Wacana Sekolah Tiga Hari

Informasi terkait “sekolah tiga hari” sedang memenuhi beranda-beranda media sosial. Usulan mengenai format baru durasi waktu sekolah itu tidak main-main, diusulkan oleh salah satu tokoh nasional ternama yaitu Kak Seto sebagai ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) sang pencetus homeschooling. Lantas Hal itu pun ramai diperbincangkan para praktisi pendidikan mengenai regulasi atau dasar usulan sekolah tiga hari itu, dengan harap-harap cemas para pendidik pun sedang menanti dengan nada serius, mungkinkah sekolah tiga hari itu terwujud?
Peluang Regulasi
Akankah menjadi kenyataan “sekolah tiga hari” itu? Jika merujuk kepada dasar yuridis yang ada yakni UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, peluang sekolah tiga hari ada, namun dengan beberapa klasifikasi, dapat berlaku bagi sekolah informal (swasta) dan tidak akan berlaku bagi sekolah formal. Sekolah non-formal atau in-formal dengan aturan atau regulasi yang tidak se kaku sekolah formal, akan mudah melaksanakannya tergantung pucuk pimpinan, sifatnya berdasarkan kebutuhan dan berbasis perkembangan anak, metode belajar pun hanya berupa modul-modul belajar yang didesain gembira dan menyenangkan begitu menurut penjelasan Kak Seto (detiknews, 7 Desember 2019). Sementara Sekolah formal (Negeri) tampaknya tidak miliki ruang untuk model sekolah seperti ini karena regulasi mulai jalur, jenis dan jenjang sekolah, kurikulum, aturan waktu dan jam sudah full tidak dapat diotak-atik sehingga tidak memiliki peluang, yang ada hanya inovasi-inovasi kurikulum atau model pembelajaran sementara aturan waktu sekolah senin sampai jum’at atau sabtu tidak mungkin dirubah.
Esensi sekolah tiga hari sebenarnya hanya dihari-hari tertentu saja yakni hari senin, rabu dan jum’at sedangkan waktu jam belajar cukup tiga jam saja begitu menurut penjelasan Kak Seto (detiknews, 7 Desember 2019). Hal itu beliau sampaikan terkait keberhasilan sekolah non-formal garapannya berupa homeschooling yang sudah berlaku 13 tahun di Indonesia dan lulusannya mampu kuliah di beberapa kampus ternama dalam dan luar negeri dan juga diperkuat dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 129 Tahun 2014 ayat 1 dan 7 legalitas “sekolah rumah” tidak dapat diragukan dan diakui.
Penting untuk diketahui oleh para orangtua adalah ada beberapa anak yang memang suka dan senang ke sekolah setiap hari dan ada juga yang tidak. Dengan berdasarkan perkembangan psikologis anak itu, maka tidak mungkin memaksa anak yang suka sekolah tiga hari harus ke sekolah setiap hari. Tampak disini pentingnya kolaborasi antara sekolah, orangtua dan anak yang juga turut menentukan kesuksesan belajar anak. Memang selama ini kolaborasi masih menjadi PR besar untuk memajukan pendidikan Indonesia masih banyak anggapan miring masyarakat mengenai berbagai ciri unik anak-anak. Sehingga kesan malu atau tidak keren jika tidak mengantar anak-anak ke sekolah dan bergelut dengan kemacetan di pagi – sore hari masih menjadi gengsi tersendiri. Seharusnya pilihan sekolah baik suka atau tidak yang full maupun sekedar tiga hari menjadi milik anak-anak bukan milik orangtua. Tentu dengan berbagai pertimbangan kolaborasi.
Memang “Sekolah Tiga Hari” tidak akan cocok bagi anak-anak yang memilih untuk belajar di pondok pesantren, didasarkan pada pilihan melatih kemandirian, prinsip long life education/minal mahdi ilal lakhdi, belajar tiga hari tentu tidak cukup, karena hakikat belajar di pesantren dan proses sentuhan bimbingan jasmani maupun ruhani berlaku selama 24 jam, keteladan kiai/ustaz menjadi kunci sukses pendidikan di pesantren, tidak diragukan pesantren telah berhasil mengantarkan para santri menjadi tokoh-tokoh adab, arif dan bijaksana. 
Hal yang wajar jika suatu sekolah yang dinilai berhasil mengantarkan para lulusan keberbagai kampus ternama memberikan contoh atau masukan kepada pemerintah, apalagi sampai mengantarkan anak-anak dapat berperan di tengah kemajemukan masyarakat tentnya meniru atau sekedar mempelajari program-program sekolah tersebut sangatlah baik. 
Seperti isu mengenai “Merdeka Belajar” dan “Guru Penggerak” dari Kampus Cikal atau sekolah cikal garapan Kak Najheela Syihab yang berhasil memberikan nuansa baru bagi jihad pendidik untuk membawa perbaikan dan perubahan cepat pada aspek pendidikan terus digaungkan oleh Mas Menteri Nadhim, walaupun masih mendapat tanggapan beragam, nyatanya guru-guru di sana terus bergerak dan merdeka.
Inovasi tanpa Henti
Lalu, apa yang perlu dilakukan guru jika benar-benar sekolah hanya tiga hari? Sebagai pendidik profesional selalu ada ruang untuk terus menginovasi metode, strategi dan model pembelajaran bahkan sesekali perlu mencoba keluar dari zona nyaman, mengikuti pelatihan-pelatihan yang tidak terjadwal oleh pihak kurikulum, guru bisa mandiri mengikuti berbagai pelatihan secara online dan gratis, tidak perlu juga menunggu pemateri seorang profesor, karena sejatinya pemateri hebat adalah guru itu sendiri, yang mau berbagi praktik baik pengajaran di kelasnya kepada guru-guru lain. Di sini sebenarnya makna kemerdekaan dan pergerakan guru itu,  yang mau terus belajar, bereksperimen dan berbagai tanpa menunggu ada komando dari siapapun.
Model blended learning bisa menjadi pilihan cocok jika sekolah hanya tiga hari, peluang untuk memadukan 2 model antara pembelajaran online dan ofline sangat besar, jadi guru bisa melakukan tiga hari ofline atau tatap muka disertai dengan modul-modul menarik yang sudah disiapkan, sementara sisanya dapat menggunakan model online bisa menggunakan google classroom, sekolahmu, atau aplikasi lain yang mudah diaplikasikan di dalam kelas. 
Peran guru sebagai instruktur kelas online diperkuat dengan tatap muka (ofline) merupakan bagian inovasi pembelajaran. Jikapun tidak dengan model ini guru boleh menggunakan model atau aplikasi lain yang mudah digunakannya. Apapun aturan, waktu dan model sekolah selalu ada ruang bagi guru untuk terus berinovasi. SemogaWacana Sekolah Tiga Hari
Informasi terkait “sekolah tiga hari” sedang memenuhi beranda-beranda media sosial. Usulan mengenai format baru durasi waktu sekolah itu tidak main-main, diusulkan oleh salah satu tokoh nasional ternama yaitu Kak Seto sebagai ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) sang pencetus homeschooling. Lantas Hal itu pun ramai diperbincangkan para praktisi pendidikan mengenai regulasi atau dasar usulan sekolah tiga hari itu, dengan harap-harap cemas para pendidik pun sedang menanti dengan nada serius, mungkinkah sekolah tiga hari itu terwujud?
Peluang Regulasi
Akankah menjadi kenyataan “sekolah tiga hari” itu? Jika merujuk kepada dasar yuridis yang ada yakni UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, peluang sekolah tiga hari ada, namun dengan beberapa klasifikasi, dapat berlaku bagi sekolah informal (swasta) dan tidak akan berlaku bagi sekolah formal. Sekolah non-formal atau in-formal dengan aturan atau regulasi yang tidak se kaku sekolah formal, akan mudah melaksanakannya tergantung pucuk pimpinan, sifatnya berdasarkan kebutuhan dan berbasis perkembangan anak, metode belajar pun hanya berupa modul-modul belajar yang didesain gembira dan menyenangkan begitu menurut penjelasan Kak Seto (detiknews, 7 Desember 2019). Sementara Sekolah formal (Negeri) tampaknya tidak miliki ruang untuk model sekolah seperti ini karena regulasi mulai jalur, jenis dan jenjang sekolah, kurikulum, aturan waktu dan jam sudah full tidak dapat diotak-atik sehingga tidak memiliki peluang, yang ada hanya inovasi-inovasi kurikulum atau model pembelajaran sementara aturan waktu sekolah senin sampai jum’at atau sabtu tidak mungkin dirubah.
Esensi sekolah tiga hari sebenarnya hanya dihari-hari tertentu saja yakni hari senin, rabu dan jum’at sedangkan waktu jam belajar cukup tiga jam saja begitu menurut penjelasan Kak Seto (detiknews, 7 Desember 2019). Hal itu beliau sampaikan terkait keberhasilan sekolah non-formal garapannya berupa homeschooling yang sudah berlaku 13 tahun di Indonesia dan lulusannya mampu kuliah di beberapa kampus ternama dalam dan luar negeri dan juga diperkuat dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 129 Tahun 2014 ayat 1 dan 7 legalitas “sekolah rumah” tidak dapat diragukan dan diakui.
Penting untuk diketahui oleh para orangtua adalah ada beberapa anak yang memang suka dan senang ke sekolah setiap hari dan ada juga yang tidak. Dengan berdasarkan perkembangan psikologis anak itu, maka tidak mungkin memaksa anak yang suka sekolah tiga hari harus ke sekolah setiap hari. Tampak disini pentingnya kolaborasi antara sekolah, orangtua dan anak yang juga turut menentukan kesuksesan belajar anak. Memang selama ini kolaborasi masih menjadi PR besar untuk memajukan pendidikan Indonesia masih banyak anggapan miring masyarakat mengenai berbagai ciri unik anak-anak. Sehingga kesan malu atau tidak keren jika tidak mengantar anak-anak ke sekolah dan bergelut dengan kemacetan di pagi – sore hari masih menjadi gengsi tersendiri. Seharusnya pilihan sekolah baik suka atau tidak yang full maupun sekedar tiga hari menjadi milik anak-anak bukan milik orangtua. Tentu dengan berbagai pertimbangan kolaborasi.
Memang “Sekolah Tiga Hari” tidak akan cocok bagi anak-anak yang memilih untuk belajar di pondok pesantren, didasarkan pada pilihan melatih kemandirian, prinsip long life education/minal mahdi ilal lakhdi, belajar tiga hari tentu tidak cukup, karena hakikat belajar di pesantren dan proses sentuhan bimbingan jasmani maupun ruhani berlaku selama 24 jam, keteladan kiai/ustaz menjadi kunci sukses pendidikan di pesantren, tidak diragukan pesantren telah berhasil mengantarkan para santri menjadi tokoh-tokoh adab, arif dan bijaksana. 
Hal yang wajar jika suatu sekolah yang dinilai berhasil mengantarkan para lulusan keberbagai kampus ternama memberikan contoh atau masukan kepada pemerintah, apalagi sampai mengantarkan anak-anak dapat berperan di tengah kemajemukan masyarakat tentnya meniru atau sekedar mempelajari program-program sekolah tersebut sangatlah baik. 
Seperti isu mengenai “Merdeka Belajar” dan “Guru Penggerak” dari Kampus Cikal atau sekolah cikal garapan Kak Najheela Syihab yang berhasil memberikan nuansa baru bagi jihad pendidik untuk membawa perbaikan dan perubahan cepat pada aspek pendidikan terus digaungkan oleh Mas Menteri Nadhim, walaupun masih mendapat tanggapan beragam, nyatanya guru-guru di sana terus bergerak dan merdeka.
Inovasi tanpa Henti
Lalu, apa yang perlu dilakukan guru jika benar-benar sekolah hanya tiga hari? Sebagai pendidik profesional selalu ada ruang untuk terus menginovasi metode, strategi dan model pembelajaran bahkan sesekali perlu mencoba keluar dari zona nyaman, mengikuti pelatihan-pelatihan yang tidak terjadwal oleh pihak kurikulum, guru bisa mandiri mengikuti berbagai pelatihan secara online dan gratis, tidak perlu juga menunggu pemateri seorang profesor, karena sejatinya pemateri hebat adalah guru itu sendiri, yang mau berbagi praktik baik pengajaran di kelasnya kepada guru-guru lain. Di sini sebenarnya makna kemerdekaan dan pergerakan guru itu,  yang mau terus belajar, bereksperimen dan berbagai tanpa menunggu ada komando dari siapapun.
Model blended learning bisa menjadi pilihan cocok jika sekolah hanya tiga hari, peluang untuk memadukan 2 model antara pembelajaran online dan ofline sangat besar, jadi guru bisa melakukan tiga hari ofline atau tatap muka disertai dengan modul-modul menarik yang sudah disiapkan, sementara sisanya dapat menggunakan model online bisa menggunakan google classroom, sekolahmu, atau aplikasi lain yang mudah diaplikasikan di dalam kelas. 
Peran guru sebagai instruktur kelas online diperkuat dengan tatap muka (ofline) merupakan bagian inovasi pembelajaran. Jikapun tidak dengan model ini guru boleh menggunakan model atau aplikasi lain yang mudah digunakannya. Apapun aturan, waktu dan model sekolah selalu ada ruang bagi guru untuk terus berinovasi. Semoga***
Informasi terkait “sekolah tiga hari” sedang memenuhi beranda-beranda media sosial. Usulan mengenai format baru durasi waktu sekolah itu tidak main-main, diusulkan oleh salah satu tokoh nasional ternama yaitu Kak Seto sebagai ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) sang pencetus homeschooling. Lantas Hal itu pun ramai diperbincangkan para praktisi pendidikan mengenai regulasi atau dasar usulan sekolah tiga hari itu, dengan harap-harap cemas para pendidik pun sedang menanti dengan nada serius, mungkinkah sekolah tiga hari itu terwujud?
Peluang Regulasi
Akankah menjadi kenyataan “sekolah tiga hari” itu? Jika merujuk kepada dasar yuridis yang ada yakni UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, peluang sekolah tiga hari ada, namun dengan beberapa klasifikasi, dapat berlaku bagi sekolah informal (swasta) dan tidak akan berlaku bagi sekolah formal. Sekolah non-formal atau in-formal dengan aturan atau regulasi yang tidak se kaku sekolah formal, akan mudah melaksanakannya tergantung pucuk pimpinan, sifatnya berdasarkan kebutuhan dan berbasis perkembangan anak, metode belajar pun hanya berupa modul-modul belajar yang didesain gembira dan menyenangkan begitu menurut penjelasan Kak Seto (detiknews, 7 Desember 2019). Sementara Sekolah formal (Negeri) tampaknya tidak miliki ruang untuk model sekolah seperti ini karena regulasi mulai jalur, jenis dan jenjang sekolah, kurikulum, aturan waktu dan jam sudah full tidak dapat diotak-atik sehingga tidak memiliki peluang, yang ada hanya inovasi-inovasi kurikulum atau model pembelajaran sementara aturan waktu sekolah senin sampai jum’at atau sabtu tidak mungkin dirubah.
Esensi sekolah tiga hari sebenarnya hanya dihari-hari tertentu saja yakni hari senin, rabu dan jum’at sedangkan waktu jam belajar cukup tiga jam saja begitu menurut penjelasan Kak Seto (detiknews, 7 Desember 2019). Hal itu beliau sampaikan terkait keberhasilan sekolah non-formal garapannya berupa homeschooling yang sudah berlaku 13 tahun di Indonesia dan lulusannya mampu kuliah di beberapa kampus ternama dalam dan luar negeri dan juga diperkuat dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 129 Tahun 2014 ayat 1 dan 7 legalitas “sekolah rumah” tidak dapat diragukan dan diakui.
Penting untuk diketahui oleh para orangtua adalah ada beberapa anak yang memang suka dan senang ke sekolah setiap hari dan ada juga yang tidak. Dengan berdasarkan perkembangan psikologis anak itu, maka tidak mungkin memaksa anak yang suka sekolah tiga hari harus ke sekolah setiap hari. Tampak disini pentingnya kolaborasi antara sekolah, orangtua dan anak yang juga turut menentukan kesuksesan belajar anak. Memang selama ini kolaborasi masih menjadi PR besar untuk memajukan pendidikan Indonesia masih banyak anggapan miring masyarakat mengenai berbagai ciri unik anak-anak. Sehingga kesan malu atau tidak keren jika tidak mengantar anak-anak ke sekolah dan bergelut dengan kemacetan di pagi – sore hari masih menjadi gengsi tersendiri. Seharusnya pilihan sekolah baik suka atau tidak yang full maupun sekedar tiga hari menjadi milik anak-anak bukan milik orangtua. Tentu dengan berbagai pertimbangan kolaborasi.
Memang “Sekolah Tiga Hari” tidak akan cocok bagi anak-anak yang memilih untuk belajar di pondok pesantren, didasarkan pada pilihan melatih kemandirian, prinsip long life education/minal mahdi ilal lakhdi, belajar tiga hari tentu tidak cukup, karena hakikat belajar di pesantren dan proses sentuhan bimbingan jasmani maupun ruhani berlaku selama 24 jam, keteladan kiai/ustaz menjadi kunci sukses pendidikan di pesantren, tidak diragukan pesantren telah berhasil mengantarkan para santri menjadi tokoh-tokoh adab, arif dan bijaksana. 
Hal yang wajar jika suatu sekolah yang dinilai berhasil mengantarkan para lulusan keberbagai kampus ternama memberikan contoh atau masukan kepada pemerintah, apalagi sampai mengantarkan anak-anak dapat berperan di tengah kemajemukan masyarakat tentnya meniru atau sekedar mempelajari program-program sekolah tersebut sangatlah baik. 
Seperti isu mengenai “Merdeka Belajar” dan “Guru Penggerak” dari Kampus Cikal atau sekolah cikal garapan Kak Najheela Syihab yang berhasil memberikan nuansa baru bagi jihad pendidik untuk membawa perbaikan dan perubahan cepat pada aspek pendidikan terus digaungkan oleh Mas Menteri Nadhim, walaupun masih mendapat tanggapan beragam, nyatanya guru-guru di sana terus bergerak dan merdeka.
Inovasi tanpa Henti
Lalu, apa yang perlu dilakukan guru jika benar-benar sekolah hanya tiga hari? Sebagai pendidik profesional selalu ada ruang untuk terus menginovasi metode, strategi dan model pembelajaran bahkan sesekali perlu mencoba keluar dari zona nyaman, mengikuti pelatihan-pelatihan yang tidak terjadwal oleh pihak kurikulum, guru bisa mandiri mengikuti berbagai pelatihan secara online dan gratis, tidak perlu juga menunggu pemateri seorang profesor, karena sejatinya pemateri hebat adalah guru itu sendiri, yang mau berbagi praktik baik pengajaran di kelasnya kepada guru-guru lain. Di sini sebenarnya makna kemerdekaan dan pergerakan guru itu,  yang mau terus belajar, bereksperimen dan berbagai tanpa menunggu ada komando dari siapapun.
Model blended learning bisa menjadi pilihan cocok jika sekolah hanya tiga hari, peluang untuk memadukan 2 model antara pembelajaran online dan ofline sangat besar, jadi guru bisa melakukan tiga hari ofline atau tatap muka disertai dengan modul-modul menarik yang sudah disiapkan, sementara sisanya dapat menggunakan model online bisa menggunakan google classroom, sekolahmu, atau aplikasi lain yang mudah diaplikasikan di dalam kelas. 
Peran guru sebagai instruktur kelas online diperkuat dengan tatap muka (ofline) merupakan bagian inovasi pembelajaran. Jikapun tidak dengan model ini guru boleh menggunakan model atau aplikasi lain yang mudah digunakannya. Apapun aturan, waktu dan model sekolah selalu ada ruang bagi guru untuk terus berinovasi. SemogaWacana Sekolah Tiga Hari
Informasi terkait “sekolah tiga hari” sedang memenuhi beranda-beranda media sosial. Usulan mengenai format baru durasi waktu sekolah itu tidak main-main, diusulkan oleh salah satu tokoh nasional ternama yaitu Kak Seto sebagai ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) sang pencetus homeschooling. Lantas Hal itu pun ramai diperbincangkan para praktisi pendidikan mengenai regulasi atau dasar usulan sekolah tiga hari itu, dengan harap-harap cemas para pendidik pun sedang menanti dengan nada serius, mungkinkah sekolah tiga hari itu terwujud?
Peluang Regulasi
Akankah menjadi kenyataan “sekolah tiga hari” itu? Jika merujuk kepada dasar yuridis yang ada yakni UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, peluang sekolah tiga hari ada, namun dengan beberapa klasifikasi, dapat berlaku bagi sekolah informal (swasta) dan tidak akan berlaku bagi sekolah formal. Sekolah non-formal atau in-formal dengan aturan atau regulasi yang tidak se kaku sekolah formal, akan mudah melaksanakannya tergantung pucuk pimpinan, sifatnya berdasarkan kebutuhan dan berbasis perkembangan anak, metode belajar pun hanya berupa modul-modul belajar yang didesain gembira dan menyenangkan begitu menurut penjelasan Kak Seto (detiknews, 7 Desember 2019). Sementara Sekolah formal (Negeri) tampaknya tidak miliki ruang untuk model sekolah seperti ini karena regulasi mulai jalur, jenis dan jenjang sekolah, kurikulum, aturan waktu dan jam sudah full tidak dapat diotak-atik sehingga tidak memiliki peluang, yang ada hanya inovasi-inovasi kurikulum atau model pembelajaran sementara aturan waktu sekolah senin sampai jum’at atau sabtu tidak mungkin dirubah.
Esensi sekolah tiga hari sebenarnya hanya dihari-hari tertentu saja yakni hari senin, rabu dan jum’at sedangkan waktu jam belajar cukup tiga jam saja begitu menurut penjelasan Kak Seto (detiknews, 7 Desember 2019). Hal itu beliau sampaikan terkait keberhasilan sekolah non-formal garapannya berupa homeschooling yang sudah berlaku 13 tahun di Indonesia dan lulusannya mampu kuliah di beberapa kampus ternama dalam dan luar negeri dan juga diperkuat dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 129 Tahun 2014 ayat 1 dan 7 legalitas “sekolah rumah” tidak dapat diragukan dan diakui.
Penting untuk diketahui oleh para orangtua adalah ada beberapa anak yang memang suka dan senang ke sekolah setiap hari dan ada juga yang tidak. Dengan berdasarkan perkembangan psikologis anak itu, maka tidak mungkin memaksa anak yang suka sekolah tiga hari harus ke sekolah setiap hari. Tampak disini pentingnya kolaborasi antara sekolah, orangtua dan anak yang juga turut menentukan kesuksesan belajar anak. Memang selama ini kolaborasi masih menjadi PR besar untuk memajukan pendidikan Indonesia masih banyak anggapan miring masyarakat mengenai berbagai ciri unik anak-anak. Sehingga kesan malu atau tidak keren jika tidak mengantar anak-anak ke sekolah dan bergelut dengan kemacetan di pagi – sore hari masih menjadi gengsi tersendiri. Seharusnya pilihan sekolah baik suka atau tidak yang full maupun sekedar tiga hari menjadi milik anak-anak bukan milik orangtua. Tentu dengan berbagai pertimbangan kolaborasi.
Memang “Sekolah Tiga Hari” tidak akan cocok bagi anak-anak yang memilih untuk belajar di pondok pesantren, didasarkan pada pilihan melatih kemandirian, prinsip long life education/minal mahdi ilal lakhdi, belajar tiga hari tentu tidak cukup, karena hakikat belajar di pesantren dan proses sentuhan bimbingan jasmani maupun ruhani berlaku selama 24 jam, keteladan kiai/ustaz menjadi kunci sukses pendidikan di pesantren, tidak diragukan pesantren telah berhasil mengantarkan para santri menjadi tokoh-tokoh adab, arif dan bijaksana. 
Hal yang wajar jika suatu sekolah yang dinilai berhasil mengantarkan para lulusan keberbagai kampus ternama memberikan contoh atau masukan kepada pemerintah, apalagi sampai mengantarkan anak-anak dapat berperan di tengah kemajemukan masyarakat tentnya meniru atau sekedar mempelajari program-program sekolah tersebut sangatlah baik. 
Seperti isu mengenai “Merdeka Belajar” dan “Guru Penggerak” dari Kampus Cikal atau sekolah cikal garapan Kak Najheela Syihab yang berhasil memberikan nuansa baru bagi jihad pendidik untuk membawa perbaikan dan perubahan cepat pada aspek pendidikan terus digaungkan oleh Mas Menteri Nadhim, walaupun masih mendapat tanggapan beragam, nyatanya guru-guru di sana terus bergerak dan merdeka.
Inovasi tanpa Henti
Lalu, apa yang perlu dilakukan guru jika benar-benar sekolah hanya tiga hari? Sebagai pendidik profesional selalu ada ruang untuk terus menginovasi metode, strategi dan model pembelajaran bahkan sesekali perlu mencoba keluar dari zona nyaman, mengikuti pelatihan-pelatihan yang tidak terjadwal oleh pihak kurikulum, guru bisa mandiri mengikuti berbagai pelatihan secara online dan gratis, tidak perlu juga menunggu pemateri seorang profesor, karena sejatinya pemateri hebat adalah guru itu sendiri, yang mau berbagi praktik baik pengajaran di kelasnya kepada guru-guru lain. Di sini sebenarnya makna kemerdekaan dan pergerakan guru itu,  yang mau terus belajar, bereksperimen dan berbagai tanpa menunggu ada komando dari siapapun.
Model blended learning bisa menjadi pilihan cocok jika sekolah hanya tiga hari, peluang untuk memadukan 2 model antara pembelajaran online dan ofline sangat besar, jadi guru bisa melakukan tiga hari ofline atau tatap muka disertai dengan modul-modul menarik yang sudah disiapkan, sementara sisanya dapat menggunakan model online bisa menggunakan google classroom, sekolahmu, atau aplikasi lain yang mudah diaplikasikan di dalam kelas. 
Peran guru sebagai instruktur kelas online diperkuat dengan tatap muka (ofline) merupakan bagian inovasi pembelajaran. Jikapun tidak dengan model ini guru boleh menggunakan model atau aplikasi lain yang mudah digunakannya. Apapun aturan, waktu dan model sekolah selalu ada ruang bagi guru untuk terus berinovasi. Semoga***
Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya