PROSA baru seperti novel dan roman dalam perkembangannya pernah dikritik sebagai produk yang delusional dan tidak berarti bagi pembangunan manusia. Kritik ini juga disampaikan oleh Eduard Douwes Dekker, penulis yang lebih dikenal sebagai Multatuli.
Multatuli menyatakan bahwa ia tidak pernah menulis roman karena tidak menyukai penulis yang membohongi banyak orang dengan cerita yang tidak pernah dan tidak bisa terjadi. Namun, kritik tersebut justru berujung pada lahirnya karya Multatuli berjudul Max Havelaar (Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda) yang diakui sebagai salah satu roman yang berpengaruh bagi sejarah dunia sastra. Hal itu membuktikan bahwa roman dan novel bukan sekadar cerita naratif untuk memanjakan imajinasi pembaca, melainkan juga membawa pesan tertentu dari penulisnya.
Dewasa ini, novel klasik menjadi klasifikasi karya sastra yang menarik untuk dibaca, terutama bagi pembaca kesusastraan nasional. Imajinasi pembaca disuguhi nilai-nilai spiritualitas yang sangat kental dari narasi, dialog, plot, hingga elemen lainnya yang sebagian besar merupakan refleksi dari realitas kehidupan bangsa Indonesia dalam suatu fase sejarah. Novel klasik mengantarkan pembaca pada mesin waktu yang memberikan pengalaman batin yang tidak lagi didapatkan di alam modern.
Salah satu novel klasik fenomenal adalah Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Bumi Manusia merupakan buku pertama dari tetralogi Buru, yaitu Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1981), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988). Karya-karya monumental Pramoedya tersebut ditulis sejak tahun 1973 dengan segala keterbatasan ketika pengasingannya di Pulau Buru. Tidak berlebihan jika menurut majalah Time, karya-karya Pramoedya membuatnya berhak menyandang predikat sebagai kandidat utama peraih nobel sastra dari Asia (Pramoedya masuk nominasi nobel sastra sebanyak enam kali).
Bumi Manusia secara umum menceritakan kehidupan bangsa Indonesia khususnya di Pulau Jawa pada masa kolonial Belanda. Penderitaan demi penderitaan digambarkan melalui narasi, sudut pandang, dan perjalanan konflik yang dialami tokoh utama, Minke, serta masalah yang dialami tokoh-tokoh lain. Selain itu, novel ini menggambarkan pula budaya masyarakat Jawa di masa lalu yang penuh kearifan dan tata krama. Banyak hal yang bisa dipelajari dari buku ini. Berikut beberapa ikhtisar yang bisa penulis rangkaikan.
Feodalisme, Preseden Warisan Bangsa yang Buruk
Budaya feodal seperti melakukan sembah, membungkuk, bahkan mengesot pada orang yang lebih tinggi kedudukannya merupakan tata krama klasik yang sangat kental saat itu. Realita ini tergambar dari dialog Nyai Ontosoroh kepada Minke:
“Itu tanda kau bukan Jawa lagi, tak mengindahkan siapa lebih tua, lebih berhak akan kehormatan, siapa yang lebih berkuasa. Orang Jawa sujud berbakti pada yang lebih tua, lebih berkuasa, suatu jalan pada penghujung keluhurannya”. (Bumi Manusia, hlm 193)
Hal itu menjadi konflik internal bagi Minke. Ia membenci budaya tidak manusiawi seperti itu, tetapi di sisi lain ia masih menikmati privilese (hak istimewa) karena kedudukannya sebagai seorang raden mas. Hal itu menunjukkan bahwa budaya yang mengakar akan menjadi tantangan bagi setiap individu untuk melawan primordialisme dalam diri mereka.
Diskriminasi Rasial Era Kolonial
Terjadi suatu pembagian rasial era kolonial yang meliputi totok yang ditujukan bagi orang yang ibu dan ayahnya Eropa; indo yang ditujukan bagi salah satu orang tuanya pribumi, dan pribumi. Totok selalu dianggap sebagai golongan tertinggi dan pribumi selalu berada di bawah keduanya. Totok juga menolak dipersamakan kedudukannya dengan indo yang berdarah campuran. Menikmati fasilitas kolonial seperti pendidikan di H.B.S misalnya, Minke sebagai pribumi selalu ditindas oleh golongan di atasnya, ditambah dengan sistem sekolah yang membuatnya harus mendapatkan fasilitas yang lebih buruk. Jika Eropa mengkritik sistem kasta, faktanya dalam budaya kolonial mereka pun melakukannya.
Jabatan: Harga Mati bagi Priayi
Priayi digambarkan dalam Bumi Manusia sebagai orang yang bekerja dan menerima gaji atas suatu jabatan dari pemerintah kolonial (gubermen). Bagi priayi jabatan adalah segala-galanya dan harus dipertahankan dengan segala cara. Dikisahkan, seorang bupati rela menjadi peminum dan pelaku perbuatan serong atau yang lebih tragis sebagai seorang ayah, ia rela menyerahkan anaknya untuk dinikahi oleh pembesar kolonial. Semua itu dilakukan demi mempertahankan jabatannya.
Pendidikan Kolonial untuk Kolonial
Pemerintah kolonial mempersilakan pribumi dari kaum ekonomi elite atau keturunan bangsawan untuk mengenyam pendidikan Eropa. Namun, pendidikan tersebut bukan bertujuan mencerdaskan bangsa Indonesia, melainkan untuk memenuhi kebutuhan kolonial sendiri. Lulusan kolonial biasanya dipekerjakan di kantor-kantor pemerintahan maupun perusahaan-perusahaan Belanda dengan gaji yang jauh lebih rendah daripada golongan totok/indo. Minke, justru berniat menggunakannya untuk membangun manusia sebangsa.
“Ilmu dan pengetahuan, yang kudapatkan dari sekolah dan kusaksikan sendiri pernyataannya dalam hidup, telah membikin pribadiku menjadi agak berbeda dari sebangsaku pada umumnya. Menyalahi wujudku sebagai orang Jawa atau tidak aku pun tidak tahu. Dan justru pengalaman hidup sebagai orang Jawa berilmu pengetahuan. Eropa yang mendorong aku suka mencatat-catat. Suatu kali akan berguna seperti sekarang ini” (Bumi Manusia, hlm 12)
Minke merasakan pribadinya berguna untuk dunia sekelilingnya. Kegigihannya mendalami ilmu pengetahuan Eropa adalah agar bermanfaat bagi hidup masyarakat sebangsanya. Mungkinkah Minke adalah contoh manusia Indonesia ideal yang berusaha diperkenalkan Pramoedya?
Penggambaran Srikandi Pribumi dalam Nyai Ontosoroh
Bumi Manusia tidak henti-hentinya menyajikan berbagai masalah ketidakadilan yang menimpa perempuan. Namun di tengah itu semua, muncul penokohan perempuan yang bersinar dengan personanya dan mematahkan penggambaran perempuan sezaman, yakni Nyai Ontosoroh.
“Jadi Nyai Ontosoroh melakukan pekerjaan kantor. Pekerjaan kantor macam apa yang dia bisa? Administrasi?” tanyaku mencoba-coba. “Semua. Buku, dagang, surat-menyurat, bank….” (Bumi Manusia, hlm 45)
Sosok perempuan yang masa gadisnya digambarkan penuh penderitaan, justru di masa selanjutnya menjelma sebagai srikandi yang telaten mengerjakan pekerjaan besar. Ia memimpin perusahaan dan membawahkan pribumi, indo, dan juga totok. Nyai Ontosoroh pula yang berani menentang Eropa di pengadilan hukum kolonial. Nyai Ontosoroh berhasil merepresentasikan suatu bentuk perlawanan golongan lemah dari bangsa yang lemah terhadap supremasi kekuasaan kolonial.***
Muhammad Nur Aiman, (Mahasiswa Fakultas Hukum Unri dan Pegiat Sastra, Tinggal di Pekanbaru)