinya uang setiap malam di bawah sajadahnya. Mendengar perjanjian setan itu, ia sepakat untuk tidak menebang pohon, mengingat ia sendiri miskin dan perlu banyak dana untuk membangun tempat peribadatan dan segala hal terkait agama. Apa yang dikatakan setan ternyata betul, selepas salat malam ia senantiasa menjumpai banyak uang di bawah sajadahnya. Namun beberapa hari kemudian ia tidak lagi menemukan uang investasi setan tersebut. Akhirnya ia marah luar biasa, dan dengan sangat marahnya ia bergegas menuju lokasi penyembahan pohon sambil membawa kapak. Di tengah perjalanan ia kembali berjumpa dengan setan yang dulu berhasil ia kalahkan. Maka perkelahian jilid II terjadi kembali, kali ini lebih seru dan menegangkan.
Singkat cerita, setanlah yang menjadi pemenangnya. Pemuka agama itu heran mengapa ia bisa kalah? Padahal apa yang hendak ia kerjakan adalah sebuah tindakan ibadah nahi munkar, membasmi kemusyrikan yang merajalela lewat sembahan pohon itu. Setan menjawab: “ Dulu aku memang kalah, sebab niatmu ketika hendak menebang pohon itu sangat ikhlas semata karena Allah SWT. Akan tetapi hari ini, engkau dapat kukalahkan, karena niatmu jelas bukan lagi karena Allah, melainkan karena uang yang aku janjikan dulu sudah tidak lagi kau jumpai.”
Kisah ini kembali mengingatkan kita, bahwa ikhlas dapat mempengaruhi hasil. Seseorang yang mengerjakan sesuatu dengan dilandasi ikhlas maka akan berhasil dengan mulus, apa yang dicapai akan sejalan dengan apa yang ia harapkan. Tetapi jika perbuatannya hanya karena modus maka ia tidak akan mampu mencapai hasil yang maksimal bahkan berujung kegagalan. Ketidak ikhlasan dalam beramal inilah yang tidak akan mendapatkan keuntungan apapun di akhirat, karena diterima dan tidaknya suatu amal tergantung pada keikhlasan ketika melakukannya. Orang yang tidak ikhlas sama saja dengan memancing ikan di kolam yang tidak ada ikannya. Tidak ada hasil, hanya sia-sia belaka.
Di akhir tulisan ini mari sama-sama kita ber-muhasabah diri sebagaimana yang telah disabdakan oleh  Rasulullah SAW, “Barang siapa yang menuntut ilmu yang semestinya dalam rangka untuk mengharap ridha Allah semata, tetapi ternyata tidaklah dia menuntutnya kecuali hanya untuk meraih sebagian dari perkara dunia, maka ia tidak akan mendapatkan aroma surga pada hari kiamat nanti.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah).
Semoga Allah SWT menjadikan kita semua sebagai hamba-Nya yang mukhlisin agar segala amal saleh yang kita perbuat senantiasa dilandasi oleh ketulusan Lillahi ta’ala. Wallahu a’lam.***
Baca Juga:  Menilai Wajah Pelayanan Publik Indonesia
Malik bin Dinar, seorang sufi asal Persia, meninggalkan kisah pertobatan yang menggugah. Bertampang keren dengan harta yang berlimpah, Malik masih jua punya angan keinginan untuk diangkat menjadi takmir masjid agung yang baru dibangun Mu’awiyah di Damaskus. Maka, rajinlah ia pergi ke masjid itu. Di salah satu pojoknya, ia bentangkan sajadah dan selama setahun terus-menerus ia beribadah seraya berharap agar setiap orang yang melihatnya salat tersentuh hatinya.
“Alangkah munafiknya engkau ini,” bisik hatinya. Setelah setahun berlalu, bila malam datang, ia keluar dari masjid itu dan pergi bersenang-senang. Pada suatu malam, di tengah-tengah keasyikannya bermain musik, tiba-tiba dari kecapi yang dimainkannya seperti terdengar suara: “Malik, mengapa engkau belum juga bertobat?” Hatinya bergetar, kecapi dilemparkannya dan ia bergegas kembali ke masjid. “Selama setahun penuh aku berpura-pura menyembah Allah,“kata hatinya. Bukankah lebih baik jika kusembah Allah dengan sepenuh hati? Alangkah hinanya beribadah hanya sekadar untuk kedudukan. Bila orang hendak mengangkatku sebagai takmir masjid, aku tak mau menerimanya”. Untuk pertama kalinya malam itu ia salat dengan khusyuk dan ikhlas.
Keesokan harinya, orang-orang yang berkumpul di masjid seperti baru tersadar. “Hai lihatlah, dinding masjid ini telah retak-retak. Kita harus mengangkat seorang pengawas untuk memperbaikinya.” Akhirnya mereka bersepakat, Malik-lah orang yang tepat. Menungguinya hingga usai salat, mereka lantas berkata: “Kami memohon kepadamu, sudilah kiranya tuan menerima pengangkatan kami.” Ya Allah, kata Malik, Setahun penuh aku menyembah-Mu secara munafik dan tak seorangpun yang memandangku. Kini, setelah kuserahkan jiwaku pada-Mu dan bertekad tak akan menerima jabatan itu, Engkau malah menyuruh dua puluh orang menghadapku untuk mengalungkan tugas itu ke leherku. Demi kebesaran-Mu, aku tak menginginkan pengangkatan atas diriku”.
Kisah ini membersitkan iktibar bahwa ketulusan beribadah kepada Allah memancarkan kepercayaan dalam relasi kemanusiaan. Masalahnya adalah, entah berapa banyak di antara kita yang beribadah sekadar demi dirinya sendiri, bersalat demi tradisi, Bangun masjid demi tutup korupsi, berhaji demi gengsi, berkhutbah demi mencaci, berzakat demi pamer diri. Nau’zubillah.
Membunuh Ego
Beragama secara posesif, demi modus “memiliki” (to have) atau modus “menjadi” (to be), hanyalah berselancar di permukaan gelombang bahaya, tanpa kesanggupan menggali kedalaman yang suci. Tanpa menyelam di kedalaman pengalaman spiritual, keberagamaan menjadi mandul, kering dan keras, tak  memiliki sensitivitas-kontemplatif, daya-daya kuratif serta hubungan-hubungan transformatif dengan yang Suci dan yang profan. Tanpa penghayatan nilai spiritual yang dalam, orang akan kehilangan apa yang disebut penyair Jhon Keats sebagai negative capability, yakni kesanggupan untuk berdamai dengan ketidakpastian, misteri dan keraguan dalam hidup. Tanpa menghikmati misteri, manusia memaksakan absolutisme sebagai respon ketakutan atas kompleksitas kehidupan dunia, yang menimbulkan penghancuran ke dalam dan ancaman keluar.
Singkat kata, tanpa kedalaman spiritual dengan ketulusan bakti pada yang suci, peribadatan tak akan membawa dampak konstruktif, melainkan destruktif bagi kemanusiaan. Orang yang pura-pura mengabdi pada Ilahi akan berpura-pura mengabdi kepada kemanusiaan. Oleh karena itu, tak layak ia jadi pemimpin dan tak dapat dipercaya memikul amanah. Ibadah mengabdi kepada Ilahi Robbi  adalah momen pelatihan spiritual untuk membunuh ego dan menghidupkan kembali ketulusan pengabdian pada sang Ilahi. 
Mulus karena Tulus
Dikisahkan pula di sebuah daerah hiduplah seorang ahli agama. Suatu ketika ia digerahkan karena masyarakat ditempatnya ia tinggal banyak yang menyembah pohon keramat. Maka dengan serta merta ia menuju lokasi untuk menebang pohon tersebut. Di tengah perjalanan ia bertemu setan yang mengajaknya berkelahi, lantas setan itu pun kalah. Pemuka agama itu ingin segera menebang pohon yang jadi sasaran utamanya. Akan tetapi ia membatalkan aksinya ketika ditawari sebuah tawaran yang menggiurkan oleh setan. Setan berjanji akan memberinya uang setiap malam di bawah sajadahnya. Mendengar perjanjian setan itu, ia sepakat untuk tidak menebang pohon, mengingat ia sendiri miskin dan perlu banyak dana untuk membangun tempat peribadatan dan segala hal terkait agama. Apa yang dikatakan setan ternyata betul, selepas salat malam ia senantiasa menjumpai banyak uang di bawah sajadahnya. Namun beberapa hari kemudian ia tidak lagi menemukan uang investasi setan tersebut. Akhirnya ia marah luar biasa, dan dengan sangat marahnya ia bergegas menuju lokasi penyembahan pohon sambil membawa kapak. Di tengah perjalanan ia kembali berjumpa dengan setan yang dulu berhasil ia kalahkan. Maka perkelahian jilid II terjadi kembali, kali ini lebih seru dan menegangkan.
Singkat cerita, setanlah yang menjadi pemenangnya. Pemuka agama itu heran mengapa ia bisa kalah? Padahal apa yang hendak ia kerjakan adalah sebuah tindakan ibadah nahi munkar, membasmi kemusyrikan yang merajalela lewat sembahan pohon itu. Setan menjawab: “ Dulu aku memang kalah, sebab niatmu ketika hendak menebang pohon itu sangat ikhlas semata karena Allah SWT. Akan tetapi hari ini, engkau dapat kukalahkan, karena niatmu jelas bukan lagi karena Allah, melainkan karena uang yang aku janjikan dulu sudah tidak lagi kau jumpai.”
Kisah ini kembali mengingatkan kita, bahwa ikhlas dapat mempengaruhi hasil. Seseorang yang mengerjakan sesuatu dengan dilandasi ikhlas maka akan berhasil dengan mulus, apa yang dicapai akan sejalan dengan apa yang ia harapkan. Tetapi jika perbuatannya hanya karena modus maka ia tidak akan mampu mencapai hasil yang maksimal bahkan berujung kegagalan. Ketidak ikhlasan dalam beramal inilah yang tidak akan mendapatkan keuntungan apapun di akhirat, karena diterima dan tidaknya suatu amal tergantung pada keikhlasan ketika melakukannya. Orang yang tidak ikhlas sama saja dengan memancing ikan di kolam yang tidak ada ikannya. Tidak ada hasil, hanya sia-sia belaka.
Di akhir tulisan ini mari sama-sama kita ber-muhasabah diri sebagaimana yang telah disabdakan oleh  Rasulullah SAW, “Barang siapa yang menuntut ilmu yang semestinya dalam rangka untuk mengharap ridha Allah semata, tetapi ternyata tidaklah dia menuntutnya kecuali hanya untuk meraih sebagian dari perkara dunia, maka ia tidak akan mendapatkan aroma surga pada hari kiamat nanti.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah).
Semoga Allah SWT menjadikan kita semua sebagai hamba-Nya yang mukhlisin agar segala amal saleh yang kita perbuat senantiasa dilandasi oleh ketulusan Lillahi ta’ala. Wallahu a’lam.***
Baca Juga:  Menilik Perdagangan Rusia dan Ukraina
Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari