PEKANBARU (RIAUPOS.CO) — Genap sudah dua tahun Syamsuar-Edy Natar Nasution memimpin Provinsi Riau. Ketua Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR) drh Chaidir MM memberikan komentarnya erkait dua tahun kepemimpinan Syamsuar-Edy Natar. Chaidir menilai ada situasi dan kondisi yang berbeda dengan masa sebelumnya. "Saya spontan menganalogikan situasi yang dihadapi Syamsuar-Edy periode 2019-2021 dengan siatuasi yang dihadapi Saleh Djasit ketika terpilih menjadi Gubernur Riau pada pada periode 1998-2003," ungkapnya.
Dijelaskannya tantangannya beda. Dulu Pak Saleh selama dua tahun awal digoyang unjuk rasa reformasi tak henti-henti. Kemudian dilanjutkan unjuk rasa pembentukan Provinsi Kepri. "Pak Saleh bahkan pernah dilempar nasi bungkus di Gedung Daerah oleh pengunjuk rasa masalah ganti rugi PLTA," urainya mencoba mengenang masa itu.
Sementara Pak Syam-Edy, ujar Chaidir, begitu menjabat langsung berhadapan dengan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Kemudian berlanjut dengan kerepotan menghadapi pandemi Covid-19.
"Pandemi Covid-19 membuat semua pemimpin di mana pun kelimpungan. Begini salah, begitu salah. Semua serba salah," paparnya.
Ditambah lagi pada saat yang sama sembilan kabupaten/kota melaksanakan pilkada serentak yang juga menguras tenaga dan pikiran. "Terakhir, bahkan Pak Syam sendiri terpaksa menjalani isolasi panjang karena terpapar Covid-19," urai ketua DPRD Riau periode 1999-2004 dan Periode 2004- 2008 itu. "Jadi jujur, harus diakui Syam-Edy berada dalam kesulitan untuk melaksanakan visi-misinya. Apalagi kemudian banyak anggaran yang harus dialihkan (refocusing) untuk penanggulangan Covid-19," sebutnya memberikan penilaian.
Disebutkan Chaidir juga, ia melihat faktor eksternal (karhutla, Covid-19, pilkada serentak) terlalu banyak memberi tekanan pada ikhtiar pelaksanaan fungsi manajemen pemerintahan. Sehingga berpengaruh pada faktor internal organisasi pemerintahan. Fungsi-fungsi manajemen dan unsur-unsur manajemen berupa sumber daya staf dan keuangan tak bisa digerakkan secara optimal. Dalam situasi dan kondisi demikian, capaian kinerja tidak akan memuaskan sesuai harapan.
Masih menurutnya, sekarang ketika pandemi Covid-19 mulai melandai, Syam-Edy dihadapkan pula pada keharusan ketegasan bersikap dalam alih-kelola Blok Rokan. Sebagai wilayah penghasil minyak terbesar secara nasional (26 persen dari total produksi nasional), Blok Rokan terlalu besar untuk tidak mendapatkan perhatian secara serius, dilepaskan bebas kendali.
"Masih ada waktu tiga tahun ke depan bagi Syam-Edy untuk unjuk kebolehan menggerakkan seluruh potensi bagi peningkatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan secara signifikan dan terukur," harapnya pula.
Dia juga menyarankan supaya Syam-Edy jangan segan-segan menggunakan pendekatan tata kelola kolaboratif (collaborative governance) dengan melibatkan stakeholders seperti akademisi, kalangan swasta, tokoh masyarakat, alim ulama, ormas, paguyuban, kalangan media, dalam merumuskan contingency plan (perencanaan situasional).
Dia juga menegaskan, untuk saat ini tidak perlu mengeluarkan kritik berlebihan, karena situasinya beda. "Ngapain kita harus menghabiskan energi untuk berdebat secara berlebihan terhadap capaian-capaian Syam-Edy, karena situasinya memang sulit," tegasnya.(gus)