Erizal (42), asal Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat menjadi korban kerusuhan di Wamena. Luka bekas terbakar masih jelas terlihat di kuping, wajah, dan kepalanya. Kerusuhan tersebut membuat dia harus terpisah dengan istri dan satu orang anaknya untuk selamanya. Selasa (1/10) dia sampai di Sumbar.
Laporan ADETIO PURTAMA, Padang
ERIZAL menceritakan, pada Senin 23 September 2019 itu, sekitar pukul 08.00 WIT, beberapa tetangganya yang merupakan orang Wamena meminta dirinya segera menutup kios dagangan karena terjadi perkelahian di SMA PGRI di Wamena. Tanpa pikir panjang, dia pun segera menutup kios dan menjemput anak bungsunya di sekolah. "Saya langsung suruh istri saya tutup kios dan saya pergi menjemput anak saya di SD dekat kantor Bupati Wamena," jelasnya.
Setelah menjemput anaknya, Erizal bersama sang istri membawa beberapa perbekalan untuk pergi mengungsi ke tempat aman. Di pertengahan jalan, dia bertemu warga Wamena sekitar dan menyuruh mereka bersembunyi di salah satu Honai (rumah adat Papua) sampai kondisi aman.
"Kurang lebih ada 1 jam saya bersembunyi di rumah Honai itu. Selama bersembunyi saya mencoba menghubungi teman saya yang mengungsi di Markas Kodim untuk menjemput kami. Namun teman saya itu bilang, mobil tidak bisa lewat karena ada hadangan," ungkapnya.
Tak berlangsung lama, para perusuh mendekat ke Honai, lalu dia bersama anak dan istri memutuskan lari menuju ke belakang SD di dekat Kantor Bupati Wamena. Selama perjalanan menuju SD, terlihat kondisi sudah sangat kacau. Beberapa kios terbakar, juga Kantor Bupati.
"Tapi sesampainya kami di belakang SD, sudah ada lebih kurang 30 orang perusuh yang menanti. Lalu kami pun lari lagi menuju rumah pemilik kios yang saya sewakan untuk bersembunyi. Pemilik kios yang merupakan orang asli Wamena bersama tetangga lainnya menyembunyikan kami di dalam rumahnya," kenangnya.
Ia menceritakan, di dalam rumah pemilik kios yang dia sewa untuk berdagang tersebut, juga sudah ada warga perantau lain berjumlah sebanyak 10 orang yang ikut bersembunyi. Sementara pemilik rumah menjaga di depan rumah tersebut.
Singkatnya, 30 orang perusuh tiba di rumah tempat Erizal dan keluarganya bersembunyi. Mereka mengetahui keberadaan Erizal dan pengungsi lainnya. "Tetangga kami yang punya rumah sempat menghalangi perusuh itu masuk, namun kalah jumlah. Akhirnya perusuh melemparkan batu ke dalam rumah tempat persembunyian kami," ungkapnya.
Dalam kondisi ini, dia dan istri serta anaknya yang masih kecil sudah pasrah dengan keadaan buruk yang akan terjadi. Mereka dengan saudara yang bersembunyi di dalam rumah sudah saling memaafkan satu sama lain.
"Saya sudah minta maaf sama istri saya kalau selama pergaulan atau menjalani hidup, pernah melakukan kesalahan disengaja atau tidak, begitu juga istri saya," ujarnya.
Akhirnya para perusuh berhasil masuk ke dalam rumah dan melakukan sesuatu yang tidak berperikemanusiaan. Erizal mengaku, pura-pura meninggal agar bisa menyelamatkan diri. “Kami semua pura-pura mati. Saya berhasil selamat, sementara istri dan anak saya tidak. Setelah itu perusuh tersebut pergi meninggalkan rumah dan membakar rumah itu,” tuturnya.
Sebelum api membakar habis rumah, dia bangkit. Anak dan istrinya sudah meninggal. Kemudian dia pergi ke luar untuk menyelamatkan diri dengan kondisi luka sobek serta terbakar di bagian kepala. "Kurang lebih dua jam, kemudian baru datang petugas keamanan serta ambulans untuk menyelamatkan kami. Saya dibawa ke rumah sakit untuk menjahit luka di kepala," jelasnya.
Erizal menyebutkan, setelah perawatan terhadap dirinya, ia langsung menelepon anak laki-lakinya bernama Gian yang bersekolah di Sumbar untuk memberitahukan bahwa ibu dan adiknya sudah meninggal.
Sehari kemudian dia langsung diterbangkan ke Jayapura untuk seterusnya dibawa pulang bersama dengan jenazah istri, anak dan korban asal Sumbar lainnya untuk dimakamkan di Kabupaten Pesisir Selatan, kampung halaman mereka.***