PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Harga tandan buah segar (TBS) sawit petani swadaya masih memprihatinkan. Di tingkat petani pekebun di Riau rata-rata di bawah Rp1.000 per kilogram (kg). Bahkan di Kota Dumai, harga sawit sempat Rp600-an per kg. Tapi harga pupuk yang terus melambung tinggi semakin membuat petani terpuruk.
Terkait anjloknya harga TBS ini, Sekjen Asosiasi Kabupaten Penghasil Sawit Indonesia (Akapsi) yang juga Penjabat Bupati Kampar Kamsol menjelaskan karena dipengaruhi pasar global. "Kalau pasarnya meningkat tinggi permintaan banyak tentu harga TBS naik, sekarang ini persoalan kita memang pasar lagi turun untuk ekspor," jelas Kamsol.
Kamsol mengatakan, akhirnya apa? Jangankan untuk produksi mengambil sawit masyarakat, perusahaan yang mempunyai PKS sendiri membatasi produksinya. "’Akhirnya harga sawit masyarakat jadi jatuh. Hukum pasar lagi berlaku, tetapi kita harus mencari strategi lain," jelas Kamsol.
Dikatakan menambahkan, pada 7 Juli 2022, pengurus Akapsi akan mengadakan rapat persiapan musyawarah nasional. Ini tidak bisa diselesaikan dengan kebijakan sendiri, banyak yang terkait dengan persoalan ini.
"Ada pengusaha, petani, perusahaan. Kita harapkan ada kebijakan pemerintah terkait anjloknya harga TBS ini. Kami dari Akapsi juga sudah menyurati Pak Presiden terhadap kebijakan tata kelola sawit dengan harga TBS yang makin menurun ini," tegas Kamsol.
"’Kita belum mengetahui penyebab harga TBS ini turun. Mudah-mudahan rapat pengurus Akapsi 6-7 Juli nanti membahas persoalan sawit ini. Nanti ada regulasi dengan dibentuknya Akapsi sehingga dikelola dengan baik dalam tata kelola sawit ini," tambah Kamsol.
Kamsol menegasambahkan, untuk merubah tata kelola ini perlu undang-undang. Perusahaan yang tergabung di Gapki juga mengeluh karena ada 12 kementerian yang mereka lalui untuk proses awal sampai ekspor.
"Bisa tidak dipangkas birokrasi ini? Semua ini perlu regulasi. Terkait dengan kebijakan pengelolaan lahan di tiga kementerian berbeda-beda. Ini menyulitkan pelaku usaha. Pelaku usaha dengan masyarakat harus bermitra. Dengan regulasi ini pelaku dengan sendirinya, sehingga masyarakat yang dirugikan," tegas Kamsol.
Sementara itu, Sekretaris Apkasindo Riau Djono Albar Burhan mengatakan, harga pupuk yang melambung lebih parah lagi menghantam petani. ‘’Harga pupuk saat ini sudah naik 100-150 persen dibanding tahun lalu. Jadi harga TBS saat ini yang hanya berkisar Rp1.200-an di tingkat industri, sudah sangat tidak memadai bagi para petani,’’ ujarnya.
Petani sawit Desa Pulau Kedundung, Kuantan Singingi Irza, mengaku bahwa harga sawit yang anjlok jelas tidak mendukung peningkatan ekonomi petani sawit. Pasalnya, hasil produksi yang didapat tidak cukup untuk biaya operasional perawatan kebun, seperti pupuk, obat pembersih rumput, serta upah panen.
"Kalau panen kami rata-rata 2-3 ton, bagaimana membeli pupuknya dengan hasil sebanyak itu. Apalagi petani yang cuma panen 500 kg hingga 1 ton," ujar Irza. Pupuk, sambung Irza, sudah nyaris menyentuh Rp1 juta per karung (50 kg) untuk NPK Mutiara. Sementara NPK jenis lain Rp850.000.
Sebagai petani rakyat, Irza meminta pemerintah dari tingkat kabupaten sampai ke pusat peduli dengan petani. Membuat kebijakan yang mendukung peningkatan ekonomi petani, tidak sebaliknya. ‘’Kami minta pemerintah menolong petani. Kami sudah berupaya, tapi pemerintah kok tidak peduli," ujarnya.
Sementara itu, petani sawit di Telukkuantan, Desrayandi menjelaskan, sejak harga TBS berkisar Rp3 ribuan per kg, harga pupuk terus naik setiap pekan. ‘’Juni 2020 harga NPK Mutiara berkisar Rp300 ribuan per karung. Awal 2021 harganya naik menjadi Rp500 ribuan per karung, bahkan Desember 2021 naik menjadi Rp650 ribuan per karung,’’ ujarnya, Jumat (1/7).
Dilanjutkan Andi, di awal tahun ini, harga pupuk NPK di atas Rp700 ribuan per karung. Saat ada kebijakan pelarangan ekspor CPO dan produk turunannya pada akhir April lalu, harga pupuk NPK ini naik menjadi Rp850 ribuan per karung. ‘’Harga terus naik, bahkan saat ini harga NPK sudah Rp960 ribu per karung. Dengan harga sawit yang anjlok, untuk beli pupuk saja tidak cukup,’’ ujarnya.