Bila pesawat komersil dalam penerbangan berupaya menghindari awan, maka penerbangan misi hujan buatan ini sebaliknya. Mengejar awan sekaligus menyemai garam. Riau Pos berkesempatan ikut langsung misi ini dengan pesawat C130 Hercules milik TNI AU.
Laporan HELFIZON ASSYAFEI, Pekanbaru
EMPAT baling-baling pesawat Hercules C130 TNI AU dengan tail number A1328 itu berputar kencang saat meninggalkan hanggar pangkalan TNI AU Lanud Roesmin Nurjadin siang itu. Gemuruh mesinnya makin menggetarkan dada saat bersiap di landasan pacu Bandara SSK II Pekanbaru, Sabtu (28/9). Tepat pukul 14.20 WIB ‘raksasa terbang’ itu take off menuju sasaran; memburu awan.
Sasarannya daerah penyemaian dari data petugas perekayasa hujan Ahli Muda BBPT Jakarta, Nurhadi Arifin adalah di wilayah udara Jambi, Indragiri Hilir, Bengkalis, dan Kepulauan Meranti. Pesawat kami akan berputar di area tersebut untuk mencari awan-awan yang sudah terbentuk di ketinggian 14 ribu hingga 16 ribu kaki.
Pesawat militer ini memang serba praktis. Di bagian atas ada tandu-tandu evakuasi tergantung. Di dindingnya ada kursi bongkar pasang. Di langit-langitnya kabel-kabel tampak jelas bersileweran. Pesawat ini cukup besar, dengan lebar 6 meter panjang 30 meter. Rentang sayap 40 meter dan mampu memuat tumpangan maksimum 20 ton. Misi kali ini diikuti oleh sejumlah wartawan, kru dari Skadron 31 serta personel (BPPT).
Dengan pesawat sebesar ini mampu memuat dua unit alat penyemai garam yang disebut konsol. Alat ini khusus dibuat untuk membantu tim teknologi modifikasi cuaca (TMC). Satu unit konsol memiliki tiga tabung yang dilengkapi empat roda. Setiap tabungnya bisa menampung 666 kg garam.
Dua unit konsol ini memilik enam tabung yang totalnya mampu mengangkut 4 ton garam yang siap disemaikan lewat selang khusus yang di lepas dari ekor pesawat. Saat pesawat menanjak keketinggian dari balik jendela pesawat terlihat langit biru dan gumpalan-gumpalan awan raksasa. Ketika pesawat menembusnya goncangan hebat terasa.
Kami kadang harus selalu berpegang erat pada tali-temali di kursi lipat badan pesawat. Ternyata pesawat ini justru memburu awan cumulus yang banyak dihindari penerbang. Menurut Nurhadi, justru awan-awan cumulus ini potensi hujannya lebih deras. Apalagi gumpalan awannya makin besar maka intensitas hujan bisa lebih lama.
Saat menemukan awan cumulus di ketinggian tertentu, Nurhadi yang berada di kokpit memberi tahu petugas di badan pesawat agar bersiap melepas garam yang ada di setiap tabung secara bergiliran.
Saat persawat menembus gumpalan awan raksasa itulah garam meluncur dari tabung dan disalurkan lewat silinder khusus yang terhubung hingga ke saluran pembuangan di ekor pesawat. Petugas memastikan garam keluar semua dengan memukul-mukul tabung agar tak tersisa.
Nurhadi menjelaskan bahwa bahan garam/NaCl, adalah salah satu bahan yang bersifat hikgroskopis yaitu menyerap air. Apabila garam ditebar di awan (kumpulan partikel air yang melayang-layang di udara) potensial seperti di awan cumulus yang aktif, maka garam akan menyerap partikel air yang melayang di awan, sehingga partikel menjadi besar. Karena partikel menjadi besar, maka volume menjadi berat partikelnya sehingga akan jatuh ke bumi yang kita sebut hujan. “Satu di antara fungsi garam untuk bahan semai hujan buatan ini,” ujarnya.
Berapa lama sejak disemai garam lalu terjadi hujan? Nurhadi mengatakan tergantung pada kondisi awannya. Makin besar gumpalan awannya makin cepat turun hujan bila sudah disemai garam. Biasanya memang awan cumulus. Sedangkan jenis awan lainnya seperti alto dan awan sedang lainnya prosesnya tidak secepat gumpalan awan yang lebih besar. “Intinya penyemaian ini menstimulus awan dan partikel air yang ada di dalamnya menjadi besar dan turun ke bumi. Jadi bukan membuat hujan tapi merekayasa potensi hujan menjadi hujan,” ujarnya. ***