Buku Celana Tak Berpisak (Percikan Pemikiran tentang Budaya, Melayu, Islam dan Keindonesiaan) ditulis Griven H Putera setebal 589+XII ini memiliki tema beragam seputar budaya, Melayu, Islam dan Keindonesiaan yang diracik, diramu, diadun penulis dengan bahasa dan berbagai cara serta sudut pandang yang memberi kesan lain. Terkadang sesuatu yang mungkin remeh-temeh bagi orang lain ternyata menjadi sesuatu yang serius oleh penulis, dan penulis dapat meyakinkan pembaca bahwa hal itu memang penting untuk dibicarakan dan dicarikan solusinya.
(RIAUPOS.CO) — Ada 121 judul tulisan dengan tema beragam dalam buku ini. Semuanya pernah terbit di sejumlah media seperti di Riau Pos, Koran Riau, Tribun Pekanbaru dan lain-lain. Buku tebal ini sesungguhnya merupakan sebuah gerakan ‘berani’ seorang penulis dalam menawarkan ide- idenya di tengah budaya masyarakat yang serba instan dan suka serba ringkas, ringan dan remeh- temeh. Keseriusan ini menjadi poin tersendiri bagi penulis dalam menawarkan pikiran-pikirannya. Selain itu, konsistensi penulis untuk bertahan dalam permenungan ide dan pergelutan pemikirannya dalam rentang sekian atau sekitar 14 tahun membuktikan bahwa kerja ini patut dan layak untuk diberi anjungan tinggi.
Walaupun tema dan judul amat beragam dalam buku ini, namun judul “Celana Tak Berpisak” dapat menjadi refesentatif dari yang dikemukakan penulis. Judul itu merupakan sebuah ungkapan Melayu sebagai sebuah sindiran atau mungkin ejekan kepada seseorang yang tak peduli dengan marwah dan darjah diri, puak, kaum atau bangsanya. Celana atau seluar merupakan sesuatu yang mesti ada pada diri seorang manusia jati (insan al-kamil).
Tidak hanya menjadi alat penutup tubuh dan penghias diri akan tetapi juga menjadi pembeda diri, karena ada sesuatu yang amat vital dalam balutan alat tersebut. Ketika seseorang tak peduli dan cuai pada celana atau seluarnya maka sesuatu yang amat berharga pada dirinya akan menjadi murah. Jika pisak atau pesak celananya “dikoyak” maka jatuhlah marwahnya, rendahlah derjatnya, hilanglah tuahnya. Selanjutnya, ia akan jadi seorang yang kurang percaya diri, dan tampil di gelanggang sebagai pecundang.
Di samping karena judulnya yang terasa ganjil, menggelitik dan menarik, buku ini menawarkan sejumlah pikiran-pikiran bernas dari seorang intelektual Melayu yang peduli terhadap segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Menurut penulis buku ini, puak Melayu, termasuk Negara Indonesia kini sedang memerlukan pemimpin yang memiliki seluar berpesak, punya keberanian dan harga diri agar ke depan dapat mewariskan sesuatu yang patut dan layak dikenang oleh anak cucunya bila ia telah tiada.
Timbulnya beragam persoalan dalam berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara dewasa ini terlihat sebagai akibat dari pemimpinnya yang kurang memiliki keberanian dan harga diri . Penulis seperti amat merindukan pemimpin bangsa yang pernah memiliki “seluar berpisak”.
Ide dan gagasan dalam buku yang ditulis dalam rentang waktu sekitar 14 tahun (2004 hingga 2018) ini telah mendapat berbagai tanggapan dan apresiasi dari berbagai kalangan, mulai para akademisi, insan jurnalis, agamawan, seniman, budayawan hingga masyarakat grass root, tidak saja di Riau bahkan di luar Riau. Tidak saja di media cetak tapi juga di media sosial. Dibedah beberapa lembaga seperti Himpunan Mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia di Fakultas Ilmu budaya Universitas Lancang Kuning, dan Forum Lingkar Pena (FLP) Riau.
RiauMagz.com mengomentari, “Celana tak Berpisak merupakan istilah yang diangkat dari bahasa lokal Pelalawan, Riau… Ungkapan sindiran ini dipilih Griven sebagai judul dari bukunya, yang juga merupakan judul dari salah satu esai dalam buku tersebut. Judul ini merupakan metafor yang sangat indah. Kemarahan pada perasaan seorang penulis bisa diwakilkan dengan istilah yang idiomatis. Dan inilah yang ditemukan pada buku Celana tak Berpisak. Pemilihan diksi dan metafor yang indah untuk penggunaan judul tersebut dipengaruhi kondisi sosiologi penulis yang memang memiliki latar belakang Melayu yang kuat. Melayu memang kaya dengan simbol, sesuatu yang kasar bisa dibalut dengan diksi yang sopan dan lebih beradab.”
Muhammad Amin MS, misalnya menyatakan di Riau Pos, 20 Januari 2019: “… Tulisan esai yang sekaligus menjadi buku ini memaparkan tentang “mental kerdil” ketika kita berhadapan dengan Malaysia. Mental kerdil itu diumpamakan celana tak berpisak. Kehormatan bangsa tak berani diperjuangkan saat diperlukan. Padahal ini tentang marwah sebagai bangsa besar. ….. Celana Tak Berpisak hanya satu dari puluhan esai yang ditulis dalam buku ini. Kumpulan esai ini memiliki tema yang beragam, mulai budaya, Melayu, keislaman hingga keindonesiaan. Ditulis dari rentang waktu 2004 hingga 2018 membuat tulisan dalam buku ini sangat kompleks.”
Riki Utomi, sastrawan-pendidik menyatakan pula dalam esainya di Riau Pos, 17 Februari 2019: “…Membaca sehimpun tulisan dalam Celana Tak Berpisak karya penulis produktif (novelis, cerpenis, esais, kolumnis), Griven H Putera ini dirasa sebagai membaca tanda-tanda. Sebagai penulis produktif, Griven tidak pernah alfa mengungkap hal-hal apa saja, lalu meramunya menjadi tulisan yang memikat, sekaligus penuh daya gugah.”
Buku ini dibedah Himpunan Mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia di Fakultas Ilmu budaya (FIB) Universitas Lancang Kuning (Unilak) Pekanbaru Pada 25 Februari 2019. Junaidi yang dikenal sebagai Budayawan dan Wakil Rektor I (sekarang Rektor) Unilak sebagai salah-seorang pembicara juga mengapresiasi positif, “…Konsistensi Griven untuk tetap terus menulis, sekali lagi patut diberikan apresiasi dan dicontoh. Tidak banyak orang mampu mempertahankan “hobi” menulis. Griven tetap menulis untuk mengungkapkan kerisauan, kegalauan, atau apapun yang dirasakannya. Griven tampaknya percaya gagasan dalam pikiran dituangkan secara positif dalam tulisan dan diterbitkan agar orang banyak dapat membaca gagasannya itu,” ungkapnya.