Ancaman abrasi di pulau kecil dan terluar di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), seperti Pulau Bengkalis semakin mengkhawatirkan masyarakat. Pasalnya, laju abrasi saat ini tidak hanya mengikis bibir pantai, namun abrasinya sudah menumbangkan puluhan hektar lahan perkebunan milik masyarakat.
RIAUPOS.CO – Sedangkan bentangan abrasi yang cukup panjang, mulai dari Tanjung Jati di Kecamatan Bengkalis sampai ke tanjung Parit, Desa Muntai Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis yang berhadapan langsung dengan selat Melaka tak mampu dibendung oleh bangunan breakwater atau pemecah ombak yang dibangun oleh pemerintah pusat melalui Kementerian PUPR, khususnya dari BWS Wilayah 3 Sumatera.
Dari pantauan dan data di lapangan, khususnya di pulau Bengkalis yang terdiri dari dua kecamatan, yakni Bengkalis dan Kecamatan Bantan terdapat belasan desa yang sangat kritis kondisi pantainya. Yakni desa tanpa penyangga pantai berupa pohon mangrove maupun bangunan breakwater.
Kondisi hempasan gelombang air laut selat Melaka yang cukup kuat menerjang bibir pantai, terus mengikis wilayah daratan pulau dan yang sangat parah terjadi di Kecamatan Bantan yang berhadapan langsung dengan selat Melaka.
Ada delapan desa yang terdampak abrasi sangat parah, yakni Desa Jangkang, Deluk, Selatbaru, Teluk Papal, Bantan Air, Bantan Sari, Bantan Timur, Muntai Barat, dan Desa Muntai. Di mana panjang abrasi mencapai 42 kilometer. Sedangkan 41,5 km dalam kondisi kritis, dan penanganan abarasnya baru 5,5 Km.
Kondisi abrasi di pantai Desa Bantan Timur, Bantan Air, Muntai Barat, Selatbaru, dan Deluk Kecamatan Bantan saat ini sudah sangat memprihatinkan. Bahkan abrasi ini sudah menghancurkan pemukiman Suku Asli di sana.
Sedangkan di Kecamatan Bengkalis kondisi yang sangat parah terjadi di dua desa, yakni Desa Simpang Ayam dan Prapat Tunggal. Karena kedua desa ini menghadap ke selat Melaka dan Tanjung Jati. Sedangkan desa lain yang mengalami abrasi yakni desa Sebauk, Pangkalan Batang, Pedekik, Wonosari dan desa Sekodi.
Di mana panjang daerah terdampak abrasi sekitar 31 km dan sekitar 21 km di antaranya dalam kondisi kritis. Sedangkan upaya penanggulangan baru mencapai 0,55 km.
Dari pantauan di lapangan, abrasi yang terjadi saat ini sudah menghancurkan pemukiman warga Suku Asli, yang dulu pemukimannya sangat jauh dari bibir pantai. Namun sekarang, daerah pemukiman dan juga dulu terdapat pohon kelapa saat ini sudah tergerus air laut.
“Saat ini kondisinya memang sangat memprihatinkan dan laju abrasinya mencapai puluhan meter sejak 10 tahun terakhir,’’ ujar Sani, mantan Kepala Desa Bantan Sari.
Ia menyebutkan, untuk mengatasi abrasi ini pihaknya bersama kelompok masyarakat sudah membudidayakan tanaman mangrove, untuk ditanami kembali di bibir pantai yang sudah rusak parah.
Ia mengharapkan, perhatian pemerintah untuk mengatasi persoalan abrasi, karena jika dibiarkan tidak menutup kemungkinan akan menggerus seluruh pemukiman masyarakat sampai ke jalan utama akses lintas antar kecamatan.
Lokasi terparah terjadinya abrasi adalah Desa Muntai Barat, Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis, yang terletak di pulau kecil terluar Indonesia yaitu pulau Bengkalis yang merupakan benteng terdepan negara, sebagimana ditetapkan berdasarkan Kepres No. 6 tahun 2017 tentang Penetapan Pulau-pulau kecil terluar, saat ini sedang berproses menuju kehancuran, akibat setiap saat di gerus oleh ombak selat Malaka, yang merupakan perbatasan antara Indonesia-Malaysia.
“Jika tidak dilakukan penanganan secara luar biasa oleh negara, untuk membentengi pulau Bengkalis dengan pemecah batu ombak, yakinlah wilayah kedaulatan Indonesia akan terus berkurang. Karena Zona Ekonom Eksklusif (ZEE) kita terus bergeser akibat alam, sehingga selogan yang sering kita gaung-gaungkan Indonesia slogan harga mati hanya tinggal,” ujar Solihin, Ketua Yayasan Solidaritas Pemuda Melayu Peduli Lingkungan Republik Indonesia (Y-SPMPL-RI).
Menurutnya, penanganan abrasi pulau Bengkalis, dengan sistem pembangunan batu pemecah ombak, tidak bisa dilakukan hanaya hitungan ratusan meter tapi harus dilakukan secara ekstra dan menyeluruh di sepanjang bibir pantai yang menghadap selat Malaka.
Ia menjelaskan, laju pengikisan daratan 12 hingga 20 meter per tahun. Puncaknya, mulai bulan November sampai menjelang tahun baru atau ketika musim angin utara.
Kondisi serupa terus mengancam desa-desa di pulau Bengkalis. Di Desa Muntai Barat, Bantan Timur, bibir pantai hanya beberapa meter lagi di rumah layak huni yang ditempati para nelayan Suku Akit.
“Apalagi di saat air pasang tinggi, rumah penduduk suku asli sudah terendam dan sampan bisa naik ke pekarangan rumah,” jelas Solihin.
Sedangkan pada musim angin Utara di Bengkalis terlah terjadi akhir tahun 2023 sampai pertengahan Januari 2024 lalu, berakibat hempasan ombak di Selat Melaka semakin kuat, terutama di Kecamatan Bantan, terus mengikis bibir bibir pantai, yang tekstur lahannya memang merupakan tanah gambut.
Dahsyatnya ombak angin utara di Selat Malaka ini, bukan hanya mengikis sepanjang bibir pantai tersebut, namun ombak kuat ini juga menerjang dan meruntuhkan bongkahan-bongkahan tanah dan batang sawit, terbawa ombak masuk dalam laut.
Kondisi terparah saat ini terjadi di pantai Parit Tiung, Desa Jangkang Kecamatan Bantan dan Desa Simpang Ayam Kecamatan Bengkalis, yang terjadi awal 2023 tahun lalu. Sebab akibat abrasi yang sampai saat ini belum juga diatasi, kerugian materil masyarakat sudah tidak terhitung banyaknya.
Sehingga, bila abrasi ini tidak segera diatasi, tidak menutup kemungkinan, dapat diperkirakan beberapa tahun kemudian, Desa Jangkang dan Simpang Ayam hanya tinggal namanya saja.
Zaini salah seorang warga setempat menyampaikan, bahwa dirinya mengaku melihat langsung kondisi terkini di pantai Parit Tiung, dengan adanya musim ombak besar itu, berhektar-hektar lahan sawit dan karet milik masyarakat telah jadi korban.
“Ya, ombak bukan hanya mengikis bibir pantai atau tebing, tapi seperti mengeruk tanah dalam jumlah besar. Artinya sekali dihantam ombak bersamaan itulah, gumpalan-gumpalan tanah terjun ke laut. Bahkan ujung jalan poros desa Jangkang sudah berada di bibir pantai dan sebagian kondisi jalan juga telah mulai retak-retak,” ujarnya.
Ia menyebutkan, saat ini jarak bibir pantai dengan rumah penduduk sekitar 200 meter. Melihat kondisi yang terjadi saat ini, diperkirakan tidak sampai 2 tahun rumah penduduk tersebut juga akan ikut disapu ombak.
“Sekali lagi kami sangat berharap, pemerintah daerah untuk segera menindaklanjuti keluhan masyarakat, sebab dengan abrasi ini, sudah banyak lahan masyarakat yang tersapu ombak, jika tidak segera ditangani, rumah-rumah warga itu, tidak perlu menunggu lama, juga bakal jadi korban abrasi,” harapnya.
Masyarakat pulau Bengkalis di bagian utara wilayah sumatera ini, juga dihantui kehilangan lahan. Kehilangan lahan bukan di rampas oleh orang lain, melainkan lahan masyarakat sedikit demi sedikit ambruk ke laut akibat terjangan ombak Selat Malaka.
“Ya, setiap tahun sekitar 1,5 meter daratan yang hilang akibat abrasi ini, “ ucap Andi, warga Jalan Parit Tiung, Desa Jangkang.
Menurutnya, abrasinya ini bahkan lebih dari 1,5 meter pertahunnya. Bahkan kadang lebih dari itu hampir dua meter yang amblas ke laut setiap tahun. Kondisi ini terjadi sudah sejak lama dan belum ada perhatian pemerintah untuk mengatasi ini.
Bahkan katanya, sudah lima tahun terakhir ini pelabuhan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) milik warga Parit Tiung sudah amblas ke laut. Sehingga warga di sana tidak ada lagi memliki tempat pelelangan ikan.
Anita, warga lainnya juga menyebutkan hal yang sama. Menurutnya, batas daratan Parit Tiung sebenarnya jauh ditengah laut sana. Namun karena tiap tahun terus dihantam gelombang Selat Malaka makannya sampai di sini sekarang yang tersisa.
Pihaknya mendapat informasi tahun ini adanya pembangunan pemecah gelombang di daerah mereka. Namun sampai saat ini belum terlihat realisasinya.
“Kita harap kalau emang ada segera direalisasikan. Sehingga abrasi bisa di minimalisir,” harap Anita.
Kondisi ujung Parit Tiung yang berhadapan langsung dengan laut memang terlihat memprihatinkan. Jalan bagian ujung meskipun masih terlihat bentuknya tapi sudah jatuh.
Selain itu kiri dan kanan jalan merupakan perkebunan masyarakat, kondisi tanahnya sudah berlubang dan hampir jatuh ke laut. Perkiraan warga dalam tahun ini tanaman yang di pinggir daratan tersebut bisa jatuh ke laut sama seperti tahun tahun sebelumnya.
Sementara itu, Peneliti Komunikasi Lingkungan dan Pariwisata Riau, Dr Yasir MSi yang juga dosen Unri menyebutkan, kerusakan hutan bakau dan abrasi merupakan masalah yang sangat mendasar di pesisir Kabupaten Bengkalis.
Kerusakan hutan magrove di Bengkalis setiap tahun terus meningkat. Data Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Riau menunjukkan, luas kerusakan mangrove di Bengkalis mencapai 8.090 hektare.
Dijelaskannya, di pulau Bengkalis saja abrasi bisa mencapai 59 hektare per tahun. Kerusakan hutan bakau atau mangrove ini disebabkan oleh abrasi dan tingginya eksploitasi hutan mangrove sebagai bahan bangunan, arangkayu, dan kayu bakar. Penebangan hutan bakau juga ditujukan untuk diseludupkan ke luar negeri.
“Saat ini sebagian kerusakan mangrove juga disebabkan oleh pembukaan lahan tambak udang seperti di Desa Teluk Pambang, Muntai, Muntai Barat, Bantan Air, Teluk Papal, Deluk, Jangkang, Pambang Baru, Teluk Lancar, Selatbaru, Berancah, Selatbaru, Penebal, Pematang Duku dan daerah lain,’’ ujarnya.
Menurutnya, kerusakan ini diperparah dengan lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku kerusakan hutan mangrove tersebut. Selain itu, kebijakan pemerintah juga tidak tegas terhadap pembukaan tambak udang dengan menebangi hutan mangrove. Hutan bakau yang telah rusak ini mengakibatkan kerusakan pada ekosistem yang lain seperti hilangnya pelindung pantai, intrusi air laut, terancamnya regenerasi udang dan ikan.
Sedangkan dalam delapan tahun terakhir, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bengkalis sudah menghabiskan anggaran sebesar Rp300 miliar lebih, untuk membangun breakwater di beberapa titik, mencakup tiga wilayah itu.
“Memang pembangunan breakwater sempat terhenti dan tahun 2019, 2021, 2022 dan 2023 di Kecamatan Bantan dan Bengkalis Pemkab juga mengusulkan, ke Pemerintah Pusat anggaran Rp2 triliun lebih untuk mempercepat penanggulan abrasi ini,” ujar Kepala Bappeda Bengkalis Rinto.
Ia menjelaskan, kalau seluruhnya dibebankan pada anggaran daerah, tentu ini tak memungkinkan. Karena biaya itu lebih dari separuh APBD Bengkalis.
Ia juga menyebutkan, sejumlah kementerian dan lembaga pemerintah pusat juga sudah meninjau beberapa desa yang terdampak abrasi. Juga sudah terbentuk tim studi untuk mengkaji kondisi di lapangan, dan solusi guna menyelamatkan pulau Bengkalis, sebagai pulau terluar dan titik perbatasan dengan negara tetangga.
“Ya, solusi tak sekadar berbentuk fisik. Pemberdayaan dan peningkatan ekonomi masyarakat juga jadi kajian tim yang diketuai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), mengingat, selain perikanan tangkap dan budidaya, perekonomian berbasis lahan jadi sumber pendapatan masyarakat Bengkalis,” ujarnya.
Sementara itu, Camat Bantan Rafli Kurniawan juga mengakui kondisi abrasi di sepanjang bibir pantai di daerahnya memang sangat parah. Selain akibat terjangan ombak besar selat Melaka, juga diakibatkan oleh penyangga bibir pantai yang rusak dan sudah gundu.
“Ya, akibatnya lahan perkebunan masyatakat, seperti kepala, karet dan kelapa banyak yang sudah tumbang ke laut. Bahkan rumah masyatakat dan juga tempat pemakaman umum juga sudah ada yang masuk ke dalam laut,” ujarnya.(ksm)
Laporan ABU KASIM, Bengkalis