Sebagai hutan konservasi yang tersisa sedikit dari yang seharusnya, kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) memang harus dirawat dengan banyak cara. Termasuk dengan melestarikan kearifan lokal yang mendukung agar kekuatan untuk kawasan ini tetap ada semakin nyata.
(RIAUPOS.CO) – KAWASAN TNTN berada di sekitar pemukiman masyarakat yang masih kuat menjaga tradisi dan kearifan lokal. Adat yang berlaku ini pun banyak bersinggungan dengan tentang bagaimana seharusnya manusia bersikap terhadap hutan yang ada di sekitar mereka. Semua itu masih ada dan dimunculkan melalui karya seni dan tradisi. Ada silat, manumbai, nyanyi panjang, tari tradisional, dan permainan gasing yang semuanya tidak bias dilepaskan dari keistimewaan alam.
Silat misalnya. Seni tradisi yang satu ini cukup unik. Banyak pula pengikutnya. Seperti di Desa Lubuk Kembang Bunga atau LKB yang berada persis di sebelah kawasan TNTN. Silat Pangean di desa ini bukan hanya sebagai olah raga bela diri tapi juga seni tradisi yang sering dimunculkan atau dipertontonkan kepada wisatawan yang datang. Salah satunya saat Festival Tesso Nilo dilaksanakan. Apalagi LKB merupakan desa terdekat dengan kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Selain sebagai upaya pelestarian tradisi, juga bisa sebagai sumber penghasilan dari dampak ekowisata yang dikembangkan TNTN sambil memperkenalkan kekayaan tradisi yang dimiliki.
Silat Pangean ini bisa dipelajari siapa saja; anak muda, orang tua, lelaki atau perempuan. Bertingkat pula, sesuai dengan ilmu yang didapat sejak awal dan seterusnya. Tidak sembarang pula proses belajarnya. Ada doa-doa yang harus dibaca setiap kali akan memulai silat ini. Doa ini dimaksudkan agar saat bersilat atau berlatih, tidak ada yang cidera, sakit, patah dan sebagainya. Ada pula syarat yang harus dipenuhi setiap tahun agar ilmu yang didapat tidak luntur dan mudah dilupa. Syarat tersebut yakni, memberi sedekah seikhlasnya kepada tuan guru yang mengajarkan silat tersebut.
Seseorang yang memang berniat hendak belajar Silat Pangean, harus bertemu guru terlebih dulu dan menyampaikan niat bahwa ia ingin belajar. Tidak hanya itu, tapi juga harus membawa syarat ang sudah ditentukan. Antara lain, membawa cincin satu, baju sepasang, dan pisau yang diberikan kepada guru. Kemudian membawa ayam lalu disembelih dan dimakan bersama murid-murid yang lain di halaman rumah atau tempat berlatih.
Syarat ini adalah simbol. Ada yang diberikan secara khusus kepada guru, seperti cincin, pakaian dan pisau adalah bentuk penghormatan kepada tuan guru, orang yang akan mengajarkan Silat Pangean dengan ikhlas sehingga berkah dan bisa digunakan dengan baik. Sedangkan ayam yang disembelih dan dimakan bersama sebagai simbol bahwa begitulah rasa syukur yang harus ditunjukkan kepada anggota lain yang sudah menjadi keluarga besar dalam satu perguruan.
Silat Pangean selalunya dilaksanakan pada malam hari. Ada pula tingkatannya. Pertama, silat tangan di laman rumah. Ini untuk murid-murid yang baru masuk ke perguruan dan pertama mengenali Silat Pangean. Bisa siapa saja; lelaki, perempuan, tua atau muda, yang jelas baru pertama belajar. Kedua, silat pedang, bisa diganti denga memakai rotan atau besi. Silat ini juga dilaksanakan di halaman rumah, tapi setelah melewati proses yang pertama. Sedangkan yang ketiga, silat di rumah, yakni dilakukan di dalam rumah.
Silat di rumah atau yang ketiga ini merupakan tingkatan tertinggi dalam Silat Pangean. Tidak boleh dilihat, kecuali oleh sasama pesilat, itupun hanya empat orang paling banyak. Silat tidak dengan tangan kosong, tapi menggunakan pedang atau pisau. Silat dilakukan dengan sungguh-sungguh. Jika tidak hati-hati, bisa saling melukai. Itulah yang dimaksud kenapa sebelum silat dimulai hars diawali dengan doa, yakni, agar terlepas dari bahaya yang tidak sengaja.
Untuk menjaga kelestarian Silat Pangean, selalu dibuka kelas baru untuk murid baru di Desa LKB ini. Puluhan pelajar mengikuti pelatihan silat tersebut. Dilanjutkan hingga tingkatan menengah dan atas. Orang tua banyak yang belajar. Pada umumnya, mereka yang sudah sampai ke tingkat ketiga atau silat di rumah adalah orang tua.
Sutan, adalah guru Silat Pangean di desa ini. Ia mengajarkan silat tersebut sejak lama. Sudah ada ratusan orang yang diajarnya dan mahir membawakan Silat Pangean. Dia sendiri belajar dari guru yang berasal dari Pangean. Apa yang didapatkan dari guru besarnya, ia berikan kepada murid-muridnya.
Karena Silat Pangean pada dasarnya adalah untuk bela diri, tapi tidak boleh sembarang digunakan, apalagi sampai melukai orang lain, kecuali dalam keadaan terpaksa. Misalnya, yang bersangkutan hendak dilukai, maka jurus silat pangean yang menggunakan pedang atau pisau pun boleh digunakan. Tapi jika tidak, sangat pantang dikeluarkan, karena di dalam silat ini ada pelajaran mengendalikan diri dan emosi serta bagaimana seharusnya berbudi pekerti.
Manumbai
Hal lain yang bisa dinikmati wisatawan saat datang ke Tesso Nilo adalah melihat proses manumbai yakni panen madu hutan atau madu sialang. Lebah madu ini hidup dan menempel di pohon-pohon besar dan tinggi. Banyak jenisnya. Jika pohon ini dibuahi oleh lebah atau dijadikan sarang oleh lebah, pohon ini disebut dengan pohon sialang. Sedangkan madunya disebut dengan madu sialang.
Lebah sialang bukan diambil begitu saja. Ada tradisi dan doa-doa yang harus dibaca oleh juragannya atau si pemanen lebah. Dilakukan hanya pada malam hari dengan menggunakan obor tanpa api atau hanya bunga apinya saja. Alat ini disebut dengan tunam. Berbentuk bulat panjang dan diikat beberapa bagiannya agar menyatu atau tidak terlerai.
Juragan mengambil lebah madu dengan memanjat pohon sialang dan dibantu oleh beberapa orang. Tangga untuk sampai ke atas juga dibuat sedemikian rupa. Dibuat selama memanjat sambil melantunkan mantra-mantra lebah. Ritual tradisi ini sangat terasa terlebih saat melihat percikan bunga api yang berjatuhan turun ke bawah setelah juragan mengibaskannya sambil terus naik dan terus melantunkan mantra-mantra tadi. Wisata yang sangat unik. Kaya tradisi lokal. Hal ini bisa disaksikan oleh wisatawan jika menginap di TN Tesso Nilo.
Nyanyi Panjang
Nyanyi panjang merupakan salah satu tradisi lisan masyarakat asli Pelalawan, yakni Suku Petalangan. Tradisi sastra lisan ini bercorak naratif atau bercerita yang ditunjukkan kepada khalayak ramai oleh seorang tukang nyanyi panjang atau disebut Pebilang Nyanyian Panjang. Sesuai dengan namanya Nyanyi Panjang, nyanyi ini memang berdurasi panjang. Kadang lebih dari satu malam.
Banyak nada dalam tradisi lisan ini. Banyak kisah yang diceritakan dalam tradisi lisan ini. Mulai dari persoalan adat, budaya, alam lingkungan, norma-norma sosial, pesan-pesan moral tentang nilai luhur budaya hingga asal-usul persukuan. Persukuan yang memiliki Nyanyian Panjang di wilayah ini dulunya antara lain, Melayu, Piliang, Domo, Pelabi, Bangkak, Medang, Singo Bono, Mandailing, Payung, Penyabungan, Bintan, Lubuk, Pematan dan Sengerih.
Nyanyian Panjang ini sudah tidak banyak lagi yang bisa melantunkan. Hanya beberapa orang saja dan sudah tua. TN Tesso Nilo dengan masyarakat tempatan menjadikan Nyanyian Panjang ini sebagai salah satu persembahan untuk wisatawan yang datang, salah satunya ditampilkan dalam Festival Tesso Nilo. Tentu tidak sepanjang yag seharusnya atau secukupnya saja. Selain untuk menunjukkan tradisi khas lokal kepada wisatawan, juga sebagai jalan menjaga warisan ini agar tetap bertahan.
Gasing
Permainan tradisional yang bisa dilihat langsung oleh wisatawan saat berkunjung ke TN Tesso Nilo adalah gasing. Permainan khas Melayu ini menjadi permainan sehari-hari masyarakat tempatan. Gasing juga menjadi salah satu pertunjukan dan permainan tradisi masyarakat yang dipertandingkan dalam Festival Tesso Nilo.
Tidak semua orang bisa memainkan gasing. Ada teknisnya, mulai dari cara membelitkan tali ke tubuh gasing hingga melemparkannya ke tanah dan berpusing lama. Bisa dimainkan dua orang dengan cara berlawanan. Gasing yang sudah berputar di tanah, di pangkah oleh gasing lawan. Jika bertahan atau tidak tumbang, maka pemilik gasing pertama sebagai pemenang.
Gasing tidak dibuat dari sembarang kayu. Perlu kayu keras dan berat. Ada ukuran tertentu pula pada gasing sehingga keseimpangan atara kepala dan bagian bawah gasing, tepat. Ketika dimainkan, gasingpun seimbang saat berputar. Ukuran gasing ada yang besar dan sedang. Biasanya ada ukuran kecil dan dibuat dari kayu-kayu biasa, tapi untuk buah tangan, bukan dipakai dalam permainan atau pertandingan.
Tari Melayu Tradisi
Tari Persembahan namanya. Ini adalah salah satu tari tradisi Melayu yang juga berkembang dan dipelajari masyarakat di sekitar kawasan TN Tesso Nilo. Tari ini selalu dipentaskan atau ditampilkan saat ada tamu, tari untuk menyambut tamu. Jika wisatawan datang, mereka juga bisa menyaksikan tarian tradisional ini, kekayaan masyarakat tempatan.
Tari ini dibawakan oleh gadis-gadis. Jumlahnya harus ganjil. Bisa lima, tujuh atau sembilan bahkan 11 orang. Tergantung kebutuhan atau kesepakatan antar penari itu sendiri. Para penari menggunakan pakaian seragang, lengkap dengan sunting atau hiasaan di kepala, ciri khas orang Melayu. Pakaian ini hanya dipakai saat tari ini dibawakan saja.
Gerak dalam tari ini sangat lembut. Diawali dengan semmbah sepuluh jari gerak saat duduk, berdiri, duduk hingga berdiri lagi. Di akhir tarian, beberapa penari akan meju ke depan, mencari tamu atau wisatawan kehormatan dan menyodorkan tepak yang berisi sirih pinang. Tamu atau wisatawan tersebut harus mengambilnya. Inilah tari yang syarat dengan salam perkenalan dan ucapan selamat datang di tanah yang mereka pijak saat itu.***
Laporan KUNNI MASROHANTI, Pelalawan